Sekilas, saat ditilik dari atas jembatan, lelaki asing itu tampak seperti seonggok batu kerempeng yang berdiri di antara gumpalan padas dan semak kacang-kacangan. Dia begitu usang, pendiam, dan menyedihkan. Beberapa orang bahkan mengatakan, lumut dan pakis-pakis mulai tumbuh dari sela-sela jari kakinya.
“Apakah dia benar-benar sedang memancing?” ungkap seseorang.
“Dia sedang semadi,” jawab yang lain.
“Dia hampir menjadi batu,” kata yang lain pula.
Orang-orang di kampung kami yakin, lelaki asing itu tak pernah beranjak dari tempat duduknya. Dia sudah bertinggung di sana selama bertahun-tahun dan akan tetap bertinggung di sana sampai bertahun-tahun kemudian. Sampai umpan di ujung kailnya bergoyang ditarik seekor ikan. Sampai seekor ikan tersangkut di ujung kailnya dan menggelepar di udara saat senar pancing ditarik dan gagang pancing diangkat.
Orang-orang menganggap lelaki itu tak lebih dari orang gila yang tak punya pekerjaan, sebab dia tak banyak berkata-kata dan seolah-olah dia dilahirkan buat memancing, tak lain. Saat ditanya berasal dari mana, dia hanya menggeleng sedih. Sepasang matanya kosong, seperti waktu yang telah lama berhenti, seperti petang yang kehilangan ingatan-ingatan. Rautnya gelap, ekspresi wajahnya datar, dan gesturnya canggung. Tak ada yang pernah mendengar lelaki itu berkata-kata, kecuali serangkai gumaman yang selalu sama—yang terdengar seperti sebuah penyesalan. “Ke mana perginya ikan-ikan?”
***
Tak seorang pun tahu lelaki itu datang dari mana atau sejak kapan dia mulai mengail dan duduk di tepi kedung di bawah jembatan. Menurut kabar ringan yang dihantar mulut ke mulut, lelaki itu duduk di sana semenjak ikan-ikan menghilang dari sungai. Lalu, sejak kapan ikan-ikan mulai menghilang dari sungai? Sama persis, tak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu.
Orang-orang tua mengatakan, sekitar dua puluh tahun terakhir, tidak ada lagi orang sudi pergi ke sungai. Sebab mereka sudah punya mesin cuci dan toilet di rumah sendiri, untuk apa repot-repot turun ke sungai? Dan semenjak itu, jalan-jalan menuju sungai dirambati semak. Menjadi rumah ular dan serangga dan binatang-binatang kecil lainnya. Sungai menjadi sunyi. Seperti sebuah dusun tanpa penghuni. Dan ikan-ikan pun perlahan menghilang. Tidak ada lagi udang di balik batu. Tidak ada lagi anak-anak ikan berenang di tepian. Tidak ada.
***
“Ke mana perginya ikan-ikan?”
Lelaki itu menatap senar yang bergeming di permukaan air. Dia duduk mencangkung, tangannya yang menggenggam gagang pancing itu selalu gemetar, seolah tengah menopang suatu beban yang sangat besar. Seiring waktu, lelaki itu melihat segala sesuatu mengambang bagai berenang dari hulu, melewati senar pancingnya: segala jenis kotoran, dedaunan, ranting-ranting patah, buah-buah busuk, bonggol-bonggol sayur, bangkai ayam, plastik-plastik, botol kosong, popok sekali pakai, mayat bayi, serta hal-hal lain yang tak pernah dia anggap penting kecuali sebagai sesuatu yang lewat. Hanya sesuatu yang lewat.
Satu-satunya hal yang dia pedulikan adalah hartanya: sebujur gagang dan senar dan kail yang begitu setia. Dia kerap bermimpi senar kail itu bergerak runtun, ditarik moncong seekor ikan di kedalaman kedung, dan ketika dia mengangkat kailnya, seekor ikan menggelepar di udara. Sirik dan ekornya mengipas-ngipas. Air dan aroma khas seekor ikan terciprat ke wajahnya. Bayangan indah itu tak pernah berubah: seekor ikan yang menggelepar di udara. Namun itu hanya angan, sesuatu yang tak pernah dia dapatkan, sejak bertahun-tahun silam, dan mungkin sampai puluhan tahun yang akan datang.
Setiap kali gagang pancingnya bergerak, dia akan lekas menariknya dengan hati berdebar-debar, begitu kail itu naik ke permukaan, selalu yang ia dapati adalah umpan yang masih utuh. Sesekali, saat kejadian serupa terulang dan dia mengangkat gagang pancingnya, yang dia dapati hanya lembaran daun, bongkahan rumput, popok busuk, celana dalam bekas, sandal congek, serta benda-benda lain yang tak pernah ingin dia jumpai. Dengan jengkel, dia akan kembali menggerutu, “Ke mana perginya ikan-ikan?”
***
Beberapa orang yang melihatnya dari atas jembatan kadang merasa iba pada lelaki itu, mereka mengarang-ngarang kisah menyedihkan perihal lelaki itu. Lantas turun utuk menghibahkan sejumlah penganan atau minuman. Saat satu dua orang datang, dia tidak merasa terganggu dan dia tampak tidak peduli, seolah tak ada siapa-siapa di sekelilingnya, kendati demikian dia akan memakan apa-apa yang diulurkan kepadanya tanpa beban, tanpa utaraan terima kasih atau ucapan apapun. Baginya dunia adalah dirinya dan kedalaman kedung dan ikan-ikan—yang tidak pernah muncul. Dan, “Ke mana perginya ikan-ikan?”
***
Suatu kali, pada musim penghujan beberapa tahun silam, saat air naik dan arus menjadi deras, lelaki itu mendadak menghilang, orang-orang meyakini, pasti dia hanyut terbawa arus. Namun, ketika banjir surut, dia sudah duduk di tempatnya mengail, dengan tubuh berlumur lumpur. Gagang pancing di tangannya ditempeli daun-daun serta rumput yang baru tercerabut, gagang kail itu tampak tidak banyak bergeser. Orang-orang bersumpah, gagang pancing yang digenggam lelaki itu adalah gagang pancing terkokoh yang pernah ada, dan senarnya adalah senar paling kuat yang pernah diulur seorang pemancing, serta kailnya dan umpannya adalah kail dan umpan abadi yang tak butuh diganti.
“Lihatlah, banjir tidak bisa menggeser lelaki itu dari tempatnya. Dia sudah benar-benar sekuat batu,” ujar salah seorang dari atas jembatan.
“Mungkin dia seorang wali?” seru yang lain.
“Kalau bukan wong edan,” yang lain menimpali.
“Hus, mulutnya dijaga!”
“Apakah di sungai ini benar-benar tidak ada ikan?”
“Sepertinya begitu, atau setidaknya, bagi lelaki aneh itu, sepertinya begitu.”
“Mengapa kita tidak mencoba turun dan membuktikan?”
Menjelang senja, beberapa lelaki turun ke sungai, mencari tempat duduk paling nyaman di bawah jembatan, di antara semak dan padas, di sekitaran lelaki usang itu. Dan begitu duduk, mereka segera lupa pada waktu, pada segala. Langit menjadi gelap dan mereka membatu, menunggu seekor ikan datang menarik umpan yang tak pernah laku.
“Ke mana perginya ikan-ikan?” mereka mulai bergumam beriringan. Lalu pergi meninggalkan tempat itu. Bagi mereka waktu setengah hari sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa ikan-ikan memang telah mengungsi dari sungai. Entah ke mana.
***
Malam datang dengan selimut gelap, menutupi permukaan bumi. Lelaki usang itu masih bertinggung di sana seperti tahun-tahun yang lalu dan mungkin sampai tahun-tahun yang akan datang. Dia tak lagi mengerti apakah dirinya menunggu ikan atau menunggu ilham atau menunggu keduanya, yang pasti dia yakin suatu saat nanti ikan atau ilham akan datang kepadanya. Membuatnya mengerti arti sebuah semadi.
Tepat tegah malam, ketika gelap dan dingin dan sunyi beradu, seperti tengah malam yang lewat dan yang akan datang. Sebuah mobil menderum berhenti di atas jembatan. Dua sosok berpotongan tegap dengan bayang-bayang gelap melemparkan benda-benda berat ke alir air. Suaranya berdebur. Dalam gelap dia melihat potongan-potongan tubuh berenang menuju hilir. Bergerak-gerak, mengepak-ngepak, muncul ke permukaan, lalu menyelam ke kedalaman kedung. Potongan-potongan tubuh itu tampak seperti ikan-ikan besar yang gembira. Berkecipak riang di tengah malam.
Lelaki itu semula tak peduli, matanya telah terbiasa dengan gelap dan pemandangan-pemandangan dalam gelap. Hingga potongan-potongan tubuh itu mendatanginya serupa ikan-ikan yang mudik setelah lama menghilang. Setelah puluhan tahun, dia menemukan ikan dan menemukan ilham. Sebuah pemahaman yang benderang muncul di kepalanya, seperti matahari pagi yang melongok dari bukit gelap. Ikan-ikan yang dia tunggu kini sudah berubah bentuk. Menjadi potongan tubuh, menjadi mayat bayi, menjadi popok-popok, serta apa saja yang berenenang di permukaan dan kedalaman air.
Itulah ikan-ikan, dalam wujud lain. Dalam wujud lain. Pada hakitnya, zaman berubah, dan penghuni sungai juga berubah. Sejak malam itu, setiap kali gagang pancingnya bergerak, dia akan menariknya dengan gembira, dan di ujung kailnya dia akan mendapati benda-benda beraneka bentuk, menggelepar di udara. Popok-popok berperut kembung, pembalut-pembalut bersirip, plastik-plastik berlendir, botol-botol bermoncong panjang, potongan-potongan kain bersisik, serta benda-benda licin dan amis lain yang datang silih berganti.
Silih dia mengumam, “Ikan-ikan tak pernah pergi, mereka hanya berubah wujud!”***
Ngijo, 2021