Cerpen #283; “Cinta dan Mata Air”

“Hal yang menyedihkan dari hidup adalah ketika kita mulai kehilangan harapan.” kata Iwan beberapa saat sebelum bunuh diri, Aji kembali mengingatnya saat ia menerima kabar ibunya telah mati tertabrak truk di kota. Namun waktu itu Aji tak membalas, tangannya sibuk mengelap wajahnya dengan ujung kain sarung. Sempat disebutnya sepintas kalau ia ada pikiran memalukan, tapi Aji pikir itu adalah keinginan untuk kembali pergi ke kota. Selama kekeringan berlangsung mereka berdua memutuskan untuk tetap tinggal di desa dan menggali sumur yang kadang tak muncul airnya. Dari 27 sumur yang telah mereka gali hanya 3 yang berfungsi, dan dipikirlah Iwan telah menyerah karena beberapa kali ia sebut ingin pindah ke kota. Di serambi surau, Iwan lebih banyak diam dan tak menjelaskan apa pikiran memalukan itu, malahan ia mengajak Aji makan roti sumbu di rumahnya. Ia bilang punya kopi roasting dan lagu baru dari Adella. Siang itu semua terkesan biasa, Aji tak mencium gelagat bahwa sorenya Iwan akan mati. Ia duduk bersebelahan dengan Iwan yang khidmat menikmati kopinya, sementara matanya memandang perkebunan coklat yang compang-camping karena terbakar. Di sana kekeringan merajalela. Daun-daun meranggas, retakan tanah mengular, dan batang tembakau yang belum sempat dirobohkan berdiri kaku. Biasanya Anita lewat sepintas, menenteng sabit dan karung gamping yang dijejal rumput setengah kering, sebelum hilang dibalik rumpun bambu, dan Iwan akan menyikut Aji. Ia tahu, Aji ada rasa pada Anita. Namun kini, Anita telah kembali ke kota. Itulah yang terus dibicarakan Aji tadi pagi ketika menggali sumur. Sebenarnya Iwan tak tahu apa-apa soal cinta, ia sendiri dua kali ditolak oleh dua gadis berbeda, salah satunya Masruroh si gadis urban yang begitu digilainya.

“Tapi setidaknya kau tahu alasanmu untuk bertahan.” kata Iwan yang entah apa maksudnya. Barangkali ia pernah mendengar di suatu tempat atau dari lirik lagu atau telenovela.

Di teras belakang itu mereka tak banyak bicara, selain pembahasan singkat tentang kopi Posong yang akan tambah nikmat jika ditemani Anita atau Masruroh. Mereka tertawa kecil sambil mencolek pedas bahu lawannya. Tak berselang lama, Iwan mengeluarkan dua batang Marlboro dari celah pecinya dan memberi Aji sebatang. Ia bilang punya sedikit uang dan ingin minum bir dingin.

“Kau baru pulang dari surau tapi malah ingin minum bir.” kata Aji terkekeh.

“Untuk yang terakhir kalinya, habis itu aku akan tobat, setobat-tobatnya.”

Bahkan dengan rangkaian tanda tak langsung itu, Aji tak bisa menangkap maksud yang sebenarnya ingin Iwan ungkapan, semua begitu alamiah. Mereka berdua sibuk memamah roti sumbu sambil menikmati semilir angin kering. Mereka karib semenjak kekeringan berlangsung, yang bekerja suka rela menggali sumur, sementara pemuda lain sudah pindah hidup di kota. Hanya tinggal mereka berdua. Bisa dibilang, Iwan adalah kawan satu-satunya yang Aji punya. Mereka seperti dua pemuda gila, yang tiap hari menggali sumur yang belum tentu muncul airnya. Bukannya ikut cari kerja di kota, mereka justru terlibat kerja yang tak jelas juntrungnya. Namun siapa peduli, mereka terus menggali sambil sesekali memanen batu yang terpendam di tanah, dipecah lalu dijual untuk pembangunan kota. Musuh mereka, begitu kata Aji, adalah Marop yang selalu menatap Iwan penuh kesal, beberapa kali ia malah meludah ke arah Iwan. Aji hanya merenges melihat ulah senewen lelaki paruh baya itu, tapi Iwan menunjukkan gejala lain: ia sedih dan tampak berdosa. Entah apa salahnya karena Iwan tak mau cerita. Mungkin bukan persoalan cintanya kepada Masruroh, sebab jelas: Masruroh menolak cintanya, dan Aji tak melihat kalau Marop menghalangi Iwan mencintai anaknya.

Tidak ada yang yakin Iwan sungguh mati bunuh diri, meskipun berbulan-bulan wajahnya selalu murung. Ia bagaikan malaikat murung yang menjalani hidup dengan penuh semangat, dan bunuh diri seakan tiada dari kamus hidupnya. Namun apa yang terjadi kemudian membuat Aji menyesal karena tak menemani Iwan menggali sumur, malah tetap tinggal di warung Bagus Eka untuk minum arak hingga petang, ditemani Wisnu Yudha dan setengah bungkus 76 kretek. Di sana, ada pula Siti yang bersedia menukar tubuhnya dengan tiga jerigen air, begitu kata Wisnu Yudha memberitahu. Iwan sempat tak percaya, tapi Wisnu Yudha terus meyakinkan, dan bertambahlah sedihnya. Ia tak menyentuh apa pun selain dua gelas bir. Beberapa butir meleleh di mulutnya, tak ia usap, tapi dijejal dengan beberapa hisap rokok.

