Cerpen #263; “SEBELUM KOYAK TELINGAKU”

Sebelum benda pemotong itu meluncurkan suatu sinar keunguan –tanpa aku benar-benar yakin apakah itu keunguan atau kemerahan– yang melejit dan menghunjam daun telinga kananku, aku selalu berujar pada diriku sendiri, “Persetan orang lain.”

Aku, lelaki tua berusia 90 –atau 105, atau mungkin lebih muda lagi, 86, entahlah, aku tidak tahu, sudah lama kartu penanda tahun kelahiranku raib dan aku tidak memiliki kepentingan apapun yang membuatku membutuhkannya– yang satu-satunya manusia yang pernah kurawat adalah seorang gadis berusia tidak lebih dari dua puluh, selalu beranggapan bahwa tindakan tidak peduli adalah hal penting yang tidak dapat digubris. Dengan tidak peduli, aku bisa hidup nyaris tanpa banyak mengomel. Dengan demikian, hidup tanpa menyusahkan siapapun. Aku mungkin bahkan tidak pernah menyusahkan negara (kumpulan orang-orang lain).

Gadis remaja yang mengaku cucu Raning itu, sebenarnya tidak juga pernah kurawat jika “merawat” diartikan sebagai “memelihara dan membesarkan”. Dia hanya menginap. Dia berada di rumahku tidak lebih dari satu bulan. Tetapi, sejauh yang bisa kukenang, hanya pada saat itulah aku memperbolehkan orang lain tidur di rumahku, rumah yang bertembokkan susunan batu sehingga ketika malam turun, cukup membuat udara menjadi dingin dan lantas membuatnya menggigil di hari pertama lalu jatuh sakit keesokannya. Aku merawatnya. Karena itu kubilang, “satu-satunya manusia yang pernah kurawat”.

Kalau kupikir-pikir, dan aku sering kali memikirkannya, seandainya pada waktu itu aku masih berada di ladang, mengurus tanaman-tanamanku yang semakin hari semakin sulit mau hidup, dan biasanya aku tidur di pondok ladang namun di hari itu kuputuskan pulang ke rumah, barangkali kami tidak akan pernah bertemu.

Aku baru saja tiba di rumah dan sedang bersiap untuk menjerang air saat pintu diketuknya. Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mengabaikannya, misalnya dengan pura-pura tidak di rumah. Cahaya perapian yang menghasilkan bayang-bayang bergoyang terlihat dari jendela yang terbuka lebar dan pasti mudah baginya menebak bahwa sedang ada seseorang di dalam. Andai dia datang setelah perapian kupadamkan, mungkin kami juga tidak akan bertemu.

Seolah memang ada tali halus yang mengikat tangan dan kaki kami yang memastikan kami harus bertemu.

Akibat dari pertemuan yang tidak lebih dari sebulan itu, landasan pikiran bahwa aku sebaiknya selalu tidak peduli pada manusia lain menjadi goyah, dan kini telingaku sobek demi membayar peralihan pegangan yang telah kupercayai berpuluh-puluh tahun itu –nyaris seumur hidup.

Rumahku tertelak tak jauh dari Bukit Hutan Hitam. Ladangku sendiri berada tepat di kaki bukit. Bukit itu, yang kering kerontang kini, pernah penuh dengan pepohonan.

Legenda yang tersebar di antara kami, Bukit Hutan Hitam sesungguhnya gundukan besar yang muncul dari tanah karena bumi tengah melindungi kami dari amukan raksasa di Utara. Kami percaya, sebab bentuknya memang seperti gundukan, membentang, melintang, membatasi antara kami dengan apa saja, siapa saja, yang berada di sisi bukit lainnya. Sebelum ditemukan jalur lain dengan memutari bukit, tiap orang dari sisi bukit lainnya, harus mendaki bukit –karena hal ini kami jarang kedatangan tamu.

Bagi kami, mendaki bukit itu tidak sulit. Di salah satu bagian bukit, ada sebaris pohon besar tumbuh. Akar pohon-pohon besar itu menjuntai, berkelindan dan berpilin-pilin, menjulur hingga ke bawah bukit. Akar pohon yang satu dan pohon yang lainnya, saling menyambut dan menyambung. Dari pohon yang paling dekat dengan kaki bukit hingga pohon yang berada di puncak.

Kami adalah orang-orang peladang dan pemburu. Ketika aku sudah mampu menyebut nama-nama orang dengan pelafalan yang benar dan sudah bisa berhitung melebihi seratus, orang tuaku mengajarkan cara berladang dan berburu. Begitu juga yang terjadi pada anak-anak lain.

Orang tuaku mengajarkan, ada bibit-bibit yang bisa ditanam di lahan yang berair, ada yang hanya bisa di tanah lembab. Ada bibit yang bisa langsung ditabur, ada yang harus dikeringkan dulu sebelum ditanam, agar merekah kulitnya dan mudah keluar tunasnya. Ada tanah yang bisa digarap dengan bermodal tangan saja. Ada yang harus dihentak keras-keras dengan kapak (tapi jangan terlalu keras juga, sebab kau sedang tidak menggali kuburan, pesan orang tuaku).

Dalam perburuan, kami diharuskan mampu membedakan jejak babi, rusa, atau kijang. Sesekali kami berburu burung. Hanya sesekali dan selingan. Karena burung tidak bisi bikin kenyang (kecuali yang dilahap adalah puluhan ekor). Kawan berburu yang paling bisa diandalkan adalah anjing-anjing. Sebelum mereka benar-benar bisa dipercaya, mereka harus dilatih. Itulah tugasku pertama dalam berlatih berburu. Anjing yang paling bagus adalah yang keempat kakinya sama tingginya, berbulu gelap, dan hidungnya tidak keluar ingus.

Bentuk kepala anjing juga menentukan karena ada otak di dalam kepala dan kepala yang miring tentulah menyimpan otak yang miring. Tidak ada gunanya memekik dengan anjing berkepala miring. Dia tidak bisa membedakan kapan harus berdiam diri, kapan harus menyalak. Aku pernah punya dua ekor yang berkepala miring. Yang satu mati terinjak babi buruan karena tetap diam saat si babi buruan memberontak, sedangkan yang satu menyeruduk tuannya sendiri. Beruntung kakiku hanya memar. Sejak saat itu, dia kutugasi hanya berlari-lari di depan rumah dan kuberi makan sayuran.

Aku juga bersekolah. Ada sebuah sekolah dasar. Isinya, tidak lebih dari sepuluh untuk seluruh anak dari kelas awal hingga akhir. Aku tidak bisa melewati kelas empat. Walau guruku berusaha memerhatikan pembelajaranku lebih dari yang lainnya, aku memang anak yang tidak bisa diharapkan. Aku tidak bisa dihadapkan dengan benda apapun yang berisi tulisan atau angka. Jari-jemariku mudah sekali gemetar ketika memegang alat tulis. Lebih mudah bagiku untuk ratusan kali mengayunkan cangkul atau kapak ke tanah ketimbang harus merangkai kalimat atau menghitung perkalian lebih dari seratus (jika satu ekor ayam bertelur sebelas, maka ada berapa telur dari enam ratus lima puluh satu ekor ayam?).

Maka selamanya aku tidak bisa melewati kelas empat.

Sinar keunguan itu telah mengoyak daun telingaku. Aku bisa merasakan rasa sakit terhimpun dan menyebar ke sekujur tubuh dengan cepat. Karena aku tengah terlentang, deras darah mengucur ke rambutku yang tipis.

Pandanganku lurus ke langit. Hujan telah reda beberapa waktu lalu, dan seperti sebelum-sebelumnya, hujan membuat koreng-koreng sekujur tubuhku menguarkan aroma yang busuk. Gatalnya sangat tidak tertahankan. Tetapi aku tidak menggaruknya kali ini. Derita akibat telinga yang koyak lebih mencekam dan tidak tertahankan.

Menjemput mati seperti ini tidak akan pernah aku bayangkan, apalagi kulakukan, seandainya gadis itu tidak muncul.

Gadis itu mengaku cucu dari Raning. Cucu dari Raning si Mungil. Argh. Beberapa hal memang ditakdirkan untuk tidak dapat dilupakan, setua apapun usia, serenta apapun tubuh. Semenderita dan sesekarat apapun.

Raning si Mungil, begitu kami memanggilnya, gadis yang oleh orang tuaku dilamar untuk mengakhir masa bujangku. Barangkali kami bertaut usia cukup jauh, sebab sewaktu orang tuaku berbicara pada orang tuanya, Raning masih belum dirajah tangannya sebagai tanda ia sudah pandai menenun dan menganyam; dua keterampilan yang harus dikuasai perempuan yang cukup umur untuk menikah. Sementara aku ketika itu, telah merupakan pria yang tangannya mampu mengangkut balok pohon besi seorang diri. Jangan tanya soal mencangkul ladang. Aku mengerjakannya dari pagi hingga petang dan masih belum terasa letih setelahnya. Tubuhku membesar lengkap dengan bulu-bulunya dan tidak sedikit para pemuda yang mengejekku dengan sebutan “beruang”.

Mereka tidak mengejek secara terang-terangan karena aku akan membanting mereka. Tetapi, aku tahu mereka memanggilku seperti itu, dan sialnya, tidak ada kebohongan dalam ejekan mereka. Saat bercermin di muka sungai yang tenang, bulu-bulu itu tampak cukup jelas. Aku seolah melihat wujud seekor beruang yang siap memakan orang.

Ketika orang tuaku melamar Raning dan orang tua Raning menyetujuinya tanpa banyak bertanya (“Satu tahun lagi Raning sudah dewasa. Satu tahun lagi pernikahan mereka,” tutur Ibu Raning) perasaan bahwa aku tidak bisa menikah sesama manusia musnah dengan sendirinya. Ini bagian baiknya.

Bagian buruknya, ejekan terhadapku berkembang bentuknya. Sekali waktu, aku menguping seseorang tengah membicarakanku. “Dia semestinya menikah dengan beruang betina dan Raning harusnya menikah dengan burung kenari. Yang satu besar, yang satu kecil. Bagaimana nanti mereka kawin?”

Beberapa saat kemudian, hidung orang itu bengkok dan kedua pelipisnya sobek (satu pukulan karena telah mengejekku. Dua pukulan karena telah mengejek Raning).

Raning mungkin tidak sepadan denganku dalam soal besar tubuh, tetapi, sewaktu aku tahu akan menikah dengannya, tidak dengan gadis lain, aku cukup gembira. Ia yang kukenal adalah seorang gadis yang berani menendang kawan-kawan lelaki seumurannya, mencari keributan dengan mereka, dan aku tertawa sepanjang hari melihat kelakuannya. Perilakunya adalah sebuah hiburan, dan apalagi yang dibutuhkan seorang suami kecuali seseorang yang bisa menghiburnya setelah letih (kadang aku juga letih) seharian menggarap ladang?

Yang kadang mengusikku adalah kegemaran Raning untuk bertanya. Apapun ia tanyakan. Siapapun ia tanyai. Hingga guru kami pun bingung (berapa jumlah bintang di langit, mengapa anak-anak suka menari dalam lingkaran, bagaimana papan bisa mengapung sementara batu tidak). Aku berusaha melihat kecenderungan itu sebagai nilai yang baik. Bukankah dari Raning aku kelak bisa belajar sesuatu, hal-hal yang melebihi pengetahuan seseorang yang tidak bisa melalui kelas empat? Maka, para pengejekku tidak punya peluang untuk memanggilku “beruang bodoh”.

Beberapa tahun sebelum tubuhku membesar seperti beruang dan orang tuaku melamar Raning untukku, ladang beberapa kali diserang oleh hama. Awalnya hanya belalang. Lalu tahun berikutnya, belalang dan lebih banyak lagi belalang. Tahun berikutnya lagi, segerombolan belalang dan segerombolan serangga yang bau. Tikus juga sempat berpesta.

Memang tidak semua lahan ladang digerus mereka, dan karenanya kami semua masih bisa makan. Namun ketika hujan turun berhari-hari lantas ladang diterjang oleh air yang begitu banyak, kami menjadi cemas.

Tahun Raning dilamar adalah tahun yang tidak terlalu buruk. Hasil ladang cukup banyak walau tidak bisa dikatakan melimpah. Kami percaya bahwa tahun-tahun selanjutnya, keadaan akan membaik dan kami semua dapat makan kenyang lagi seperti sedia kala.

Namun keyakinan itu terhempas begitu saja. Tahun di mana seharusnya aku menikah adalah tahun yang paling buruk. Semua serangga seakan keluar dari dalam tanah. Banjir tumpah ruah. Semakin parah karena badai mengamuk berhari-hari. Semua terjadi tepat beberapa hari sebelum kami akan panen. Hampir tidak ada satu pun tangkai padi yang bertahan hingga bisa kami makan. Dengan tidak adanya makanan, maka tidak ada pernikahan. Pernikahan aku dan Raning ditunda hingga tahun selanjutnya.

Entah apa yang kumimpikan yang membuatku memutuskan memindahkan lokasi ladangku. Dari yang sebelumnya berada cukup dekat dengan pemukiman, menjadi lebih jauh. Lebih dekat dengan Bukit Hutan Hitam. Tepat di kakinya.

Secara ajaib, ladang baruku itu terhindar dari amukan hama di panen selanjutnya, sedangkan yang lain, tetap nyaris tak bersisa. Setiap orang meminta pertolonganku dan aku mendadak merasa memiliki kuasa untuk mengatur siapa yang bisa makan dan siapa yang tidak. Mereka yang pernah kedapatan mengejekku dan pernah kupukuli tentu harus memohon-mohon lebih banyak. Tentu tidak semua kuberikan. Aku mau makan apa, hah?

Berbondong-bondong mereka pun membuka ladang di kaki bukit, tetapi, sial bagi mereka, yang berhasil bagiku tidak berlaku bagi mereka. Setiap hari berubah menjadi lebih mencekam. Semua orang mengerang lapar. Beberapa orang tua sekarat dan bayi-bayi merengek hingga parau suara mereka. Hanya aku dan orang tuaku yang masih bisa berjalan dengan tanpa terbungkuk-bungkuk menahan perut yang perih. Beberapa kali kudapati orang tuaku memberi padi hasil ladangku kepada orang-orang yang lapar. Aku menjadi naik pitam dan pada puncaknya, kulabrak orang tuaku.

“Itu salah mereka sendiri, tidak lebih giat!” bentakku. Bapakku menatapku datar. Ibuku memandangku nanar.

Derita kelaparan yang dialami orang-orang tidak menjadi urusanku. Tujuan utamaku saat itu adalah mewujudkan pernikahanku. Kudatangi orang tua Raning dan kukatakan kepada mereka bahwa kami akan menikah dengan hasil ladangku. Di luar dugaan, mereka menjawab bahwa ini sungguh bukan waktu yang tepat untuk memikirkan syahwat.

Aku marah, dan saat kutanya Raning, dia juga menjawab yang sama. Aku semakin marah. Beri aku bibit kalian semua, akan kutanam, dan akan tumbuh, pekikku. Orang tua Raning yang mulai sakit-sakitan dan pasrah pada keadaan, tidak menolak. Lagi pula, sudah terbukti bahwa aku memang bisa membuat bibit-bibit itu tumbuh subur. Lagi pula, sudah beberapa hari mereka menyuap nasi hasil dari bantuanku.

Panen berikutnya, sialan, bibit-bibit keluarga Raning tidak mau tumbuh.

Orang tua Raning meninggal dan Raning minggat dari kampung. Satu per satu orang pun mulai meninggalkan kampung, menyisakan aku, orang tuaku, dan beberapa orang yang rela menjadi pekerja ladangku.

Kenestapaan akibat telinga yang koyak dan rasa sakit semakin menjalar sedemikian hebat. Meski begitu, aku masih ingat wajah Raning ketika kami bertemu untuk pertama kali dan satu-satunya, setelah sekian tahun ia pergi dari kampung. Aku masih mengingat tinggi tubuhnya hingga ruam kemerahan di bawah kedua matanya, membuat pipinya seakan senantiasa merona merah.

Dia tentu berubah dari Raning yang hendak kunikahi. Dia masing Raning yang bertubuh mungil. Namun ada kekuatan dalam dirinya yang tidak bisa kupandang remeh. Raning si Mungil yang lama tampak begitu mudah kurengkuh dengan hanya sekali ciduk. Raning si Mungil yang baru bagai seseorang yang lain, yang siaga, yang seolah siap mengeluarkan senjata berbahaya jika aku macam-macam dengannya. Berapa tahun kami tidak bertemu? Aku tidak tahu pasti. Tentu sangat lama, karena dari cara bicaranya, kentara bahwa ia tidak menganggapku sebagai seorang yang perlu ditakuti.

Raning si Mungil tiba dengan rombongan yang memperkenalkan diri sebagai kumpulan peneliti. Mereka melontarkan berbagai kosa kata aneh: mitigasi, adaptasi, perubahan iklim, polusi –begitu sebutan yang benar? Aku tidak benar-benar ingat. Tetapi aku ingat satu kata ini, sebab paling sering dikoar-koarkan mereka: evakuasi.

Daerah ini, menurut pendapat para ilmuwan itu dan Raning si Mungil adalah satu di antaranya (dan juru bicara mereka!), dua puluh tahun lagi akan kering kerontang.

“Kami sudah mendorong orang-orang pindah dari pulau-pulau kecil. Mereka menyaksikan sendiri laut naik dengan lebih cepat dan dalam hitungan tahun, pulau mereka akan tenggelam. Orang-orang yang tinggal di tepi pantai juga sudah dievakuasi ke dataran yang lebih tinggi,” ujar Raning si Mungil kepada kami yang tersisa di pemukiman di kaki Bukit Hutan Hitam.

“Kita ini sedang berada di kaki bukit!” timpalku mengejek. “Untuk apa pindah…”

“Ternyata, laut tidak hanya naik permukaannya. Kandungan asamnya juga bertambah. Ketika menguap dan bercampur dengan awan yang sudah lama mengandung polusi, maka hujan yang turun menjadi tidak sehat. Di beberapa tempat hujan sudah membuat gatal-gatal.”

“Di sini tidak.”

“Tidak kau lihat anak-anak yang kering kulit kepala mereka dan hampir sepanjang hari bergaruk?”

“Itu karena mereka main dengan babi sakit.”

“Persoalannya, ketika hujan seperti itu turun di bukit, dia bisa juga menggerus unsur hara di dalam tanah. Aku harap kalian mengerti. Dari dulu para ilmuwan mencari-cari penjelasan, mengapa kawasan puncak bukit tetap subur, padahal, jika bertolak pada aliran perputaran air, semestinya ketika ia merembes ke tanah, lalu mengalir ke sungai, unsur hara itu juga akan terbawa. Tanpa unsur hara, tanah menjadi gersang. Tanaman tidak bisa tumbuh.”

Aku tidak bisa membalasnya sebab tidak mengerti. Unsur hara? Apa itu?

“Alasannya, karena pepohonan memiliki kemampuan untuk mengikat unsur hara di dalam tanah dan dengan demikian unsur hara tidak turut turun ke sungai bersama air. Sekarang, kandungan hujan mampu menceraiberaikan unsur hara yang diikat oleh akar-akar. Unsur hara itu akan ikut larut ke dalam air. Lambat laun, tidak ada lagi yang bisa menjadi gizi bagi tanaman. Mereka akan mati dari bawah. Mereka juga mati dari atas karena dedaunan mereka bisa jadi tidak kuat menahan asam hujan yang aneh ini. Kalian sudah saksikan sendiri. Tanaman ladang sulit untuk tumbuh dan pohon-pohon di puncak Bukit Hutan Hitam banyak yang sudah menjadi bangkai. Musim tidak menentu. Bencana bisa tiba kapan saja.”

Raning si Mungil benar. Kami sudah tidak makan padi lagi, tetapi tangkainya. Kami juga setiap hari mendengar berdebum pohon yang roboh. Kami yang tinggal segelintir ini pun menjadi gelisah. Beberapa orang menyetujui untuk pindah. Beberapa lagi bingung. Aku sendiri dengan tegas menyatakan tidak akan beranjak. Tidak kuutarakan alasanku, walau apa yang dituturkannya memang benar dan seharusnya aku berada di golongan mereka yang setuju untuk pindah. Tetapi, mengingat bahwa ia meninggalkan pernikahan yang seharusnya terjadi, mengingat bahwa ia pergi tanpa berucap apapun padaku, dan mengingat bahwa aku tidak sudi tunduk pada kehendaknya sedangkan dengan kering kerontang alam pun aku tidak kalah, maka aku mengajukan diri sebagai pihak yang menolak rencana ekskavasi, maksudku, evakuasi itu.

Raning dan gerombolannya tidak terkejut bahwa ada yang menolak, yang ternyata hanya aku seorang. Tampak mereka sudah terbiasa dengan kejadian seperti ini. Mereka tidak mendebatku.

Bahkan, sebelum pulang, Raning melemparkan senyum tipis dan berkata dengan nyaris berbisik, “Aku ingin ke makam orang tuaku. Barangkali kau mau menemani.”

Aku mengambil parang untuk menebas ilalang dan berjalan di depan Raning.

Makam itu tidak terawat, sebagaimana makam-makam lainnya. Ilalang tumbuh di atasnya dan sampah daun-ranting kering bertaburan. Kami, tidak pernah punya tradisi untuk mengurus tempat yang telah mati. Bagi kami, yang mati sudah menjadi tanah, dan sudah sepantasnya ketika ia bersatu dengan tanah, ia adalah bagian dari alam dan biarkan alam yang mengurusnya. Orang tuaku sendiri sudah mati beberapa tahun lalu (bukan karena kelaparan, tapi karena keracunan) dan aku hanya satu kali datang ke makam mereka: saat menguburkan.

Karena tidak pernah mengunjungi makam, tentu aku berbohong jika aku tidak bingung untuk menemukan makam orang tuanya. Namun Raning ingat. Ia bilang, makam orang tuanya berada tepat di sisi kiri Bukit Hitam, satu garis dengan pohon beringin tua. Simetris, begitu kalau tidak salah ucapannya tentang cara mengingat makamnya. Aku tidak paham. Bagiku, sisi kiri Bukit Hutan Hitam itu terbentang dari pemukiman kami hingga lautan. Tetapi ia benar-benar menemukan makam orang tuanya dan keberhasilannya membuatku ingat bahwa ia memang cerdas sedari dulu.

Ia meminjam parangku, membersihkan ilalang dari dua gundukan kecil yang berdampingan, tempat kerangka bapak ibunya bersemayam, dan di tiap salah satu bagian gundukan, diletakkannya batang pohon yang ditemukannya tidak jauh dari tempat kami berdiri. Batang pohon itu sudah lempung sebagaimana pohon-pohon mati lainnya sehingga ia tidak membutuhkan bantuan tenagaku.

Lalu dia berlutut, menangkupkan tangan dan memejamkan mata. Aku tahu persis apa yang sedang ia lakukan walau aku tidak pernah melakukannya: ia sedang berdoa. Usai berdoa, Raning berdiri dan memandangku. Sejenak ia seakan berusaha masuk ke dalam bola mataku. Aku berusaha menghindari tatapannya mengingat pertengkaran kecil kami tadi nyaris membuatku naik pitam. Tetapi, ia tersenyum dan aku yakin ia sedang ingin menyampaikan sesuatu melebihi apa yang diucapkannya.

“Kalian harus pindah dari sini. Tidak ada apa-apa lagi yang bisa digarap di sini. Lambat laun hutan akan habis dan ladang-ladang pun mati dengan sendirinya.”

“Kau sudah dengar jawabanku tadi. Yang lain, terserah mereka.”

“Ingat waktu kita akan menikah? Lalu panen gagal semua? Tidak ada satupun padi yang tumbuh. Dan kita kelaparan dalam waktu yang lama.”

Siapa yang bisa lupa dengan bencana seperti itu. Siapa yang lupa dengan pernikahan yang gagal.

“Itu akan terjadi lebih sering dan daerah ini tidak punya apa-apa untuk bertahan.”

“Aku tidak akan pindah. Nanti akan membaik,” jawabku sekenanya. Tanpa keyakinan. Lebih karena aku tidak suka berdiam diri dan merelakan Raning menjejali pikirannya ke dalam otakku.

Dia memunggungiku dan berlalu.

Bekana, itu namanya, tiba di saat sekujur tubuhku telah dilulur keriput. Cucu Raning, begitu ia memperkenalkan diri, membuatku mengurungkan diri mengusirnya begitu saja. Dia menjadi orang pertama yang kulihat dan kuajak berbicara setelah berpuluh-puluh tahun hidup seorang diri. Apa yang membuatnya ke sini? Mencari pohon yang tersisa, dan juga manusia yang tersisa, jelas Bekana. Ia berkerja di yayasan alam yang didirikan neneknya.

“Hanya ada satu pohon lagi, di puncak bukit,” ujarku.

“Kita harus menyelamatkan setiap pohon yang ada. Bumi ini masih bisa diselamatkan selama semua pohon yang ada di muka bumi sekarang tidak lagi ditebang. Kita tidak perlu pindah ke planet lain kalau kita bisa melakukannya. Masih ada harapan.”

Dia menatapku lekat. “Dan membawa kakek pindah.”

“Tidak, aku sudah berulang kali bilang, setiap hari selama kau di sini, kubilang juga pada nenekmu dulu, aku tetap di sini! Tidak kau dengar, heh? Tidak ke mana-mana. Hidup di sini. Mati di sini.”

Dia mengangkat bahunya. Begitulah, kami bercakap-cakap (dan kadang bertengkar ringan) setiap malam, usai ia menjelajah wilayah bekas kampungku dan rimba hutan, untuk menemukan yang disebutnya, “sampel bibit dan tanah pendukung kehidupan”, dan aku pulang dari ladang. Sebenarnya ladangku tidak bisa lagi dikatakan sebagai sebuah ladang, karena tanaman yang kutanam nyaris mampus sebelum tangkainya tumbuh sedepa. Aku hidup dengan memakan tangkai-tangkai yang sedepa itu. Tubuhku sekering tangkai yang sedepa itu.

Cukup menakjubkan selama di rumahku, Bekana bisa ikut memakan apa yang kumakan. Hanya di hari-hari awal saja ia mual-mual. Perbekalan makanannya (yang wujudnya sudah begitu aneh, semacam obat-obatan, namun ketika ditelan, seolah perut sedang dijejali sepiring nasi lengkap dengan sop sayur dan ayam kukus, dan itu bukan satu-satunya rasa yang bisa dipilih) nyaris ludes untuk menambah nafsu makannya.

Hari terakhir, di awal pagi, ia pamit. Aku bingung untuk memilih kalimat perpisahan. Aku tidak pernah merawat seseorang kecuali dirinya, dan tidak pernah menduga bahwa kepedulian dan kedekatan dengannya mampu memantik sesuatu yang lembut dalam sikap-sikapku. Perpisahan menjadi sangat menyakitkan.

“Katakan maaf pada nenekmu,” ujarku sebelum ia beranjak.

“Dia sudah meninggal.”

“Tolol. Aku pun tahu. Kalau kau pergi ke kuburan nenekmu.”

“Aku… aku tidak pernah lagi ke sana. Terakhir kali sewaktu kecil.”

“Kalau begitu, doakan dia, semoga dia bahagia di sana.”

“Kenapa tidak berdoa sendiri?”

Gadis ini menjengkelkan. Sungguh. Alih-alih melihat sosok Raning dalam dirinya, aku justru menemukan diriku sendiri.

“Jangan marah, Kek. Aku bercanda. Ya, aku akan berdoa untuknya, dan untukmu.”

Mataku berkaca-kaca. Kesedihan yang kurasakan begitu kejam. Dia mengecup pipiku dan usai meraih ransel bawaannya, melambaikan tangan.

Benda itu tidak bisa disebut sebagai senjata karena tujuan pembuatannya adalah untuk membelah kayu atau batu yang keras dengan tanpa harus mengeluarkan tenaga. Kusaksikan, Bekana yang bertubuh ramping, berlengan kecil, dengan benda itu, bisa membelah batu sebesar dipan tanpa bersusah payah. Tidak mungkin aku melakukannya dengan cepat dan serapi dirinya walau dengan tubuhku yang muda dulu, dengan bermodal kapak di tangan tentunya.

Aku pinta benda itu, yang di satu sisi bagiannya tertulis “laser cutter”, dengan alasan bahwa aku memerlukannya agar tubuhku yang sudah terlampau renta ini bisa membelah apapun yang dibutuhkan. Sekaligus, sebagai cinderamata darinya. Bekana tidak keberatan, dengan peringatan bahwa tanpa pasokan energi listrik, benda itu tidak akan berguna. “Tapi masih bisa Kakek gunakan dalam setahun.”

Tujuanku meminta benda itu memang untuk melakukan apa yang kukatakan padanya. Aku memotong bebatuan untuk menambal lubang dinding dan aku akhirnya memotong apa saja yang bisa kupotong walau tidak punya alasan. Itu hiburan yang cukup menyenangkan. Namun, sebelum benda itu tidak lagi berguna, ternyata tubuhku menjadi lebih dahulu tidak berguna. Beberapa kali aku jatuh di ladang, di manapun, dan yang paling parah, aku tersuruk sebelum menyentuh ambang pintu rumah. Tak sadarkan diri hingga malam keesokannya. Aku sadar dengan megap-megap, terengah-engah, tersengal-sengal, dan tubuhku lunglai bagai semua tulang telah dilucuti dari badan.

Berhari-hari aku batuk dan dari batuk itu keluar gumpalan-gumpalan darah. Hujan yang asam membuat koreng-koreng menyebar di tubuhku dan rasa gatalnya membuatku ingin masuk ke perapian. Aku tidak tahan lagi. Lantas aku ingat bahwa manusia memang tidak memiliki wewenang untuk menentukan di mana atau kapan ia lahir, tetapi ia bisa memutuskan di mana atau kapan ia mati.

Rumah kubakar dan aku tertatih-tatih mendaki Bukit Hutan Hitam. Tanpa ada akar lagi untuk berpegangan dan dengan tubuh yang sangat payah, pendakian ini nyaris membunuhku. Tetapi aku semampu mungkin tidak mati saat mendaki. Di puncak Bukit Hutan Hitam sana, di sela akar-akar yang mencuat milik satu-satunya pohon yang tersisa, di sana aku harus mati. Hampir dua hari, baru aku tiba di tempat tujuan.

Salah satu petuah yang bisa kuingat dari pelajaran berladang adalah, tanah membutuhkan makanan, dan satu di antara makanan yang sehat bagi tanah adalah kotoran-kotoran segala makhluk hidup. Kotoran artinya sisa. Tubuh yang mati juga sisa. Di masa nenek moyang kami saling membunuh satu sama lain, mereka menanam tubuh korban di bawah pohon. Agar jiwa dan tubuh bersatu dengan lingkaran alami. Yang hidup pada akhirnya akan mati dan kematiannya akan menghidupi yang hidup.

Tiba di puncak, aku tidak membuang waktu lagi. Napasku berat, menandakan aku hanya punya waktu sedikit untuk mati sesuai dengan maksud hati. Satu-satunya bawaan, sebuah “laser cutter”, kuhadapkan ke wajah. Benda ini terbukti bisa membelah batu, maka tentu akan mudah juga membelah tubuhku. Demi orang lain yang selama ini aku tidak pedulikan, demi Raning dan cucunya, demi satu-satunya pohon yang masih berjuang hidup, demi agar ladang bisa kembali subur, aku pun berbaring di bawah pohon ini menyongsong ajal.

Sialan, tanganku gemetar. Aku ternyata takut. Tembakan pertama melenceng dan menyobek telinga kanan. Aku mengambil waktu sejenak, memikirkan beberapa hal, menghela nafas, memejamkan mata, membulatkan tekad lagi. Tekad yang lebih kuat.

Baiklah, apalagi yang kupikirkan dan kutakutkan. Kukerahkan tenaga untuk mengokohkan tangan yang menggenggam si pemotong batu. Moncongnya kutempelkan kali ini di antara kedua pelipisku, tidak lagi berjarak seperti sebelumnya. Aku menghadapinya dengan mata terbuka.

***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *