Matahari menggantung di langit Desa Selok Awar-awar yang penuh awan kelabu. Lembaran awan tipis tampak kotor, tiupan angin berpasir menyentuh kulit kering Alim di halaman rumahnya. Pandangannya lepas ke arah jagung, cabai, kates, dan tanaman lain yang membentang di punggung bukit tempat tinggalnya itu.
Istri Alim, Yati dan anaknya, Nuril, tengah menikmati lagu India dari speaker. Mereka baru saja selesai bersantap ketika Yati menyiapkan hasil panen yang hendak diantar ke pasar. Sementara Nuril berencana menghabiskan akhir pekan bersama teman-teman sekolahnya.
“Tidak usah terlalu dipikirkan,” kata Yati.
Alim tidak mengatakan apa pun saat diajak bicara. Namun Yati tahu apa yang dipikirkan suaminya itu; tumpukan pasir di dekat lahan perkebunan mereka. Pasir-pasir itu akan dikirim siang ini. Truk akan datang menjemputnya, dan keesokan harinya pasir-pasir yang baru dikeruk akan kembali ditumpuk di sana. Alim menyewakan sebagian lahannya menjadi tempat penumpukan pasir dari tambang yang berada di dekat rumahnya.
Mulanya Alim tak terlalu mempermasalahkan hal itu, sebab uang yang dijanjikan pihak tambang sebagai nilai sewa untuk lahannya cukup banyak. Tetapi pikirannya mulai terganggu semenjak jumlah truk-truk besar yang beroperasi di sekitar rumahnya bertambah, dan tak jarang truk-truk itu meyenggol tanamannya.
Sejak banyaknya kegiatan penambangan di desa mereka, sayur-sayur yang ditanam harus dibersihkan dengan cara lebih ekstra. Mereka juga membawa semua hasil panen itu menggunakan motor yang rodanya harus diatur sedemikian rupa supaya bisa lebih mudah dikendarai dalam kondisi jalanan berbatu dan rusak. Belum lagi truk-truk pengangkut pasir yang seringkali beroperasi tidak sesuai dengan kapasitas baknya. Banyak pasir dan batu-batu kecil berguguran sampai mengakibatkan aspal menjadi licin juga berbahaya.
Namun sekali lagi, bayangan akan uang sewa yang tinggi membuat Alim dan keluarganya terus bersabar. Sempat Alim berpikir untuk mengganti pekerjaan menjadi nelayan dan menyewakan semua lahan miliknya menjadi tempat penumpukan pasir. Tetapi niatan itu segera diurungkan setelah mengetahui bahwa ikan-ikan sudah jarang mau mendekat ke pesisir karena aktivitas penggalian juga terjadi di sana. Sementara biaya sewa kapal untuk berlayar lebih jauh, bisa membuat hasil tangkapan tak berarti apa-apa.
Informasi itu didapatkan Alim dari temannya, Taufan, yang kini menganggur karena sawahnya rusak setelah terkena dampak penambangan. Dari Taufan pula, Alim mendengar cerita bahwa selain sawah dan laut yang rusak akibat penambangan, semakin banyak juga hewan ternak terkena penyakit hingga menjadi kurus. Apalagi jumlah rumput hijau dan tetumbuhan yang biasanya disukai mereka kian menipis.
Alim menurunkan Yati di pasar, dan memarkir motornya di tempat yang tersedia. Tidak jauh dari pasar, terdapat sebuah warung yang sebagian besar pengunjungnya adalah para pria. Di tempat itulah, Alim biasanya menunggu istrinya. Di tempat itu pula, Alim selalu bertemu dengan Taufan.
“Kapan sewa tanahmu dibayar lagi?” tanya Taufan.
“Mestinya hari ini. Kontrak harus diperbarui sebelum masuk bulan ketujuh.”
“Mereka bolos berapa kali?”
“Cuma bayar di muka dan bulan kedua. Sisanya belum,” keluh Alim.
Alim dan Taufan tak mengatakan apa-apa lagi, namun terlintas di raut muka mereka, seakan tengah memikirkan hal yang sama.
Tidak lama kemudian, Yati kembali dari dalam pasar. Taufan yang menangkap kedatangan Yati, entah karena apa, memberi isyarat tertentu dengan menggelengkan kepalanya lalu berkata: “Sabar.”
“Sabar, masak mau melawan?”
“Melawan, kalau tambang sudah lebih mahal dari harga nyawa!”
Taufan memekikkan ucapannya.
“Waduh! Siapa yang mengajarimu bilang begitu?” tanya Alim.
“Hasil menguping omongan orang-orang,” ketus Taufan.
Alim dan Yati meninggalkan Taufan. Sepanjang jalan pulang, keduanya lebih banyak diam. Di jalan menuju bukit, mereka berpapasan dengan sejumlah buruh tambang. Ada yang sedang mengoperasikan alat berat, serta ada yang mengangkut pasir dengan karung dan peralatan alakadarnya. Kulit para buruh bercampur dengan butiran pasir dan keringat hingga menimbulkan efek seperti kilatan cahaya di tubuh mereka.
“Apa perlu aku ikut mereka sebagai sampingan?” tanya Yati, menggoda suaminya.
“Jangan macam-macam!”
Alim sedikit meninggikan suaranya, selain untuk mengalahkan suara mesin motor dan angin yang berhembus dari depan, ia juga berusaha melampiaskan kekesalannya yang tiba-tiba saja ingin meledak.
Setibanya di rumah, mereka melihat Nuril tengah duduk di ambang pintu dengan raut wajah yang menyedihkan.
“Kamu sudah seperti bapakmu, kebanyakan melamun,” tandas Yati.
“Katanya pergi jalan-jalan. Tidak jadi?” tanya Alim.
“Tidak.”
“Apa masalahnya? Karena tak punya uang lagi?”
“Kami ganti tujuan ke rumah teman kami, pamannya meninggal karena dibunuh.”
“Dibunuh?”
“Iya, katanya mati dibunuh. Tapi ada juga yang bilang karena kecelakaan motor.”
Alim dan Yati bersitatap mendengar cerita anaknya.
“Sudah-sudah, mari bantu Ibu di dapur.”
Yati dan Nuril masuk ke dalam rumah. Sedangkan Alim berpamitan kembali ke pasar, mencari Taufan. Entah kenapa ia berpikir Taufan akan lebih mengetahui kelengkapan cerita tentang pembunuhan ini.
Dalam perjalanannya, Alim bertemu dengan Kepala Desa, Hariomoko yang tengah mengawasi pekerjaan para buruh. Hariomoko-lah yang selama ini menjadi penghubung antara Alim dengan perusahaan tambang yang menyewa lahannya.
Alim menghentikan laju motornya.
“Sebentar lagi mau masuk bulan ketujuh,” sergah Alim.
“Saya sudah bicarakan ke mereka, katanya semua butuh proses karena administrasinya rumit. Memangnya anakmu belum bayar uang sekolah?”
“Bukan cuma itu masalahnya!”
“Kamu pikir mereka tidak punya uang?”
“Kenyataannya seperti itu!”
“Pelan-pelan kalau bicara. Kemari.”
Hariomoko merangkul Alim, mencari jarak aman untuk menghindar dari jangkauan pendengaran para buruh yang sedang bekerja.
“Begini saja. Saya akan bantu kamu untuk menuntut mereka kalau hari ini tak bayar juga. Bagaimana?”
“Memangnya bisa?”
“Kita urus sama-sama. Saya juga akan bertanggung jawab.”
Alim tak menghiraukan lagi perkataan Hariomoko. Ia beranjak ke motornya dan pergi begitu saja. Dari tempat tinggalnya, Alim hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai ke pasar. Mestinya begitu kalau perjalanan pagi. Tapi biasanya kalau sudah siang menuju sore, pasar bisa berjarak dua kali lipat dari semestinya. Truk-truk pengangkut pasir memenuhi jalan, kemacetan pun tak terhindarkan.
Alim berjarak sedepa dari warung saat Taufan langsung mengajaknya pergi lagi. Ia seolah-olah paham apa yang hendak dibicarakan Alim.
“Kita bicara di rumahmu saja.”
Walau pikirannya sudah dipenuhi berbagai macam pertanyaan, Alim mendadak menahan diri untuk tidak mencaritahu maksud kenapa Taufan mengajaknya kembali pulang.
Hingga di pertengahan perjalanan, Taufan membuka sendiri ceritanya.
“Aku baru saja dengar kabar dari orang-orang di warung, seorang petani mati dibunuh, lehernya digergaji, kepalanya dipacul dan badannya kena hantam batu.”
“Siapa yang melakukannya?”
“Orang-orangnya Hariomoko yang melakukannya.”
“Bagaimana bisa?”
Alim dan Taufan menjeda percakapan mereka ketika berpapasan dengan Kepala Desa Hariomoko. Hariomoko tersenyum pada keduanya. Senyum itu masih tampak ketika Alim melihat Hariomoko dari kaca spion.
“Tunggu sampai rumahmu dulu biar aman.”
Setibanya di rumah Alim, Taufan berhenti sejenak di ambang pintu, melihat ke arah lahan perkebunan dan tempat penumpukan pasir yang seperti tak memiliki batas lagi. Yati yang melihat kedatangan Taufan mengambil tikar untuknya.
“Sebentar,” katanya seraya memberikan tikar itu pada Alim.
Yati menyapu lantai ruang tamunya yang berlapis debu dan pasir.
“Masak air, Ril.”
Nuril bergegas menuju dapur.
“Tadi sudah ngopi di pasar. Kamu lihat sendiri, kan?” kata Taufan.
“Dibuatkan teh kalau begitu.”
Alim menggelar tikar, lalu menutup kembali pintu rumahnya.
Taufan memerhatikan bekas debu dan pasir yang sudah disapu. Kemudian pandangannya bergerak pada lubang-lubang angin di ruangan itu, seakan tengah menganalisis kenapa kekotoran itu bisa terjadi.
“Bagaimana bisa kamu tahu kalau mereka yang melakukannya?”
Alim kembali membuka pembahasan, tempo bicaranya yang cepat menyiratkan ketidak sabaran.
“Dia seorang petani seperti kita. Tapi air laut naik sejak ada penambangan, dan itu membuat lahannya yang dekat dengan pesisir menjadi rusak. Dia mengajak orang-orang yang bernasib sama sepertinya untuk melakukan protes pada Kepala Desa. Sayang, tadi pagi itu puncak nasib buruknya. Katanya, dia diculik dari rumahnya, lalu sejumlah orang melihatnya disiksa oleh kelompoknya Hariomoko di halaman Kantor Kepala Desa. Tubuhnya dibuang di pinggir jalan. Kepala, mulut dan telinganya berdarah.”
Yati yang mengerti isi percakapan Alim dan Taufan pun menimbrung.
“Jangan ikut-ikutan. Pokoknya sabar saja.”
Alim terdiam. Bibirnya tampak gemetar mendengar cerita Taufan. Sesaat kemudian Nuril datang membawakan empat gelas berisi teh panas.
“Aku juga melihatnya,” kata Nuril.
Alim, Taufan dan Yati menunggu kelanjutan cerita Nuril.
“Sekilas saja aku melihatnya. Karena terlalu banyak darah. Aduh!”
Nuril memeras kepalanya, bagai mengusir ingatan yang baru saja diceritakannya.
“Polisi, bagaimana?” tanya Alim.
Taufan hanya menggelang.
“Ini sudah keterlaluan, memang harus dilawan.”
Alim berbicara, tapi tatapannya kosong. Giginya bergemeretak sementara bibirnya masih pucat. Reaksi wajahnya yang bercampur itu membuat keinginannya sulit dipahami.
“Bagaimana caranya?” tanya Nuril.
Yati menyepak lengan Nuril, terkejut mendengar pertanyaan itu.
“Tidak apa-apa, Nuril sudah cukup dewasa untuk mendengar ini,” Taufan membelanya.
Alim yang hendak berbicara lagi tiba-tiba mengurungkan niatnya setelah mendengar suara mesin kendaraan memasuki halaman rumahnya, disusul ketukan pintu.
Saat Nuril berdiri hendak membukanya, pintu itu sudah terbuka duluan. Hariomoko datang bersama kelompoknya, ada sekitar delapan orang. Di depan rumah Alim, terpakir satu mobil milik Hariomoko, empat motor milik orang-orang yang datang bersamanya, dan satu motor lagi milik Alim sendiri. Seketika rumah Alim dikepung keramaian orang yang tak begitu dikenalnya.
“Saya sudah beri salam, lho. Tadinya saya kira tidak ada orang di dalam.”
Hariomoko melepas sepatunya dan ikut duduk di atas tikar. Kelompoknya menunggu di depan pintu rumah. Sebentar setelah ia duduk, Hariomoko menyodorkan amplop ke hadapan Alim. Alim meraihnya, dan memeriksa isinya.
“Maksudmu apa, Ko?!”
Alim membanting amplop itu. Yati meraihnya lagi, memeriksa isinya. Wajahnya tampak kecewa secara drastis.
“Jumlah di dalamnya bahkan tidak cukup untuk membayar sewa sebulan!”
“Alim, kebiasaanmu itu kalau bicara selalu pakai emosi. Mari berpikir dingin. Niat saya sudah baik, lho.”
“Kami akan tuntut kalian!”
Taufan angkat bicara. Matanya memerah, dan napasnya memburu seperti banteng yang siap menyeruduk.
Orang-orang yang datang bersama Hariomoko tertawa. Perawakan mereka yang besar membuat suara tawa yang dihasilkan juga terdengar berat dan keras. Dengan isyarat tangan, Hariomoko menyuruh mereka diam.
“Berarti untuk bulan ketujuh tidak perlu dilanjutkan!” bentak Alim.
“Beri kami waktu untuk membayar hutang. Memang agak lama, tapi bersabarlah. Segitu dulu yang bisa kami beri.”
Orang-orang yang berdiri di luar itu cekikikan.
“Dik, kamu sudah bayar sekolah?”
Hariomoko menatap Nuril. Nuril memalingkan wajahnya.
“Kalau tidak mau repot bayar sekolah, kamu jadi istri saya saja. Saya biayai hidupmu. Kamu cukup modal pasrah.”
Hariomoko mendekatkan tangannya ke wajah Nuril. Yati yang melihat Nuril akan disentuh spontan menyiram wajah Hariomoko dengan teh panas yang sejak tadi belum disesapnya. Orang-orang yang dibawa Hariomoko segera memenuhi ruangan. Seketika itu juga Alim dan Taufan berdiri menghadapi mereka dengan keberanian yang terkesan dipaksakan. Hariomoko menggunakan isyarat tangannya kembali, menghentikan pergerakan kelompoknya.
“Tidak masalah, tidak masalah,” kata Hariomoko sambil mengusap-ngusap kulit wajahnya yang memerah seperti cangkang kepiting.
“Tadinya saya mau membantumu, Lim. Tapi perlakukan istrimu membuat saya malas. Ditambah lagi kamu bergaul dengan orang ini,” Hariomoko meletakkan tangannya di pundak Taufan. “Namamu Taufan, benar? Kami ada urusan denganmu. Kata orang-orang saya, kamu banyak bicara soal tambang. Kalau memang bagimu tambang semenarik itu, mari ke kantor saya. Kamu bisa tanya-tanya di sana.”
Hariomoko menyuruh kelompoknya membawa Taufan. Taufan dibawa dengan cara kasar. Tangannya diikat menggunakan tali, lalu tali itu disambungkan lagi dengan salah satu motor yang terparkir. Seseorang dari kelompok Hariomoko menendang kaki Taufan hingga membuatnya tersungkur.
Alim berusaha menolong Taufan, namun mereka juga membuat tubuhnya tersungkur. Nuril yang melihat bapaknya diserang, berusaha ikut melawan dengan melempar gelas ke arah mereka. Tetapi gelas yang dilemparnya meleset. Yati berlari keluar dan berteriak meminta tolong. Ia menggenggam tanah yang diambil dari sekitar, lantas dilemparkan ke arah anak buah Harmoko – tanah-tanah itu berguguran dan menyisakan debu tipis di udara tanpa mengenai satu pun dari mereka.
Mobil yang ditumpangi Hariomoko membunyikan klakson, dan kedelapan orang itu mengikutinya pergi. Taufan diseret, tubuhnya terguncang di jalanan berbatu. Ia terus berteriak meminta tolong, sampai suaranya semakin mengecil di kejauhan. Seperti radio yang volumenya diputar perlahan-lahan ke titik nol.***
*Catatan: Sejak 2013 dampak pertambangan pasir sudah mulai dirasakan petani Desa Selok Awar-awar. Irigasi pertanian rusak. Warga tidak bisa menanam padi karena pertambangan merusak pesisir, air laut masuk ke daratan dan menggenangi areal persawahan.