Pukul tiga lebih, Iwan minta pergi. Ia bilang ada urusan dan akan mulai menggali setelahnya. Ia tak perlu ditemani, katanya sambil memutarkan pedal sepeda, mengecek rantai yang sudah begitu payahnya. Aji memandang rokok yang merepet di mulut sahabatnya. Aji juga melihat ada air mata yang menggenang di mata Iwan, tapi tak melihat ada malaikat maut yang bertengger di bahunya. Sepeda melaju, nyaris tanpa kendali, dan tanpa rem. Namun si juru kemudi terlampau mahir untuk tidak membuatnya terperosok ketika menuruni bukit. Aji membuntutinya, hanya lewat tatapan biasa, sebab tiada tanda tanya besar di kepalanya. Saat itu Siti mendekatinya, membisiki kata-kata genit dan menyuruh Aji membawanya ke bilik yang disekat gorden merah gambar bangau yang sudah lusuh. Aji hanya menyeringai lalu dikeluarkannya kalimat lugas nan tajam: atas dasar apa aku menerimamu. Si gadis memakinya dan segera berlalu ke arah gerombolan kuli batu yang baru datang. Wisnu Yudha tertawa-tawa mendengarnya.

“Mengapa kau menolak membantunya?” kata Bagus Eka kemudian.

Aji terdiam, merasakan kacau yang lebih riang di kepalanya. Namun sore itu adalah tragedi. Iwan mati di dalam sumur. Barangkali yang ia maksud pikiran memalukan itu adalah bunuh diri, dan saat ia bilang ada urusan itu adalah mencari pisau atau golok untuk menggorok lehernya, sebab menurut kesaksian Mbah Tohir, Iwan sore itu tampak linglung, mondar-mandir di sekitar rumah.  Mereka sempat bertemu tapi tak saling bertukar kata, Iwan hanya menggaruk-garuk kepalanya. Demi melihat raut aneh di wajah si pemuda, Mbah Tohir berpikir bahwa Iwan telah senewen karena kerjanya sia-sia belaka. Aji masih bertanya-tanya, seakan tragedi itu tak begitu gamblang, namun ia terus mencari iblis jahat yang jadi biangnya, perkara yang tidak diketahui siapa pun.

Mayatnya ditemukan dua hari kemudian oleh Sukri setelah mendapati bau anyir dari dalam sumur, juga kawanan lalat yang berkerumun di sekitar. Sore itu Aji masih terlelap, meski matahari bersinar amat terik di waktu itu, menambah-nambah kepongahan atas kemenangannya menghancurkan tanah, sungai dan sumur. Tadi malam ia begadang di warung Bagus Eka ditemani Siti dan baru pulang menjelang siang. Ia menghampiri rumah Iwan, tapi nihil. Ia mencari ke sumur, kosong, Iwan tiada di sana. Ia lalu pulang dan tidur sambil menunggu Iwan yang lenyap dua hari ini. Mungkin ia sungguh pergi ke kota tanpa sepengetahuannya. Tono membangunkannya, sekaligus mengabarkan Iwan yang sudah tak bernyawa. Aji berlari, mencampakkan mata sayup dan rambutnya yang semrawut. Dilihat banyak orang berkerumun, menutup mulut mereka dengan tangan, seolah tak percaya kalau yang dilihatnya bukan suatu dusta. Memang, Iwan sungguh mati, lehernya tergorok dan urat lehernya putus, menjuntai bagai kabel radio yang terporanda. Aji melihat setelah dua polisi mengangkat mayat Iwan dari dalam sumur. Di sana ditemukan juga sebilah pisau berkarat.

Di luar kerumunan ada mobil patroli dengan lampu masih berputar-putar merah dan sirine masih menyala. Di sanalah Aji melihat Marop yang bersandar ke badan mobil dengan wajah terkutuknya, cengengesan dan masyuk dengan rokok kreteknya. Aji yakin kalau ia pelakunya, demi langit, orang itu pelakunya. Aji bergegas menghampiri dan memukulinya tiada ampun, membuat lelaki itu terhempas ke tanah. Aji masih memburunya, seolah membayar semua makian Marop yang selama ini belum mereka balas. Beberapa orang melerai, dan Ia diseret masuk ke rumah Udin oleh seorang polisi. Wajahnya masih menyisakan murka dan matanya melotot durjana. “Ahhh!” Ia melolong begitu panjang dan keras.

Mayat Iwan dibawa pulang ke rumahnya, dibaringkan di atas meja, dan hanya ditutupi kain batik seluruhnya, menyembunyikan luka terkuak di lehernya yang sudah dijejal berkantung-kantung kapas dan dibalut perban, menunggu waktu dimandikan. Empat jam kemudian, enam ember air diangkut dua mobil pick-up dari kota. Sementara beberapa orang menyiapkan air, Kiai Sahal dibantu beberapa anggota keluarga si duka menelanjangi Iwan dari pakaian, lalu setelah siap, menggosoknya dengan sabun, membuatnya wangi kembang. Mereka melakukannya dengan hati-hati agar jangan sampai air basuhan menciprat ke ember air bersih dan menjadikannya musta’mal. Biasanya, ketika air masih melimpah, mereka memakai selang, hingga tubuh si mayat benar-benar bersih dan suci. Namun dengan keadaan darurat seperti ini, mayat cukup dimandikan secara qaliluhu, dan Kiai Sahal hanya berucap lirih: “Tuhan memaklumi.”

Selepas Isya, mayat Iwan digotong untuk dikuburkan. Aji kembali melihat Marop diantara iring-iringan pelayat. Raut wajahnya masih sama, cengengesan sambil menghisap rokok. Ia semakin kesal, menyaksikan Marop bertambah gembira. Orang itu terlalu bodoh untuk menyembunyikan kegembiraan di wajahnya yang penuh bonyok, pikir Aji. Ia pun kembali memukulnya dan kali ia menggampar Marop dengan batu, membuat kepala Marop berdarah-darah. Malam itu juga, ia diseret ke rayon militer sebelum diambil kepolisian pagi harinya. Selama penahanan, Masruroh dua kali mengunjunginya: yang pertama ia diberi tamparan pedas dan wajahnya diludahi si gadis; kedua, Masruroh yang datang dengan dandanan menor, menyabet kepalanya dengan tas dan berkata penuh kepuasan bahwa Aji akan jadi pesakitan di dalam sel, jadi bulan-bulanan sipir dan preman yang ia bayar.

“Katakan kau menyesali perbuatanmu.” kata si gadis.

“Aku menyesal karena membiarkan ayahmu hidup.”

Masruroh kembali menggamparnya. “Aku pastikan, kau akan jadi perkedel selama di sini.”

Aji hampir tertawa mendengar pilihan katanya, seperti dicontek dari sinetron-sinetron, tapi ia tidak takut. Selama di rayon militer ia diperlakukan dengan kasar oleh prajurit jaga dan dihajar polisi-polisi baru saat berada di kantor polisi. Jika ia sungguh dihajar preman yang dibayar Masruroh, ia bisa membalasnya, seperti dalam film Sylvester Stallone. “Jika kau pandai mendendam, aku juga bisa.” kata Aji sesaat sebelum gadis itu pergi sambil mengumpat. Ia kemudian mendapat kabar kalau Marop mati, di tangan Toyib. Aji pernah melihat sorot mata penuh dendam itu saat si keluarga duka menangisi kematian Iwan. Lebih dari cukup untuk membuatnya menghajar Marop. Ia kini membayangkan anak gadisnya, Masruroh, yang jika pulang dari kota akan menemukan ayahnya mati, dan tahu jika pembunuhnya adalah ayahnya Iwan. Sebelum maut datang Marop tengah berselisih dengan Gito, berebut air di palang pintu. Seketika Toyib datang, membela adik iparnya. Pertikaian semakin sengit, sebelum pukulan cangkul berhasil membuat nyawa Marop melayang. Toyib menyeret tubuh yang sekarat dengan batok kepala pecah menuju sumur tempat anaknya mati, dilemparlah jasad Marop ke sana. “Sesuai katamu, sumur itu butuh tumbal.” kata Toyib. Aji akhirnya tahu apa motif Iwan bunuh diri, ia dijadikan kambing hitam atas kekeringan yang menimpa. Sejauh yang diingat, di pagi sebelum Iwan mati, Marop mendatangi mereka dengan wajah manyun jahatnya dan berkata jika sumur itu butuh tumbal, lalu ditataplah Iwan dengan tajam seolah berkata: kaulah tumbalnya.

Sebagaimana yang diceritakan, asal mula kekeringan itu adalah ketika para pemuda nekat menggelar pertunjukan kuda lumping di makam tetua. Orang bilang ini adalah karma, karena menyelonong seenaknya di tempat keramat. Iwan yang berdiri sebagai otaknya merasa berdosa telah membuat kesengsaraan ini berlangsung, membuat para orang tua beramai menitipkan anaknya ke panti asuhan atau dititipkan ke desa-desa di pelosok jauh untuk dihidupi. Iwan pernah bersemangat mengentaskan masalah air itu dengan menggali banyak sumur, tapi perlahan-lahan merosot, dan jalani hari sembari berpikir untuk bunuh diri.

Aji sendiri sebenarnya tak bisa melacak kemarahannya kepada Marop. Ia tak ada masalah suatu apa pun. Barangkali itu serupa piutang yang mesti dibayar selama bertahun-tahun ketika Marop berulang kali memakinya, melempari dengan lempung bahkan meludah ke arah mereka. Ia sebenarnya ingin menghormati lelaki itu sebagaimana Iwan. Mestinya sebagai karib ia bisa memberi semangat, ‘tenangkan dirimu, sahabatku, kita orang hebat, kuat melawan arus masyarakat,’ mencontek lirik yang pernah didengarnya suatu ketika. Itupun seandainya ia tahu. Namun demi Iwan, ia tetap merasa lelaki itu memang pantas mati. Aji menghempaskan tubuhnya ke tembok, menyandar tiada daya, tertunduk dan perlahan tubuhnya merosot, menjelajahi tembok sebelum akhirnya berjongkok dan mulai meratap, menyesali mengapa manusia jadi sebengis ini, saling membunuh karena terlalu menuruti emosi. Di tahun awal kekeringan, ayahnya saling tikam belati karena berebut air di palang pintu, seolah mereka hanya berpikir pendek ‘yang penting tanamanku hidup’ tapi abai terhadap istri dan anak-anaknya di rumah. Dan saat inilah, ia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Orang boleh terperosok tapi tidak untuk putus asa.

Pada mulanya Aji adalah pembangkang yang menentang semua peraturan lapas sehingga para sipir mesti mengasari dirinya, begitupula dengan sesama tahanan. Ia sering dihajar hingga babak belur atau kepalanya dibenamkan ke air selama yang membuat paru-parunya serasa mau meledak. Bahkan ia sempat dihajar hingga tak sadarkan diri. Namun kini Aji mulai terlihat aktif dan selalu menampakkan dirinya di bengkel lapas, membenahi kendaraan petugas yang rusak. Agaknya hidup di dalam lapas tampak lebih membahagiakan ketimbang hidup di desa yang tengah dilanda petaka. Ia bisa makan sampai puas dan mandi sampai badannya menggigil kebiruan lalu berjemur seperti kadal di lapangan. Dataran tinggi desanya terbakar selama bertahun-tahun, tanah menjadi keriput dan hangus sedikit demi sedikit. Batu-batu remuk menjadi debu di bawah telapak kaki. Ratusan ternak mati, atau hidup tapi badannya kering kerontang, membuat pemiliknya iba lalu menyembelihnya, dibiarkan karena tiada air untuk mencuci untuk disantap ajak liar, atau menyatenya begitu saja tanpa dibersihkan.

Sebaliknya dari yang mereka alami, Aji hidup nyaris seperti pekerja di kota, bahkan dengan bagaimanapun, kebutuhannya selalu tercukupi. Dengan apa yang ada padanya: segala kesulitan; dipan yang sempit; bak air dan persediaan makanan yang dipasok setiap minggunya, ia merasa dirinya seolah bangsawan yang dikelilingi jeruji besi. Aji nyaris melupakan semuanya. Barangkali Tono yang sedang beranjak remaja yang mengurusi kebutuhan keluarganya. Ia bisa bekerja sebagai penambang batu dan ibunya mengurus garapan lapisan tanah tipis yang memenuhi cekungan yang telah Aji buat jadi terra preta dan ditanami dengan tetumbuhan seadanya, jika panen banyak bisa mereka jual ke pasar atau ke tetangga. Tempatnya telah berubah jadi hamparan tanah kosong dan terlantar yang hanya dihuni oleh batu dan pepohonan layu. Sesekali tampak bekas galur pada tanah bekas digaru. Tapi tak ada yang bisa diperbuat, jadi satu-satunya yang bisa dihasilkan sekarang adalah memanen batu atau menambang pasir di bekas sungai yang airnya sudah keruh dan berlumut karena terlalu lama tergenang. Beberapa orang sering mencuci baju di sana atau nekat mandi, menyiramkan air sekaligus jentik-jentik nyamuk dan lumut ke tubuh.

Masa-masa itu mereka sangat jarang mandi, membuat mereka kesulitan untuk saling menjamah pasangannya sebab dengan tubuh yang bau mereka tak cukup pede, atau jika dipaksakan itu akan menyakitkan, percayalah, mereka akan bercinta seperti ayam yang mengawini betinanya. Belum lagi masalah mereka bersuci dari hadas karena air yang sedikit membuat mereka kesulitan mandi jinabat. Kekeringan ini serasa kematian yang datang sepenggal demi sepenggal. Selama hampir empat tahun itu, hujan hanya turun beberapa kali, tidak cukup deras hanya gerimis atau hujan biasa yang tidak berlangsung lama, tanpa meninggalkan air di cekungan atau sumur, seakan tanah kering yang kehausan meminum habis semuanya. Dan diputuskanlah untuk merantau dan mengadu nasib di kota. Namun tak semua orang siap, terutama para lansia, wanita atau mereka yang percaya tak cukup terampil untuk hidup diluar daerahnya. Sungguh sulit melupakan penderitaan. Ia bagai pasukan iblis yang berkeliaran di atas muka bumi untuk berbuat apa saja, seolah tanggal kematiannya tak pernah dicatatkan. Yang dapat mereka lakukan hanyalah bungkam, sebab meski sesekali pemerintah maupun relawan datang ke desa itu untuk memberi bantuan air bersih, sambil mereka tetap menunggu pembangunan irigasi dan PDAM yang akan membentang sejauh 48 kilometer.

Bagaimanapun pikirannya masih masih membayang mengenai nasib keluarganya tanpa dirinya, sebab inilah pertama kalinya ia meninggalkan mereka untuk waktu yang lumayan lama. Seakan waktu ibunya dan Tono menjenguknya tak cukup untuk membuat hatinya lega mendengar kabar bahwa mereka sungguh baik-baik saja. Namun apa yang datang kemudian adalah kejutan, Tono masuk penjara. Ibunya siang itu datang dengan kepayahan, asmanya seakan kumat dan dengan jantung yang berdegup tidak terkendali. Aji melihat butiran keringat mengucur dari dahi ibunya, yang tersengat panas dan lelah setelah menempuh perjalanan 30 kilometer naik kereta.

Anak itu terlibat kerusuhan di tempat para cukong bekerja menebangi hutan yang diyakini sebagai sumber dari segala petaka ini. Para cukong datang, hampir dua puluh tahun lalu, mengantongi izin untuk menebang habis seluruh kawasan hutan. Di saat yang sama, juga marak terjadi pembalakan liar yang tak terkendali oleh kelompok masyarakat. Mereka begitu bebasnya membawa lebih dari empat kubik kayu setiap malam, melewati kantor kepolisian bahkan sesekali supir truk mengajak petugas patroli minum bareng. Ketika produksi kayu yang berasal dari hasil hutan secara keseluruhan hanya menyediakan kurang dari setengah bahan baku yang diperlukan industri kayu negara, dengan impor kayu yang sedikit, maka kekurangannya diatasi dengan pembalakan ilegal, begitu kata orang. Ketika hutan habis, mereka membujuk para penduduk kampung sekitar untuk menjual kayu-kayu yang tersisa. Diimingi uang yang lumayan dan mudah didapat, mereka merelakan pohon-pohon menghilang, dan itu membuat air semakin sulit, sebab mereka sudah tak punya lagi daerah resapan. Mereka juga lupa mengganti pohon lama dengan pohon yang baru, pohon angsana, mahoni atau trembesi hanya diganti sengon yang kemudian ditebang lagi, bahkan mati sebelum sempat ditebang, keburu kekeringan telah melanda. Puluhan truk coltdisel hilir mudik tiap hari, bahkan sesekali dua-tiga truk kontainer datang, membuat takjub sebab truk jenis kontainer hanya sanggup membawa segelondong kayu saja. Lama-lama pepohonan habis, air semakin sulit, tanah tak lagi subur hingga sering terjadi kegagalan panen. Hasil getah dan buah-buahan serta ikan sungai susut dalam waktu singkat. Mereka percaya bahwa cukong-cukong itulah pelakunya, tapi tak seorang pun mengerti bagaimana memotong lingkaran itu.

Di sepanjang tahun yang lewat, mereka bisa menahannya hingga suatu malam ketika kekeringan sudah berjalan empat tahun. Itu serupa Kresna yang mencapai puncak kemarahannya dan sekonyong menjelma brahala. Serupa tikus kecil yang berani menggigit jari orang yang hendak membunuhnya di sudut lemari. Mereka bukan lagi sebagai cacing yang hanya menggeliat kala terinjak. Serasa sudah cukup amarah itu dilampiaskan ke tubuh sesama korban kekeringan, maka beramai-ramailah mereka mendatangi gudang pembalakan, dengan parang dan kelewang.

Tempat itu sebenarnya telah sepi, ada beberapa pekerja untuk mengurusi pohon yang tersisa, memotong kayu olahan jadi berbentuk Broti ukuran 5×10 atau sejenisnya sebelum diangkut ke berbagai kota tujuan. Tiga gudang berderet dengan pintu besar tertutup rapat. Ada begitu banyak gelondong kayu di halaman, menunggu diangkut ke truk. Para cukong sudah pindah, menjarah pohon di tempat lain, lalu pergi lagi jika sudah habis. Ratusan pekerja telah diberhentikan semenjak hutan mulai habis, terdampak kekeringan lalu pindah hidup di kota, memboyong semua anggota keluarganya. Bisa dibilang mereka adalah orang-orang yang beruntung, sebab sasaran amukan massa itu berubah kepada siapa saja yang pernah ikut membabat hutan bersama para cukong, insinyur kota atau pembalak liar. Ditemukan hampir sembilan puluh orang mati, juga puluhan yang luka-luka.

“Tolol!” teriak Aji sambil memukuli meja, air matanya berurai. Seorang polisi memperingatkannya. Aji hirau dan terus menangis. Ia ingat Tono, si anak manis, santun dan ceria itu.

“Sekarang ibu tak punya siapa-siapa.” kata ibunya, berurai air mata.

“Ibu masih punya aku.”

“Ibu mau pergi ke kota.”

“Jangan!” kata Aji. “Ibu bisa menungguku, tinggal tiga bulan lagi.”

“Ibu bisa menunggu, tapi perut tidak, nak.”

Demikianlah di hari-hari itu Aji tak bisa menikmati hidupnya seperti biasanya. Ia mulai murung, dengan pikirannya yang tak henti membayang nasib ibunya dan nasib Tono, sampai menunggu waktu ia dapat dibebaskan. Ia melihat kesuraman itu mulai menampak-nampak, mengganggu tidurnya dan semakin mengisi kacau di pikirannya. Dan hari itu setelah tujuh bulan dikurung, ia dibebaskan tapi tiada raut muka cerah dan senyum yang disungging. Yang pertama ada di pikirannya adalah pulang ke kampung, bertanya perihal ibunya lalu kembali ke kota. Saat itulah ia mulai terbayang nasib Tono yang katanya dipindah paksa ke lapas yang entah. Namun yang terpenting saat ini adalah ia harus menemukan ibunya dan mengajaknya pulang ke kampung.

Di tengah hiruk-pikuk perkotaan, Aji menghentikan langkahnya, mengambil botol air mineral dari dalam tas, meminumnya hingga terdengar gelegak di lehernya. Ia terdiam selama beberapa saat, melihat kendaraan lewat berlalu-lalang. Kemudian ia menunduk, menengadah yang terus ia ulangi beberapa kali. Saat itu Supriyah menghampirinya. Mereka bertetangga di kampung. Raut wajah perempuan tua itu muram, sendu dan seakan merasakan iba. Aji tak mengerti ada apa dengan semua ini. Sampai Supriyah berkata: ibumu tewas tertabrak truk saat kami lari dari kejaran Satpol-PP.

Aji seketika lemas, ia hampir rubuh dan tubuhnya membentur trotoar kalau saja Supriyah tak menahannya. Ia menggigil dan nyaris tak sadarkan diri. Dunia begitu gelap di matanya. Dan mungkin beginilah rasanya hidup ketika tak memiliki harapan. Hanya mau menangis, menangis, dan menjerit sekuatnya. Supriyah melihatnya lemas dan lunglai selepas ia mengajak Aji berziarah ke kuburan ibunya. Tak henti-hentinya ia menggumam, mengulangi lirik Suratan dari Tomy berkali-kali: ingin kumenangis, saat ku terpaku, mengenangkan nasib, diri yang tiada arti. Bagi si pemuda sendiri, banyak hal telah terjadi dalam hidupnya, tapi ia tak tahu apa di belakang semua ini, sebab yang tak pernah diketahuinya. Ia sering bertanya-tanya, mengapa kekeringan terjadi? kenapa Iwan mati, dan ia menghajar Marop? Mungkin jika ia tak dikurung tujuh bulan, Tono tidak terlibat kerusuhan dan dipenjara, ibunya juga tak akan mati. Adakah sesuatu di belakang semua ini, apakah semua ini sudah suratan bahwa ia tak punya siapa-siapa lagi? Ia pernah mendengar serba sedikit penjelasan, tapi ia bahkan tetap tak bisa mengerti walaupun sedikit. Adakah Iwan si mati itu mendendam? Atau jin penjaga hutan yang meminta tumbal karena tempatnya dirusak? Adakah orang yang harus disalahkan?

“Mengetahui lebih banyak, hanya akan memberimu derita lebih banyak,” kata Anita suatu kali. Ia mestinya tak perlu memikirkan itu, sebab tujuh bulan dikurung saja sudah cukup membuatnya menderita.

Namun jujur, yang paling menderita tetaplah perempuan dan anak-anak, seakan bencana kekeringan ini menjelma menjadi peperangan. Ada banyak orang mati, ada banyak perempuan yang menjanda dan banyak anak kehilangan orangtuanya, juga masa depannya. Bau minyak goreng yang kasar dari warung membuyarkan lamunannya. Senampan serabi hangat terhidang di hadapannya, mengeluarkan bau harum aroma pandan. Aji mengambil bungkus kretek dari dalam toples, mengambil sebatang, dan membakarnya dengan korek gas yang digantung dengan tali di antara jajanan. Ia tak bisa, terlalu pahit. Bayangan mungkin buruk untuk sekarang, tapi sekali-sekali ia masih bisa bersyukur. Aji beranjak dengan asap rokok mengepul-epul di wajahnya. Ia mengambil tasnya. Supriyah terperanjat. “Kau mau kemana?” tanyanya.

“Kembali ke kampung.” Aji meletakkan selembar uang.

“Untuk apa kau ke sana? Di sini kau bisa cari kerja.” Aji tak menjawab dan segera pergi berlalu.

Ia singgah di sumur tempat Iwan mati. Air telah menggenang di dalam sumur meski tampak tak seorang pun berani mengambilnya. Airnya berlumut dan kotor, jadi sarang nyamuk dan belatung.  Aji termenung dan menatap permukaan air, dilihatnya bayangan dirinya sendiri. Air mata menitik, membuat kembang-kembang di air. “kita telah lunasi, setiap janji pada diri kita sendiri, meski terlalu dini.” katanya sambil beranjak.

Berhari-hari waktunya dihabiskan tanpa seorang kawan, menggali sumur sendiri juga ke warung sendiri. Ketika sore hari ia akan pergi ke puncak bukit, memandang kampung halamannya yang terlantar, ditemani sepeda motor butut dan rokok lintingan yang terselip di mulutnya. Ia hanya duduk terpaku selama berjam-jam dan baru beranjak jika hari benar-benar larut. Di hamparan tanah yang begitu dicintainya, ia merasa sendiri. Begitulah nasib yang tak bisa ia campakan. Sesekali dengan sisa uang di kantong, ia akan berkunjung ke warung Bagus Eka, membeli segelas bir dingin, seperempat bungkus 76 kretek, atau menemui Siti. Tapi sore itu Siti tak ada. Nampak dari kejauhan ada seorang gadis yang menunggangi sepeda motor, menapaki jalan berkerikil menuju warung Bagus Eka. Dilihatnya secara seksama dengan pandangan seorang kakek yang lupa pada cucunya. Dan betul, itu Masruroh. Waktu serasa berhenti di sana, Aji mematung beberapa lama, rokok yang terselip di jarinya padam. Gadis itu memesan bir dingin dan sebutir pil -entah apa- lalu melirik ke arah Aji duduk. Masruroh tersenyum sekilas, sebuah senyuman tulus dan penuh kelembutan, bukan senyuman sinis yang pernah diterimanya. Sekonyong Aji berdiri dan menghampiri Masruroh, mengucapkan turut berduka cita, dan tak lupa meminta maaf karena pernah menghajar ayahnya.

Masruroh tersenyum simpul. “Aku tahu, sebenarnya kau tak bermaksud begitu.”

Aji terperanjat mendengar jawaban Masruroh yang demikian bijak.

“Dendam tak menyelesaikan apa pun, melainkan hanya menambahinya.” katanya. Aji tertunduk.

“Aku juga minta maaf telah membayar orang untuk menghajarmu saat di penjara.”

“Aku juga tahu, sebenarnya kau tak bermaksud begitu.”

Mereka tertawa, seolah melupakan kejadian yang pernah terjadi di tempo hari dengan cara paling dewasa. Bahkan Masruroh beberapa kali menyebut Anita dan bertanya bagaimana perkembangan hubungannya dengan Anita. Aji tersenyum simpul.

Gadis itulah yang tak henti ia bicara kepada Iwan di pagi hari sebelum Iwan mati, setelah kepergiannya yang tergesa. Selama seminggu pulang ke kampung, gadis itu tak menyapanya sama sekali, bahkan sering memalingkan wajahnya. Anita juga tak mengucapkan terimakasih sebagaimana biasa ketika ia mengantarkan 3 jerigen air ke rumahnya. Di waktu kepergiannya yang tergesa itu, Aji sempat mengantarkan Anita ke stasiun, menunggunya sampai masuk ke kereta dan terus memandang sampai kereta benar-benar hilang, sebagaimana biasa. Ia tetap tak kunjung bisa memperoleh jawab, dan berpikir gadis itu telah lain. Namun akhirnya terkuak juga ketika ia dan Anita tak sengaja bertemu di sumur. Gadis itu mulanya memalingkan muka, tak menyapanya dan lari kepayahan sambil menenteng 2 timba air. Aji mengejarnya, merengkuh lengan si gadis sebelum Anita rubuh dan bersimpuh di tanah, basah oleh air yang tumpah.

“Kau kenapa, Anita?”

Gadis itu tak menjawab selain terus menunduk dengan sesenggukan yang makin lama makin keras. Aji masih memburunya, bertanya berkali-kali: “kau kenapa, Anita?”

Barulah kali ini si gadis mendongak dan menatap Aji, meski tatapan Anita tampak berkabut. Ia menjawab: “aku bunting.”

Aji melepaskan genggamannya, menatap aneh sekaligus berdosa, tergerap ingin melontarkan kata yang entah, sebelum akhirnya buyar dan cuma sanggup berkata “maaf, akan aku ambilkan air lagi” sambil membantu Anita berdiri. Ia lihat perut itu, sudah besar dan mungkin akan melahirkan anak dalam waktu dekat. Anita kembali menunduk dan mengelus-elus perutnya karena barangkali perbuatannya cukup mengusik ketenangan si jabang bayi. Sekarang, lengkap sudah penderitanya, oleh takdir yang selalu menempatkan dirinya dalam derita yang tak terperikan.  Belakangan Aji sadar, kalau bayi yang dikandung Anita adalah anak yang tidak diharapkan kehadirannya. Semua terpampang jelas ketika pagi itu ia mengantarkan air ke rumah Anita. Aji melihat bagaimana amarah Jubaidah meledak, menghajar anak dan calon cucunya tiada ampun. Aji gemetaran, antara takut dan kasihan, lalu hatinya tergerak untuk membantu Anita yang terus digampar. Tapi sesuatu menahannya, ia ingin memaki ketidakberdayaannya. Ia ingin memaki karena sadar, ia tak boleh lancang.

“Sekarang kau pergi, cari lelaki itu!” ayahnya kini angkat bicara. Jubaidah sekali lagi menampar pedas pipi Anita. Si gadis hanya menangis. Sesaat kemudian ia melihat Anita lari tergopoh-gopoh dari rumahnya, menenteng tas dengan tangis yang tak juga berhenti. Aji masih terpaku di sana, otaknya berusaha keras memecah belah perkara ini. Adakah ia harus membantu Anita? Atau dibiarkan sebagaimana mestinya untuk gadis itu menjemput dan membawa pulang kekasihnya? Adakah ia mesti berbuat? Aji masih mematung di tempatnya, berusaha memanggil Anita sekuat tenaga, tapi suaranya lebih banyak menggema di kalbunya sendiri, suara yang cukup kecil dan tampak tak terdengar Anita.

Itulah gadis yang sebenarnya ia antar ke terminal sudah dengan benih bayi di perutnya. Aji ingat saat pertama kalinya Anita pergi ke kota. Ia ada di sana, bersama kedua orang tua si gadis, mengantarkannya sampai ke terminal dengan sepeda motor yang diboncengi tas dan Jubaidah, Anita sendiri dibonceng ayahnya. Aji melesakkan tas besarnya ke bagasi sementara Anita mencium tangan ayah dan ibunya. Aji tak lupa itu, ketika Anita berdiri di depannya dan sekonyong meminta mencium tangannya. Aji juga ada sewaktu gadis itu pulang, ia sendiri yang menjemputnya. Namun kini lain. Anita sudah ada untuk lelaki lain, entah siapa.

Kenangan redup yang timbul-tenggelam itu terus beterbangan bersama hari-hari Margio melewatkan banyak waktu di warung Bagus Eka, menenggelamkan diri dalam bergelas-gelas arak sampai di suatu waktu bisa mengetahui bahwa dirinya telah benar-benar terbenam. Menyadari keterpurukannya yang semakin menjadi, ia hanya sanggup melolong, tak lebih. Memaki dirinya yang semakin tiada arti. Masruroh yang juga sering ke sana untuk membeli bir dan sebutir pil, menghampirinya. “Anita butuh seorang teman.” katanya, selepas beberapa kalimat yang Aji tidak dapat mencernanya.

“Ia sudah ada yang punya.”

“Bohong, hatinya cuma untukmu.”

Mungkin Masruroh hanya berbual untuk menenangkan hatinya. Gadis itu tak tahu apa-apa, tapi Masruroh terus meyakinkan dan memberi alamat seandainya Aji mau ke sana. Bohong, alamat tempat kerja Anita tidak di sana, ia tahu karena Anita pernah bercerita padanya. Masruroh mengelak, ia bilang Anita sudah pindah, karena di tempat lamanya ia selalu diperkosa majikannya. Aji terbungkam, mulutnya mengangga kaku dengan air mata menggenang, meratapi semua yang telah meluruh dan berharap semua kejadian sungguh tak ada, untuk memiliki hidup yang tenang apa adanya karena masalah kekeringan sudah cukup menggugurkan mimpi remajanya. Menyadari keterdiamannya, Masruroh memungut tangan Aji, menariknya dan menggenggamnya untuk membuatnya yakin bahwa semua akan diatasi. Ia boleh tak punya harapan, tapi ia masih punya alasan untuk bertahan: Anita.

Tatapan mata itu, sedih sendu dengan roman yang tak terjamah, seakan meminta Aji menafsirkan sendiri luka yang tergores pedih. Anita lalu membuang tatapannya, kembali mencuci piring. Berulang kali ia mengusap air matanya yang luruh, untuk tak membuat wajahnya semakin basah. Aji masih berjongkok di sampingnya, terus meyakinkannya untuk pulang ke desa. Anita beranjak, menuang adonan ke cobek di atas tungku, membolak-balik gorengan di wajan yang penuh minyak mendidih. Seolah tak tertarik pada gagasannya untuk mengajaknya hidup bersama di desa. Ia bisa menggali seratus sumur untuk Anita, membuatkan terra preta untuk bercocok tanam dan bisa menjadi penambang pasir demi menghidupi Anita dan si bayi. Namun demi melihat wajah acuh tak acuh Anita, dirasanya semua itu hanyalah bualan semata. Memang, ia sendiri tak punya apa pun untuk dipercaya.

“Kita akan lahirkan anak itu di desa. Kota tak cocok bagi kita.”

Anita kembali muncul dan menatapnya. Aji balas menatapnya, kirim isyarat bahwa semua itu benar adanya, tanpa perlu ia berkisah tentang Masruroh yang jadi ciblek, yang gajinya masih dipotong biaya kamar, jatah bos, hansip, tukang ojek, calo, sampai jatah ketua RT, lurah hingga camat daerah; rawan diperas lalu dipaksa melayani polisi agar dibebaskan, resiko penyakit kelamin dan kekerasan. Tak perlu ia sebut semua sebab mungkin Anita sudah tahu. Kekeringan ini benar-benar mencekik mereka.

“Seperti katamu, dunia ini memang bukan tempat yang indah, tapi juga bukan kakus yang mampat.” kata Aji. “Aku selalu ingat itu, makanya aku tak berhenti berupaya meskipun sering menemui kebuntuan.”

Anita tak menjawab. Ia hanya mengayunkan langkah, membuka kran dan kembali mencuci. Setelah itu keheningan melanda mereka. Hanya suara minyak mendidih dan suara radio dua band yang diputar pelan dari dalam warung, tercenung dengan kacau di pikiran masing-masing. Suasana itu akhirnya dipecah oleh Aji yang tiba-tiba berkata, membuat Anita menoleh dan menatapnya.

“Beberapa waktu lalu, aku mendengar cerita tentang seorang tua yang mengatasi kekeringan di desanya dengan menanam banyak pohon beringin.”

“Memang, pohon beringin sangat bagus buat memperbaiki ekosistem yang rusak.” kata Anita diiringi senyum tipis.

Aji tersenyum puas, ia kembali menemukan citra intelektual dan keriangan dari si gadis terpuja. “Mari kita lakukan.” katanya bersemangat. “Karena tak baik membiarkan banyak orang semakin kehilangan sesuatu yang begitu dicintainya.”

5 thoughts on “Cerpen #283; “Cinta dan Mata Air”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *