Cerpen #264; “Pendengung dari Sebuah Lengkong”

Sam merasa bahwa kelakuannya tiga tahun belakangan ini masuk dalam kategori buruk, sesaat setelah ia  menyelesaikan hitungan segenggam uang yang baru saja terlepeh dari mulut mesin anjungan tunai. Sebenarnya ada satu lagi kategori yang seyogyanya ia catat dalam peristiwa itu; bahwa menghitung kembali uang dari ATM merupakan perilaku mubazir yang pernah digagas oleh sekumpulan manusia.

Tiga  juta lima ratus lima puluh. Sam menyeset selembar lima puluh ribuannya, melipat dan melesakkan sisanya yang lebih banyak ke dalam kantong samping tas ranselnya, sembari mengenyahkan sisa bayangan raut muka milik Hidayati. Telepon Sam tak pernah diangkat oleh seseorang yang namanya disebut terakhir itu. Lebih sial lagi, sejam terakhir ini Sam sadar kalau nomornya ternyata sudah diblokir. Istrinya itu dua hari belakangan sukses membuat Sam menggelar terpal bekas baliho dan meringkuk tidur bersama para pengayuh becak di area parkir sebuah toko karpet  yang letaknya tak jauh dari pasar Karangayu. Sekalipun berat, Sam sesungguhnyalah tak mengeluhkan perihal dirinya mesti ikut menghidu bau besi berkarat reruji roda becak bercampur keringat para pemiliknya di mana Sam putus-asa sudah menebak kapan bapak-bapak itu terakhir kalinya menyentuh air untuk membersihkan diri. Sam merasa betapa dirinya tahan uji, bahkan ketika tulang belikatnya bergemeretak ketika beradu-aduan dengan alas batako, atau seandainya terlambat dua atau tiga detik saja tangannya terjaga, maka malam tadi  merupakan malam paripurna ia muncul dalam cerita ini, karena seekor kelabang menerobos masuk ke lubang hidungnya.

Segalanya akan jadi remeh-temeh belaka jika mesti disandingkan dengan kengerian Sam membayangkan biduk rumah tangga yang sedang ia bangun bersama Hidayati ambrol cuma karena urusan kakus. Ya, kakus. Pengarang cerita ini tak sedang melebih-lebihkan konflik ketika ia mencoba memasukkan kakus sebagai salah satu strategi pengalih perhatian pembaca atas masalah utama kisah rekaannya.

Meski baru dua setengah tahun Sam dan Hidayati menanggalkan masa lajang mereka, bukanlah hal sulit bagi Sam untuk menyerap  khazanah persoalan yang umum melilit urusan kawin-mawin. Akan mudah menemukan pasangan di dunia ini memutuskan untuk bercerai karena tak kunjung mendapatkan keturunan misalnya, atau mereka akan menyelesaikan urusan rumah tangga mereka di pengadilan jika perilaku kekerasan seksual dalam kehidupan rumah tangga mereka tak mendapatkan jalan tengah agar hubungan pernikahan mereka tampak lebih baik. Beberapanya lagi terjadi ketika tak ada yang mau mengakui siapakah dari kedua belah pihak yang lebih dulu punya simpanan dan untuk pengetahuan semacam ini, Sam sering sudah melihatnya dalam acara-acara gosip di televisi. Bibi Sam sendiri pernah berkisah padanya, dan meski kisahnya lumayan aneh, tapi nalar Sam, dalam jangkauan tertentu, masih bisa menerima ketika si bibi dengan kebesaran hatinya mengaku bahwa mereka berpisah karena pada pemilihan umum tahun lalu si bibi terang-terangan mencoblos presiden yang jelas-jelas bukan calon kepala negara yang diunggul-unggulkan oleh mantan pamannya.

Bagi Sam, semua paparan fakta itu justru menjadikan keretakan hubungannya dengan Hidayati nantinya akan mengapung jadi peristiwa masa depan yang jauh lebih tidak sedap, dalam arti yang sesungguhnya, jika sampai benar-benar terjadi. Ia sudah gemetar lebih dulu ketika memikirkan seandainya  saudara-saudara atau tetangga dekatnya mengendus fakta baru, bahwa kemegahan cinta kasih sepasang manusia, gelora syahwat keduanya di atas ranjang, juga komitmen-komitmen yang mereka bangun di atas ikrar ijab kabul, ternyata harus luluh-lantak di hadapan seceruk lubang tahi.

Untuk membelokkan jalan cerita ini agar tidak terperosok jatuh ke sana, Sam bersumpah bersedia melakukan apapun.

Hari sudah menyentuh Maghrib ketika Sam memasuki kampungnya, sementara kerasnya suara azan dari pelantang musala membubarkan kerumunan bocah yang agaknya sedari tadi asyik main lempar kereweng. Kausnya Sam basah. Beberapa bocah sengaja menembakinya dengan pistol-pistolan air karena mereka tak mendapatkan balasan setimpal atas serentengan umpatan yang mereka semprotkan kepada Sam ketika mereka berpapasan di setapak jalan sepanjang lengkong. Pada hari-hari biasa, Sam, atau orang-orang dewasa lain, tak peduli mereka laki-laki atau perempuan, akan mampu menjadi lawan pelontar umpatan yang setimbang dalam meladeni kelakuan barbar bocah-bocah itu. Sam akan mengata-ngatai balik dengan umpatan, bulikmu pancen sundal, disambung dengan utekmu mbledhos, atau lain waktu Sam akan menggunakan telemaknya atau telembese—dua lema favoritnya—untuk memungkasi pisuhan ketika bocah-bocah itu sembari memepetnya ke tembok tinggi lengkong melontarkan makian semisal o celeng picek, atau o jembut babi kowe, tai asu dan masih banyak lagi yang lebih ganas dari itu sampai suara-suara memenuhi setapak terjepit tembok-tembok tinggi yang cuma bisa memuat dua orang dengan posisi  berdiri menyamping itu, raib.

“Sangkaku kau benar-benar minggat dan tak akan balik, kampret”, cecar Hidayati sambil masih dalam sikap berdiri memunggungi Sam begitu  Sam memasuki rumah. Hidayati sedang menyetrika. Cahaya bohlam 2,5  watt ditambah kepulan asap yang meruap kemana-kemana dari setrika arang yang dipegang Hidayati menjadikan keduanya terlihat seperti sedang tersekap dalam sebuah adegan film horor Indonesia tahun 90an.

“Mana sudi aku kalah begitu saja sama jamban.”

“Jadi, lusa aku sudah bisa panggil tukang buat menyekat separuh tempat abrak-abrak?” Hidayati tetap bicara tanpa menoleh dan ini membuat Sam menggerus-geruskan gerahamnya berulangkali.

“O, setan. Dari kemarin kan aku sudah bilang, sabar dulu, sabar dulu, mereka cuma bakal kasih duitnya kalau pekerjaanku sudah beres.”

“Menurutmu bertahun-tahun aku mesti mengatur jadwal jam kebeletku buat beol di tempat si Ronji, itu juga tak kau reken sebagai kesabaran? Apa kau juga tahu, kalau pas wc-wc di tempat si Ronji penuh terisi  yang kulakukan untuk mengatasi perutku yang mulas adalah aku terpaksa buang tahi dengan turun ke bawah jembatan, jongkok di situ dengan rasa malu tak tertanggungkan dan itu tak kau hitung sebagai bentuk kesabaran? Aku cuma menuntutmu buat sama-sama memikirkan agar kita bisa berak dengan enak dan kau anggap aku ceriwis, biji pelir busuk memang kau ini ya.”

Biji-Pelir-Busuk dalam berondongan kalimat Hidayati membuat Sam seketika diam saking takjubnya. Ia memindai kombinasi dua kata benda ditambah satu kata sifat  itu pelan-pelan, sangat pelan malah, dan menemukan kenyataan bahwa selama nyaris dua puluh delapan tahun ia menjadi bagian kampung para pengumpat ini, untuk pertama kalinya Sam mendapati susunan kata yang baginya luar biasa elok dan itu ia dengar langsung justru dari Hidayati. Sam sendiri memiliki kepekaan artistik terhadap kata-kata bukan karena pengarang cerita ini mendapuknya sebagai tokoh fiksional yang ujuk-ujuk menanggung karakter demikian. Itu akan terlihat sangat dipaksakan. Khalayak pembaca tentunya emoh jika dianggap  kaum dengan tingkat kecerdasan rendahan dan mereka paham betul ke arah tong sampah mana akan membuang kisah-kisah rekaan yang buruk akibat tokoh-tokohnya digarap dengan serampangan.

Dua tahunan lebih Sam mengenyam kuliah diploma tiga jurusan farmasi, dan meski tidak sampai lulus karena di tahun-tahun terakhir ia berkuliah ternyata bibinya sudah tak sanggup membiayainya lagi, Sam tetaplah merasa bahwa dirinya beruntung. Sebab dengan kuliah itulah ia bisa mengambil peluang  menyambi kerja sebagai tukang sunting untuk sebuah penerbitan buku kecil di Semarang. Fakta bahwa bertahun-tahun kemudian ia mengutuk sistem kontrak kerja penerbitan yang sengaja merekrut tukang tata letak halaman, perancang  gambar sampul, penyelia aksara serta penyunting dari  para mahasiswa yang masih menyandang status kuliah agar mereka bisa digaji sepertiga dari standar upah minimum daerah adalah perkara lain.

“Berarti Adik ini tahu betul unsur-unsur penyusun beserta fungsi daripada obat-obatan macam trihexyphenidil atau asam mefenamat ya?”

“Kira-kira begitu, Pak.”

“Wah, cocoklah, meski kami tak begitu senang dengan tipikal orang yang ragu-ragu, sampeyan langsung kerja sajalah besok, kami benar-benar sedang butuh tenaga penyuntingan dengan skill seperti sampeyan.”

Kiranya Sam akan melempar tempat pensil atau gunting kuku atau apapun yang bisa tangan Sam raih di atas meja ke muka lawan bicaranya, seandainya penggalan penutup percakapan antara Sam dengan pewancara dari penerbitan itu terjadi pada waktu-waktu sekarang. Tapi kala itu Sam menerima pekerjaan paruh waktunya dengan semangat anak muda yang siap menjangkau gelembung-gelembung bening fatamorgana dari masa depan gemilangnya. Ia pulang dari kantor penerbitan dengan langkah kaki yang digagah-gagahkan, melewati gang demi gang kampung dengan bersiul-siul, dan malam harinya, di loteng kamarnya, sebelum tidur Sam sempat menggunting karton bekas bal rokok untuk menorehkan sebuah kutipan yang sejujurnya ia tak tahu siapa pencipta kutipan tersebut: Tak ada sebijipun tips  menulis. Yang perlu dilakukan adalah duduk di depan mesin ketik dan berdarah-darah.

Sam menyalin ingatan atas kutipan tersebut dari kaus yang dipakai oleh Burhanudin ketika keduanya bertemu pada sebuah acara reuni SMA. Empat kata Tak-Ada-Tips-Menulis disablonkan di bagian depan kaus. Sisanya ditulis dengan huruf  ukuran besar-besar memenuhi bagian belakang kausnya. Burhanudin adalah kawan sebangkunya dulu, yang pada pertemuan kali itu kepada Sam ia mengeluhkan betapa ketat persaingan untuk masuk universitas negeri di Jogja—apalagi untuk masuk rumpun IPA, hingga akhirnya dengan berat hati, Burhanudin mesti menguruk hidup-hidup harapannya menjadi mahasiswa jurusan teknik geodesi, dan merelakan dirinya terdampar di bidang yang sejatinya teramat asing baginya: sastra.

Sam tak ingat detail-detail keluhan lain yang dikemukakan Burhanudin selama dirinya berkutat menjadi mahasiswa sastra, selain karena pada saat acara reuni suasananya riuh sekali hingga tak memungkinkan ia menyimak dengan baik, juga karena seusai pertemuan  itu  keduanya memang tak lagi bertatap muka untuk jangka waktu yang lama. Sekalinya saja Burhanudin menghubungi Sam pada bulan Mei tahun 2012, dan itu sebatas melalui pesan aplikasi. Sam ingat bagaimana kawan lamanya mengirimkan potongan gambar—hasil jepretan kamera lebih tepatnya, menampilkan satu saja sajak karangannya  terpacak bersama dengan masing-masing dua sajak milik Hasan Aspahani dan tiga sajak karangan D. Zawawi Imron di salah satu lembar halaman koran nasional. Sam jadi ikut menghapal kedua nama penyair itu. Bukan karena ia paham seluk-beluk dunia sastra atau yang semacamnya, tapi karena selama nyaris sepekan setelah pemuatan sajak, Burhanudin tak henti menyinggung-nyinggung nama keduanya.

Bung, mereka itu pionir dalam kesusastraan kita, Bung!  balas Burhanudin lewat pesan aplikasi ketika Sam bertanya siapakah sejatinya dua sosok yang  susunan nama dari keduanya membuat lidah Sam benar-benar letih ketika berusaha mengejanya. Sam tak bisa berkomentar banyak untuk membalas reaksi berlebihan yang dilakukan Burhanudin.

Bagaimanapun Sam tetaplah mesti berterima kasih pada Burhanudin. Bahwa berkat sablonan yang menempel di kaus Burhanudin, Sam jadi memiliki batu pijakan untuk menghadapi ujian-ujian yang nantinya ia terima ketika ia mulai menjajaki jalan kariernya sebagai penyunting. Sam terngiang-ngiang benar dengan penggalan kata “berdarah-darah” dalam kutipan tersebut. Betapa ia bisa menerjemahkan secara harfiah kata berdarah-darah itu dengan baik. Darinya Sam bahkan terdorong untuk bekerja lebih keras melampaui siapapun yang pernah mengucurkan keringat demi bidang pekerjaan yang melenceng jauh dari  jurusan yang pernah mereka ambil semasa kuliah.

Cuma dua pekan, waktu yang dibutuhkan Sam untuk menggilas kegagapannya dalam memahami sekaligus mempraktikkan sendiri bagaimana struktur bahasa Indonesia semestinya ditulis dengan tepat. Selepas dua pekan penuh tekanan dan itu dibuktikan dengan selaput sebelah matanya yang sobek  lantaran ia mesti begadang sampai fajar membaca buku-buku tentang panduan berbahasa Indonesia sesuai kaidah penulisan, Sam terlihat begitu tenangnya ketika ia mencoret-coret sekaligus membetulkan halaman demi halaman  kerja penyuntingan yang disodorkan ke mejanya.

Rekor termewah untuk buku pertama yang ia sunting adalah membetulkan sebanyak dua ratus empat puluh enam coretan atas kesalahan tulis bentuk baku dari kata di- sebagai imbuhan dan di- sebagai kata depan. Buku berisi tulisan tentang bagaimana berinvestasi di bursa saham itu awalnya oleh si pengarang disodorkan dengan judul Tata Cara Jual Beli Saham, namun setelah Sam berdiskusi alot dengan pengarang dan sempat ditengahi juga oleh rekan penyunting senior Sam di penerbitan, karangan tersebut akhirnya keluar dari mesin cetak sebagai buku dengan judul Rahasia-Rahasia Menangguk Cuan dari Pasar Saham. Meski kesannya jadi agak-agak misterius untuk sebuah buku panduan perniagaan, semua pihak setuju dengan hasil akhir perdebatan mereka.

Setelah buku pertama rampung ia garap, kemampuan Sam dalam menyunting benar-benar melesat gila-gilaan. Sam tidak hanya lanyah mengatasi perkara di- yang melekat dan di- yang mesti dipisah dengan kata dasar membuntuti keduanya, tapi juga kualitas dari suntingannya pada kalimat-kalimat serta paragraf demi paragraf ruwet yang mesti dipangkas dan dibuat sangkil alangkah menakjubkan. Hasilnya, dalam setahun pertamanya, delapan judul buku berhasil ia tangani. Yang tambah menggembirakan, hasil penjualan buku-buku tersebut tidaklah terlalu jeblok di pasaran. Ini membuat pemilik penerbitan mau tak mau mesti menambahkan sejumlah angka pada gaji pokok bulanan Sam. Tak jarang si Bos penerbitan turun tangan sendiri dengan membelikan Sam wedang ronde atau lain waktu susu jahe sepaket dengan babat gongso jika kebetulan ia mendapati  Sam sedang lembur. Tentu kehadiran sajian minuman dan kudapan itu dibarengi dengan puji-pujian bahwa buah jerih payah Sam nyaris menyamai hasil kerja penyunting-penyunting yang berkarier di situ lebih dulu. Sam sendiri, membalas tempik sorak itu dengan terus memaki dalam kejengkelan berlebih tiap-tiap satu buku yang ia sunting  terbit. Sampai lemas rasa-rasanya ia mangatai-ngatai para penulis buku bahwa mereka harusnya kembali saja ke sekolah dasar agar bisa belajar dari awal sampai mereka becus menata alfabet. Bahkan, pernah dalam kondisi tergeramnya, kepada Astuti, kawan sekantor yang biasa merancang sampul, Sam mengusulkan agar pelajaran Bahasa Indonesia alangkah lebih baik jika dihapus saja sebagai mata pelajaran.

“Pikiranmu kok jadi aneh begitu sih, Sam.”

“Lha, sekalian saja to, anjing, masa di tiap naskah yang masuk, aku selalu, ini selalu ya, harus membenarkan kata “sekedar” yang mereka tulis  menjadi “sekadar”. Kan, ini apa kalau bukan goblok namanya. Makanya aku bilang sudahlah dicoret saja dari kurikulum. Nggak ada gunanya.”

“Ya paling tidak, Sam, kalau mereka masih salahnya banyak, masih kelira-keliru nulis ‘kan itu artinya kerjaanmu sebagai penyunting umurnya panjang.”

Tahi babi, batin Sam. Ada benarnya juga kalimat Astuti.

Sam terngiang-ngiang lagi percakapannya dengan Astuti di sebuah warung pecel  itu justru selang setahun kemudian. Ia sedang girang-girangnya menggarap naskah  hasil riset Ahmad Komarudin, seorang antropolog yang meneliti hubungan runyam antara kambing dan para jagal di kampung Bustaman. Bagaimana tak girang hati Sam jadinya, sudah puluhan buku ia tangani dan baru kali itu dirinya mendapatkan dua kesenangan sekaligus dalam sekali rengkuh. Pertama, ia tak perlu banyak mengoreksi salah ketik kata per kata lantaran tata bahasa naskah tersebut menurut Sam sudah oke. Pada poin kedua, kesenangannya jadi berlipat ganda, ini karena kampung Bustaman cuma sekali saja naik angkot jaraknya dari kampungnya sendiri. Kampung itu setahun belakangan memang kerap dijadikan bahan obrolan para pemerhati lingkungan karena ia merupakan salah satu kampung kumuh yang masih bisa bertahan dan selamat dari upaya penggusuran, baik diniatkan akan dijadikan lahan baru hotel maupun kawasan pertokoan.

Terpikir oleh Sam bahwa nantinya ia akan punya peran besar dalam memberi masukan-masukan kepada Ahmad Komarudin terkait dengan kerja penyuntingannya, terutamanya soal pandangan-pandangan penelitian si penulis terhadap orang-orang di kampung itu. Bustaman dan kampungnya sama-sama dicap sebagai kampung miskin, dan Sam paham betul kelakuan orang-orangnya. Ia yakin Ahmad Komarudin akan bahagia mendapatkan penyunting seperti dirinya. Satu hal saja yang akan menjadi batu ganjalan besar dalam proses penyuntingannya nanti adalah bahwa Ahmad Komarudin masih sering menuliskan potongan-potongan teori yang ia gunakan dengan bahasa Inggris. Rapor Sam jelek untuk bahasa asing satu itu. Dan untuk mengenyahkan ganjalan tersebut, sore hari nanti sebelum pulang ia sudah berniat menemui si Bos agar si Bos bisa mengatur waktu, kapan kiranya Sam bisa dipertemukan dengan Ahmad Komarudin agar mereka bisa berbincang lebih banyak terkait dengan urusan buku mereka yang akan terbit. Namun, luapan kegembiraan Sam ternyata harus mampat, karena sebelum Sam sempat mengajukan usulan, siang hari selepas jam makan si Bos meminta semua karyawan untuk berkumpul.

Di hadapan semua orang, Si Bos melakukan atraksi yang tak pernah sekalipun akan terlintas di kepala anak-anak buahnya. Ia melepas setelan celana panjang dan kemejanya, lantas singletnya dan cuma menyisakan cawat untuk kemudian berdiri tegak sembari merentangkan kedua bilah lengan. Melihat si Bos beraksi seperti itu, baik Sam atau Astuti melongo dan tak bisa mereka-reka apa sebenarnya kemauan si Bos, selain munculnya kilatan pikiran pendek mereka bahwa atasan yang selama ini mereka hormati mendadak jadi sinting. Tapi pikiran mereka atas kelakuan si Bos yang  jadi kurang waras tak berlangsung lama, dan berbalik jadi rasa trenyuh tak terperi, ketika si Bos berkata bahwa tiap orang yang duduk di ruang rapat itu bisa sesuka hati melemparinya dengan barang jenis apapun yang sedang mereka pegang. Jika itu masih kurang, lanjut si Bos, mereka bisa mengambil spidol atau stabilo dan menggambar atau menulisi bagian telanjang tubuhnya dengan aneka umpatan.

Pokok dari pertunjukan teatrikal itu adalah Si Bos kehabisan cara untuk meminta maaf kepada anak buahnya karena setelah ini mereka harus menerima kenyataan terburuk bahwa penerbitan akan ia tutup. Anak kedua si Bos baru saja masuk rumah sakit dan kini sedang menjalani operasi pengangkatan tumor otak. Kondisi itu jelas menguras pikiran sekaligus isi tabungan si Bos. Sementara di waktu yang bersamaan, pemilik  dari gedung yang sejauh lima tahun ini mereka sewa sebagai kantor penerbitan menagih uang perpanjangan kontrak. Sempurnalah sudah kabar buruk sore itu.

Meski sudah dipersilakan, setiap orang yang hadir dalam rapat akbar tersebut tak ada yang mau melakukan semacam tindakan anarkis dengan menyilet atau melempari atau menghajar tubuh si Bos layaknya seorang penzina yang dihukum rajam. Mereka cuma berjalan melewati si Bos, keluar ruangan satu per satu dengan langkah kaki lemas diseret-seret dan kepala menempel di leher. Sam yang keluar sebelum Astuti meninggalkan ruangan dan menutup pintu dari luar, tiba-tiba saja perlu menghampiri Astuti dan menepuk-nepuk pundak rekannya itu sembari mendesah, ternyata yang bikin kerja penyuntinganku berumur panjang atau pendek tak melulu soal bahasa Indonesia, As.

Dua hari setelahnya Sam masih saja berangkat seperti biasa ke kantor penerbitan, meski ia cuma duduk-duduk di bangku depan terasnya saja dari pagi hingga siang, sampai ada penjual mi kopyok gerobakan langganan lewat dan menyapanya sekaligus bertanya kenapa Sam menunggui kantor yang pintunya tergembok. Sam merenges pada si penjual mi kopyok dan berdalih bahwa ia berada di situ dalam rangka menunggu atasannya dari luar kota yang sedang dalam perjalanan pulang sekarang ini. Sam tak ingin berbohong kepada si penanya sebenarnya, sama halnya ia juga tak berniat menyembunyikan fakta dari Hidayati bahwa ia jadi pengangguran dadakan. Bulan-bulan itu mereka baru saja menikah, dan sebelum menikah,  Hidayati memang sudah membuat keputusan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai tenaga cuci rambut sebuah salon. Hal itulah yang membuat pikiran Sam jadi tambah rusuh. Maka yang terjadi selanjutnya bisa ditebak: Sam meneruskan aktingnya keluar rumah pukul tujuh pagi dan baru akan pulang selepas pukul lima sore. Agar bisa berkelit dari pertanyaan berulang yang akan disodorkan oleh penjual mi kopyok seandainya ia lewat, Sam memutuskan untuk tidak lagi nongkrong di depan kantornya yang sudah digembok dan mulai diseraki oleh daun-daun yang ranggas dari pohon jambe di pekarangannya.

Sam akan terlihat berkeliling-keliling tak jelas juntrungnya di sekitaran pasar Kranggan pada hari Rabu, dan menyusuri sepanjang ruas jalanan yang membelah Kampung Kali pada hari Kamis, bolak-balik ia sampai dirinya merasa bahwa kedua batang kakinya sebentar lagi akan patah saking capeknya berjalan. Jengah, sudah pasti. Muak, tentu saja. Dan rasa benci kepada diri sendiri  mulai menggerogoti Sam pada hari Senin pekan selanjutnya, ketika Sam seharian mengabiskan waktunya di pasar Karangawen. Sam bukannya tak mengupayakan sesuatu. Berkali-kali dalam persinggahannya ke tempat-tempat tersebut Sam sudah berulangkali meminta pekerjaan, baik pada pemilik toko sepatu, tukang reparasi jam, sampai distributor panci dan sapu. Hasilnya nihil.  Jawaban-jawaban mereka untuk menolak Sam yang meminta agar beroleh pekerjaan sepertinya sengaja bersatu dan menggema menjadi alunan himne milik sebuah paduan suara: Bahwa mereka tak bisa menerima seorang pekerja baru dengan  bekal keahlian mengoreksi dan menyusun kata-kata. Sam pasrah. Meski begitu, Sam enggan jika mesti menyerahkan nasibnya tercekik oleh keputus-asaan. Sifat keputus-asaan sendiri memang agak aneh, di satu sisi ia melemahkan, namun bagi orang-orang seperti Sam, ia justru menjelma landasan bagus bagi melesatnya ide-ide brilian.

Sam tersenyum dan membuka mulut lantas mengetuk-ngetuk gigi-giginya sendiri dengan telunjuk ketika gagasan itu menyeruak. Ia yakin bahwa satu-satunya jalan keluar dari masalah keparat yang meringkusnya adalah memasukkan Tuhan untuk ikut serta mengurus perkara ini. Gagasan itu tentu saja, sesuai hukum sebab-akibat, menyeret persoalan lain yang mesti Sam tangani. Seharian itu Sam berpikir keras bagaimana mengkongkretkan peta gagasannya agar bisa mendekatkan Tuhan dalam urusannya mencari pekerjaan. Sam baru mengakui bahwa dirinya bebal selepas lantunan ikamah terdengar menghentak dari masjid dekat pasar. Mendengarkan suara muazin, Sam merasa seseorang menggetok kepalanya dengan martil. Kenapa harus Tuhan yang mendekat, bukankah di mana-mana aturan mainnya sama saja, siapa yang butuh semestinyalah yang seharusnya mencari?

Terdesak oleh pencerahan yang muncul belakangan itulah, Sam dengan mantap memutuskan akan melanjutkan saja lawatan-lawatan yang sudah ia lakukan selama sepekan ini. Sam cuma perlu menggeser tempat tujuan dari persinggahan-persinggahannya. Jika kemarin-kemarin ia khusyuk menyambagi pasar demi pasar, maka setelah ini ia akan membawa langkah kakinya ke tempat-tempat peribadatan. Semua orang tahu, bahwa di tempat-tempat semacam itulah Tuhan bersemayam.

Jadilah sepekan itu menjadi pekan milik Sam yang sarat akan jadwal lawatan demi lawatan. Pertama-tama yang ia singgahi adalah kelenteng Tay Kek Sie di Gang Baru, dengan alasan bahwa tempat itu merupakan rumah ibadah yang paling dekat dengan kampungnya. Di sana ia ikut membakar hio dan berdiri dengan sikap kesalehan yang benar-benar tak bisa dibedakan dengan para pendoa lain yang kebetulan berdiri di sisi kanan-kiri Sam. Ketika seharian itu Tuhan belum memperlihatkan tanda-tanda bahwa Sam akan mendapatkan pekerjaan, ia tak patah arang. Ia justru kian mendisiplinkan diri dengan meneruskan lagi di hari-hari berikutnya menyambangi masjid Kauman di dekat pasar Johar, berpindah lagi keesokan harinya ke Pura Agung  di tanjakan Jalan Papandayan, dan ketika masih saja doanya belum kabul, maka ia pergi berdoa ke Gereja Presbiterian di dekat rumah sakit Dr Kariadi. Sam baru tersadar bahwa puluhan tempat peribadatan sudah ia singgahi ketika ia menempuh perjalanan di dalam metromini menuju vihara Buddhagaya di daerah Pudak Payung. Di bangku tengah metromini Sam nyaris saja menangis memikirkan bahwa uang pesangonnya tinggal beberapa rupiah saja, sementara Tuhan sepertinya belum ingin mengulurkan tanganNya kepada Sam.

Tak ada yang tahu kelanjutan nasib Sam, apakah ia akan terlunta-lunta sepanjang hayatnya dengan terus menyinggahi tempat-tempat suci umat beragama, atau justru ia memutuskan untuk minum racun saja karena merasa tak sanggup menanggung hidup yang mengenaskan. Yang perlu kita tahu adalah ketika Sam turun dari metromini, teleponnya berdering, dan Sam mengangkatnya. Itu suara Burhanudin. Ia terdengar memaki-maki Sam.

“Apa kamu ini  memang utusan Tuhan?”

Sam sekali lagi mengulangi kalimat yang beberapa waktu lalu sempat ia lontarkan di sambungan telepon ketika ia akhirnya bertemu dengan Burhanudin. Burhanudin menraktir Sam makan di warung nasi koyor Mbak Sum. Dari cerita yang diajukan Burhanudin, Sam tahu kalau kawan lamanya ini pulang ke Semarang cuma untuk menemuinya.

“Sam, kali ini kau bantulah aku. Repot aku mengerjakan proyek ini, sementara waktunya mepet dan  aku benar-benar kekurangan personil. Alah, sudahlah, tak usah pikir dua kali. Soal nanti bagaimana kerjanya, kau tinggal ikuti arahan-arahanku.”

“Kenapa aku?” Sebenarnya Sam juga tak perlu mengajukan pertanyaan itu, karena dengan situasi seperti ini, sudah pasti ia akan menerima tawaran pekerjaan jenis apapun dari Burhanudin.

“Karena kau pakar aneka jenis makian.”

“O, telemaknyai.”

Seandainya bertahun-tahun kemudian Sam tidak menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Ibu-ibu itu melakukan aksi membenamkan kaki-kaki mereka ke kotak-kotak berisi adonan semen di depan kantor Gubernuran, Sam tak akan pernah terusik dengan pekerjaan yang ia dapatkan dari Burhanudin. Bahkan bisa dibilang, Sam begitu antusias ketika kerja pertamanya disodorkan. Ia benar-benar mengikuti arahan dari Burhanudin, dan betapa mudahnya hal itu, karena bagi Sam, ia cuma perlu memindahkan keahliannya dalam memaki dari kampungnya ke sudut-sudut dunia maya. Burhanudin meringkaskan kepada Sam, bahwa kerja yang sedang mereka lakukan saat itu  merupakan konsekuensi dari bidang usaha mereka menyediakan jasa konsultasi politik. Sam tidak begitu peduli dengan penjelasan-penjelasan lebih jauh Burhanudin. Ia awam soal politik dan hal-hal di sekitar itu. Satu saja yang ia pegang adalah membereskan segala sesuatu terkait tanggungan dari pekerjaannya dengan kemampuan paling pol.  Dijebloskannya A Tiong—Gubernur Jakarta ke penjara lantaran ia dianggap telah menodai agama orang lain adalah buah dari kesuksesan Sam dalam kerja pertamanya. Sam dan rekan-rekan setimnya-lah yang ikut mendorong, menggerakkan orang-orang, menyuplai bahan bakar kebencian agar tiap orang mengutuk kelakuan gubernur tersebut. Enteng saja Sam mengirimkan data dan informasi yang memang sudah dirancang oleh timnya ke lini-lini masa media sosial serta ke portal-portal berita dalam jaringan, yang intinya adalah menciptakan pemahaman baru bahwa orang-orang  tak memerlukan seorang pemimpin yang gemar melukai keyakinan yang dipeluk warganya. Di grup-grup percakapan aplikasi—karena Sam memang diperkenankan berimprovisasi dalam takaran tertentu, Sam mengompori grup percakapan berisi orang-orang yang imannya terlukai itu dengan mengetik sendiri, bahwa penjara sebenarnya tak cukup untuk menghukum seorang kafir.

Kesuksesan itu membuat Sam jadi percaya diri dan pada pekerjaan-pekerjaan selanjutnya, ia benar-benar berhasil mengembangkan bakat alamiahnya dalam memaki.  Di akun-akun Twitter, menggunakan akun-akun anonimnya Sam akan menyerang dan mengata-ngatai seseorang dengan menyebut mereka Antek Babi Cina hanya karena mereka berseberangan pandangan  dengan pengguna jasa konsultasi biro milik Sam terkait dengan proyek pembangunan kereta cepat. Sam masih ingat, bagaimana ia akan mengatai-ngatai tiap orang sebagai Kontolnya Aidit atau Komunis Genjik ketika datang bulan September dan ada pihak yang menggunakan jasa mereka untuk menghalau—keyakinan sepihak mereka—bahwa gerakan komunisme yang mereka yakini akan segera bangkit dan mengancurkan negeri ini. Hari-hari kerja Sam dihabiskan untuk memindai Youtube, komentar-komentar warganet di portal-portal berita, lini-lini masa Facebook sampai Instagram. Ia menyebarkan aneka informasi sesuai kepentingan pemakai jasa biro yang memperkerjakannya ke situs-situs, ke grup-grup percakapan aplikasi, dan tak segan-segan mengetik-ngetik sendiri makian menyesuaikan dengan siapa yang akan diserang. Hari ini barangkali ia akan menuliskan Musuh Pancasila, besoknya lagi Jembut Afghanistan, lain hari Air Kencing Orba atau Lonte Kapitalisme dan ia menuliskannya dengan kadar kesenangan yang tak bisa ia ukur.

Tapi kesenangan Sam tak berjalan semestinya ketika Burhanudin memasrahinya tugas untuk “mengawal” kasus persengketaan tanah di Urutsewu yang terjadi antara orang-orang di sana dengan tentara. Sam sudah bisa menebak bahwa yang datang ke biro jasanya pastilah dari pihak tentara. Sam mengerjakan tanggungan itu dengan setengah hati. Bagaimanapun, dengan menerima pekerjaan ini, Sam turut menyaksikan orang-orang di sana bentrok dan tentu saja mereka menjadi pihak yang kalah. Sam memang mendapatkan bayaran lebih banyak dari biasanya dan itu ditransferkan langsung oleh Burhanudin sebanyak dua kali.

“Santai sajalah Bung,” kata Burhanudin di saluran telepon menjawab keluh kesah Sam begitu proyek itu selesai. “Kehidupan memang kadang brengsek, dan kita mesti melakoni peran kita tanpa perlu melihat itu baik atau tidak.” Lanjut Burhanudin.

Tapi Sam tidak bisa santai, apalagi ketika empat bulan kemudian Burhanudin memberinya pekerjaan di mana ia mesti menciptakan wacana tandingan agar warga  yang hidup di lereng pegunungan Kendeng menerima kebijakan pemerintah yang mengijinkan akan dibangun pabrik semen di sana. Bukannya sok-sokan merasa peduli dengan lingkungan, tapi membayangkan pohon-pohon tumbang dan sawah-sawah hancur digilas buldoser untuk kemudian diganti dengan istana dari beton membuat Sam menempelkan lanskap pemandangan itu pada kehidupannya sendiri.  Ia paham bagaimana rasanya jika suatu ketika orang-orang itu tersingkir dari tanah mereka sendiri, karena hal  itu juga  pernah keluarga neneknya alami. Kegelisahan Sam masih ditambah adanya fakta, belajar dari jam terbangnya di biro secara alamiah, bahwa pihak-pihak yang datang ke biro  mereka nyaris semuanya adalah orang-orang yang menurutnya tak beres secara moral.

Kemurungan Sam masih terlihat bahkan ketika ia melihat Hidayati berdiri dengan berkacak pinggang demi mengagumi jamban yang baru saja diselesaikan oleh tukang yang disambat Hidayati tempo hari. Jamban itu belum ada atap sengnya, karena uang yang diberikan Sam tak mencukupi, tapi melihat Hidayati cengar-cengir sendiri begitu, Sam tahu kalau Hidayati begitu puas.

“Terima kasih Sam, mulai besok kita tak perlu lari-lari anjing lagi ke tempat si Ronji.” Hidayati menarik-narik lengan Sam dan Sam cuma berdeham. Hidayati menggelitik-gelitik pinggang Sam, dan Sam mengerjap-ngerjapkan mata. Sam tahu maksud Hidayati apa ketika istrinya itu menyeret kaos Sam dan memintanya agar lekas naik ke loteng.

“Kita harus merayakan ini.” Desah Hidayati di telinga Sam ketika tanpa bisa menolak, Sam begitu saja dibaringkan oleh Hidayati di kasur kapuk sementara Hidayati sudah duduk di atas perutnya.

“Apakah, sekiranya Tuan Sam, Sambung Suwarno, berkenan jika batang bambunya hamba jilati?” Terus terang saja Sam kaget mendengar kalimat itu, sama terkesimanya ketika Sam mendengar langsung makian Biji-Pelir-Busuk yang dilontarkan Hidayati beberapa hari sebelumnya. Tapi Sam tak sempat membalas ungkapan seindah itu, lantaran sejurus kemudian, Hidayati sudah berhasil memelorotkan jins dan celana dalam yang Sam pakai.

Siang bolong itu percintaan mereka demi merayakan hadirnya sebuah kakus berlangsung dahsyat. Hidayati memutuskan untuk terus duduk di atas atas Sam, dan Sam menikmati bagaimana bulir-bulir keringat Hidayati berleleran dari leher ke perut, serta dari telinga menetes ke lengan ketika Hidayati bergerak maju dan mundur, mundur dan maju, maju dan mundur. Mereka berdua bercinta benar-benar seperti dirasuki sepasang iblis. Aku mencintaimu, Sam. Lenguh Hidayati sembari menempelkan pipinya ke leher Sam seusai mereka sama-sama melewati puncak kenikmatan.

“Aku lebih dari itu agaknya.” Tukas Sam. Ia memeluk kencang-kencang istrinya.

Satu hal yang tak mungkin bisa ia ceritakan ke Hidayati, namun tetap harus dibeberkan pengarang cerita ini di hadapan sidang pembaca adalah bahwa ketika tiga sampai lima detik sebelum keduanya mencapai orgasme, Sam melihat firasat bahwa kelak Burhanudin akan memberinya pekerjaan untuk mengatasi suara-suara penolakan atas penggusuran tanah kampungnya kepada pengembang hotel yang menggunakan jasa bironya. Sam tak kuat membayangkan jika ia nantinya harus mengata-ngatai orang-orang di kampungnya sebagai  musuh pancasila, sementara kepada Hidayati ia akan mengumpat: dasar lonte gerwani.

Sam menangis untuk satu hal itu tanpa sepengetahuan Hidayati, sementara alunan musik dari lagu genjer-genjer itu mendengung terus di telinga Sam.

One thought on “Cerpen #264; “Pendengung dari Sebuah Lengkong”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *