Cerpen #81: “Kisah Ganjil Tentang Pelaut dan Keturunannya”

Seperti halnya Taslani, ratusan warga Dukuh Simonet, Pekalongan, lainnya tak bisa menolak takdir yang datang kepada mereka atau sedang menanti di masa nanti. Pohon mangga itu adalah pohon terakhir yang ditebang Taslani, menyusul nasib pohon lainnya yang satu per satu dihabisi air laut yang terus menjilat, mendekat, dan menelan tanah pekarangannya seiris demi seiris.

“Dua puluh tahun yang lalu, di sanalah bapakmu biasa bermain sepak bola,” katanya.

Taslani menunjuk ke arah air laut, lima belas meter dari tempatnya sedang berdiri. Sementara itu, Laut Jawa tampak sedang merendam bangkai si pohon, membuatnya lapuk, lalu menjadikannya tiada, pula membawa kenangan masa kecilnya. Caslani, anaknya, hanya mengangguk-angguk, mengusir kebosanannya. Kisah itu sudah didengarnya puluhan kali. Juga gerutuan yang menyusul tak lama sesudahnya, dan hanya itu yang bisa dan biasa dilakukan bapaknya selama ini. Dia lebih suka memperhatikan kepiting berukuran cukup besar yang dilihatnya sedang merayap di selokan, barangkali hendak mencari tempat untuk bertelur.

Tak ada yang tahu pasti sejarah kakek moyang warga Dukuh Simonet yang persis mendiami bibir Laut Jawa itu. Konon, mereka adalah prajurit Mataram yang diperintahkan Sultan Agung untuk menyerang Belanda di Batavia, tapi gagal, dan tidak berani kembali ke Yogyakarta. Mereka memilih wilayah yang indah itu untuk menetap, beranak-pinak, meneruskan keturunan, mengekalkan kehidupan. Pagi-pagi, mata para warga dimanjakan oleh sinar matahari yang seolah-olah tumbuh dari tengah lautan.  Malam-malam, hati dan pikiran mereka dilenakan oleh ombak yang membuai dan angin yang sepoi. Kepiting, sembilang, kedokan, keting, kerapu, dan barumandi berjajar-jajar pada akar bakau, tinggal mengambilnya. Bahkan, pada saat-saat tertentu, tiga waja datang berbondong-bondong dari tengah lautan. Jumlahnya jutaan, dan bisa ditangkap langsung memakai tangan. Lumayan bisa dijadikan ikan asin, lalu dijual.

Seperti warga lainnya, Taslani adalah nelayan, buruh nelayan lebih tepatnya. Dia tidak mempunyai perahu, yang berukuran paling kecil sekali pun karena membutuhkan modal–hal yang tidak dia miliki–untuk membuat atau membelinya. Kulit Taslani cokelat kehitam-hitaman. Rambutnya merah terpanggang matahari. Jaring sepanjang seratus meter  yang ditariknya setiap kali sedang melaut, ribuan keranjang ikan yang pernah diangkatnya, serta tali layar yang harus dia kencangkan setiap kali angin datang telah membentuk badannya yang tidak terlalu besar itu menjadi kekar dan berotot. Sorot matanya menampakkan keteguhan seorang pelaut. Ombak setinggi rumah sering dihadapinya, dan  tak ada hal lain lagi yang bisa membuatnya ciut nyali.

Minggu itu ombak Laut Jawa sedang menggila, dan sang juragan memutuskan mengistirahatkan anak buahnya.  Caslani tidak bisa berbuat apa-apa selain mematuhinya walaupun tahu alasan pastinya. Apa arti nyawa dua belas orang buruhnya bagi sang juragan bila dibandingkan dengan harga perahunya yang mencapai puluhan juta itu. Laut Jawa memberi tangkapan yang melimpah jika sedang baik hati. Cakalang, tongkol, layang, pari, dan tuna memenuhi ruang penyimpanan kapal yang berkapasitas sepuluh ton itu. Juragannya yang berumah di Wiradesa itu panen besar meskipun Taslani sebagai buruhnya harus puas hanya mendapat remahannya.

Namun, hukum alam yang telah ditetapkan oleh pemilik alam ini ada ketentuannya. Alam memberi, tapi juga meminta. Pada saat Taslani sedang menguras isi laut dengan pukat harimau milik juragannya, Laut Jawa juga sedang menelan tanah pekarangannya. Dan itu sudah berlangsung lama, juga terus menerus.

Taslani menggunakan kesempatan saat tidak melaut itu untuk mengurusi harta warisan bapaknya. Rumah papan kayu berukuran enam kali tujuh, pekarangan, dan kebun itu harus dia selamatkan agar dirinya dan anak-istrinya tidak menjadi gelandangan. Tambak warisan bapaknya sudah lenyap setahun yang lalu. Taslani tak ingin hal yang sama menimpa rumah dan kebun melatinya. Ada lima ratus batang bunga melati di dalamnya. Saat musim panen, bisa dijual ke tengkulak yang menjualnya lagi ke pabrik teh. Lumayan untuk tambahan penghasilan saat dia tak bisa melaut.

Malam itu Taslani menjelaskan rencananya kepada anak dan istrinya. Mereka sedang makan berlauk ikan asin ditemani sambal terasi, serta kepiting rebus berukuran cukup besar yang tadi berhasil ditangkap Caslani.  Sementara itu, suara ombak yang dulunya terdengar sayup-sayup, makin lama makin terdengar nyaring di telinga mereka. Hal itu berkebalikan dengan suara burung camar yang sudah lama tak terdengar lagi.

“Di Kandangserang ada dukun sakti. Aku akan ke sana meminta pertolongannya,” kata Taslani.

Casmonah dan Caslani mengangguk-angguk. Ibu dan anak itu percaya, Taslani akan berusaha apa saja agar air laut tak berlaku aniaya kepada keluarga mereka. Rumah dan pekarangan itu adalah harta benda mereka satu-satunya. Itu pun warisan. Kalau air laut terus mendekat dan mendekat, menggerus dan mengikisnya, ke mana lagi mereka bisa pergi?

Tanpa sarapan, pagi-pagi sekali, Taslani pergi. Kandangserang terletak di dataran tinggi, di wilayah selatan Pekalongan. Waktu itu belum ada angkutan. Dia harus berjalan selama enam jam pulang-pergi. Namun, pemandangannya indah. Pepohonan, rumah, sawah, dan perbukitan memanjakan mata. Berhari-hari hanya bisa memandangi lautan kadang-kadang membuat Taslani bosan juga. Namun, dia tak mempunyai keterampilan lain kecuali menjadi nelayan walaupun sebagai buruh saja.

Sore harinya Caslani kembali. Tubuhnya berkilat penuh keringat dan terlihat lelah. Namun, matanya tampak menyorot bercahaya. Ada pendar-pendar harapan di dalamnya. Sang dukun telah membekalinya dengan secarik kain mori putih. Ada rajah di dalamnya, dan ditulis dengan arang.

Tanpa membuang waktu, Taslani menuju kebunnya, tak lupa mengajak Caslani. Sesuai perintah dukun yang konon sakti mandraguna itu, Taslani mengikatkan kain mori itu pada sebatang bambu bambu, pada bagian pucuknya. Batang bambu setinggi lima meter itu lalu dia tancapkan persis di garis pantai, dua meter jaraknya dari batas kebunnya. Sejurus kemudian, mulutnya tampak komat-kamit merapalkan mantra, sementara matanya memandangi lautan yang membentang di hadapannya. Wajahnya tampak garang, menentang siapa atau apa saja yang sedang dan bakal merusak tanah pekarangannya. Setelah mengusap wajahnya tiga kali, batang bambu itu ditepuk-tepuknya, dan menguatkan hatinya bahwa usahanya itu akan memberikan hasil sebagaimana mestinya.

Esok harinya, Taslani membuka jendela kamarnya yang persis menghadap laut, dan didapatinya si batang bambu telah tumbang. Seolah-olah tak percaya, dia segera mendekat, dan memang batang bambu itu telah terkapar, sementara si jimat tak ada kabar beritanya. Gerundelan terdengar dari mulutnya. Batang bambu yang tergolek gontai itu diambilnya, lalu dilemparkannya ke tengah-tengah ombak yang terus menjilati tanah pekarangannya dan bersikap tak peduli.

Taslani kembali ke rumah. Wajahnya terlihat murung. Dia ingin segera bisa melaut. Di tengah laut, dia tak bakal menemukan persoalan yang memusingkan seperti itu. Hanya ombak yang akan dia hadapi, dan itu selalu bisa disiasati, bahkan jika sedang bergulung-gulung setinggi gunung. Pasrah dan tawakal. Itu kuncinya. Di tengah-tengah lautan yang sedang bergelora, perahu yang bertonase ratusan ton, bisa dinaiki ratusan orang, serta bisa dimuati puluhan ton barang hanyalah selembar daun. Manusia bisa berbuat apa di tengah-tengah keganasannya.

“Aku akan menemui Dewi Lanjar, minta petunjuknya,” ucapnya.

Di daratan, Taslani tak bisa sepasrah itu. Setidak-tidaknya, dia harus berusaha. Dewi Lanjar adalah penguasa Laut Jawa. Taslani tidak tahu persis dari jenis apa Dewi Lanjar itu. Setan, siluman, jin, ataukah manusia yang telah menjadi siluman.  Ada banyak versi tentang si Dewi, dan Taslani tak peduli. Dalam situasi yang sedang dia hadapi, pertolongan yang datang dari siapa saja atau apa saja tak akan ditolaknya.

Konon, Dewi Lanjar pemurah dan suka mengabulkan permintaan para pemujanya, apa saja, walaupun kebanyakan menginginkan kekayaan. Caslani tidak ingin kaya dengan cara curang seperti itu. Dia hanya ingin air laut tidak mengganggu tanah warisannya, apalagi sampai mengambilnya. Sudah tentu menghentikan ketamakan air laut yang terus-menerus mengerus tanahnya, juga milik warga Simonet lainnya, bukanlah persoalan yang susah bagi penguasa Laut Jawa yang konon sakti bukan kepalang itu.

Setelah makan dengan lauk ikan asin dan sambal terasi, malam itu Taslani berpamitan. Dibawanya segenggam bunga melati yang dipetik dari kebunnya sebagai buah tangan bagi sang Dewi. Istri dan Caslani mengantarkannya sampai di depan pintu. Letak istana Dewi Lanjar tidak jauh, di Slamaran, dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki setengah jam saja. Kalau semuanya lancar, Taslani akan pulang sebelum matahari terbit.

Namun, Taslani tak kembali sampai datangnya pagi. Begitu juga malamnya, paginya, dan hari-hari berikutnya lagi. Saat itu tahun 1965, keadaan sedang genting, dan orang hilang adalah hal yang biasa di negara ini. Warga tak terlalu peduli akan raibnya Taslani. Apalagi sebagian besar dari mereka adalah nelayan. Laut selalu meminta bayaran untuk ikan yang telah diberikan. Setiap musim ombak dan angin, selalu ada perahu nelayan yang hilang ditelan lautan, beserta seluruh penumpangnya tentu saja.

Casmonah dan Caslani pun menjalani hidup tanpa Taslani yang hilang tak tentu rimbanya. Hidup mereka yang dulu serba kekurangan, makin kekurangan. Namun, rimba raya yang berisikan manusia ini memang ganas. Tak ada tempat bagi para pengeluh. Semua harus keluar peluh agar mendapatkan hasil. Casmonah merawat kebun melati yang terus terkikis seiris demi seiris agar bisa diambil hasilnya walaupun sebagian besar penghasilannya yang kecil itu didapatnya dari upah menjadi buruh penjemur ikan asin milik pak kepala desa.

Sementara itu, walaupun masih berusia remaja, Caslani mengikuti jejak bapaknya, menjadi buruh nelayan, dan di juragan yang sama yang kapalnya telah bertambah banyak dan makin besar ukurannya. Lingkaran kehidupan itu pun hampir mencapai bentuk yang sempurna. Kakek buyut Caslani buruh nelayan, kakeknya juga, demikian pula bapaknya, lalu dirinya.

Waktu terus berjalan, dan kehidupan tak berhenti. Caslani sudah dewasa. Kulitnya hitam kecokelat-cokelatan. Rambutnya merah terpanggang matahari. Jaring sepanjang ratusan meter  yang ditariknya setiap kali melaut, puluhan ribu keranjang ikan yang pernah diangkatnya, serta tali layar yang harus dia kencangkan setiap kali angin datang bergelombang telah membentuk badannya yang tidak terlalu besar itu menjadi kekar dan berotot. Sorot matanya menampakkan keteguhan seorang pelaut sejati. Ombak setinggi bukit sering dia hadapi, dan  tak ada hal lain yang bisa membuatnya gentar lagi.

Caslani juga sudah menikah. Istrinya tetangganya sendiri, lima tahun lebih muda daripada dirinya. Mereka telah dikarunai seorang anak laki-laki, Tolani. Sambil mengurusi ibunya yang makin tua, dirawatnya seiris ladang yang ditanami bunga melati yang terus terkikis itu jika sedang tidak melaut. Diupayakannya berbagai macam cara untuk menahan kenaikan gelombang yang makin hari makin tinggi itu. Dibuatnya tanggul dari lumpur. Ditanaminya dedalu. Namun, semua sia-sia. Kekalahannya melawan gelombang Laut Jawa sudah pasti, dan dia hanya sedang menundanya.

Ketika teringat apa yang pernah dilakukan bapaknya dulu sekali, hari itu Caslani berpamitan pada anak dan istrinya. Dia hendak menghadap seorang kiai yang tinggal di daerah Wonopringgo. Sebenarnya, saat itu dukun masih dipandang sebagai orang sakti, tapi Kandangserang jauh dari Wonokerto, dan kabarnya si dukun sakti yang dulu dikunjungi bapaknya itu sudah mati. Apalagi, konon, doa seorang kiai lebih ampuh daripada dukun. Bisa jadi hal itu karena cara kerjanya berbeda. Entah pada bagian mananya.

Caslani pulang menjelang sore hari. Wajahnya tampak berpendar-pendar, sementara matanya memancarkan keyakinan yang teguh. Kepada anak dan istrinya, ditunjukkannya kertas yang berisi kutipan ayat suci itu. Entah surat apa dan ayat berapa. Caslani mengajak Tolani menuju halaman rumahnya. Potongan bambu sepanjang tiga meter itu dia tancapkan di pinggir kebunnya, persis di ujung lidah air laut. Sementara itu, pada pucuknya sudah dia tempeli kertas yang berisi kutipan ayat suci tadi. Mulut Caslani tampak komat-kamit merapalkan doa, sementara matanya memandangi lautan yang jauh membentang di hadapannya.

“Empat puluh tahun yang lalu, di sanalah kakekmu biasa bermain sepak bola,” katanya.

Caslani menunjuk ke tengah lautan, seratus meter dari tempatnya sedang berdiri. Sementara itu, Tolani hanya mengangguk-angguk, dan tangannya sibuk memegangi kepiting berukuran sedang yang baru saja ditangkapnya di selokan yang memisahkan kebun bapaknya dengan ladang yang tak lagi diurusi pemiliknya.

Esoknya, batang bambu itu hilang terbawa ombak, dan tak ada bekasnya. Sambil menggerutu, Caslani  membenahi tanggul kebunnya yang jebol, dan itu sudah sepuluh kali dalam satu bulan ini. Dia juga mengumpat, mengumpati siapa saja yang terlintas dalam otaknya.

“Besok aku akan menemui Dewi Lanjar, minta petunjuknya. Juga mencari bapak,” ucap Caslani saat makan malam.

“Jangan, Mas! Kami tak ingin Mas Caslani bernasib sama seperti bapak!” cegah istrinya.

“Aku pasti pulang. Aku bukan bapak,” jawab Caslani.

Setelah makan dengan lauk ikan asin dan kepiting rebus berukuran sedang tadi, malam itu Caslani pergi. Istrinya dan Tolani mengantarnya sampai di depan pintu. Letak istana Dewi Lanjar tidak jauh, di Slamaran, dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Apalagi Caslani naik sepeda meskipun butut. Kalau semuanya lancar, Caslani akan pulang sebelum matahari terbit. Dewi Lanjar pemurah dan suka mengabulkan permintaan para pemujannya, apa saja. Sudah tentu menghentikan ketamakan air laut yang terus-menerus mengerus tanah warga persoalan yang susah bagi penguasa laut utara itu.

Saat itu tahun 1982, pemilu sedang berlangsung, dan orang yang hilang dan tidak dicari adalah hal yang biasa di negeri ini. Paginya Taslani tak kembali. Begitu juga malamnya, paginya lagi, dan hari-hari berikutnya lagi. Warga tak ada yang terlalu peduli akan hilangnya Taslani tersebut. Apalagi sebagian besar dari mereka adalah nelayan. Laut selalu meminta imbalan untuk ikan yang telah diberikan. Setiap musim ombak dan angin, selalu ada perahu nelayan yang hilang ditelan lautan, beserta seluruh penumpangnya.

***

Hari, bulan, tahun terus berganti. Masa kini telah berubah menjadi masa lalu, dan masa nanti telah menjadi masa kini.

Pagi-pagi sekali, dua hari yang lalu, pada tahun 2021 ini, TPI Wonokerto kedatangan dua orang gila. Begitu pemikiran orang-orang dari melihat penampilannya. Yang satu berkulit cokelat kehitam-hitaman, berambut putih, dan sudah tua. Sementara yang satunya lagi berkulit hitam kecokelat-cokelatan, rambutnya lebih putih, dan terlihat lebih tua lagi. Tak ada yang mengenali keduanya sebagai Taslani dan Caslani.

Dua orang gila yang terlihat rukun adalah fenomena langka. Juga tak ada yang berpikir bahwa keduanya datang dengan naik sepeda butut, berboncengan pula. Namun, persepsi tetaplah persepsi, dan itu mempunyai teorinya sendiri. Dari pakaian, ekspresinya, dan gerak-geriknya, Caslani dan Taslani memang terlihat sebagai orang gila. Apalagi kalau nanti orang-orang itu mendengar bagaimana ceritanya bapak-anak itu hidup lagi setelah puluhan tahun dinyatakan mati. Pula, orang-orang yang sedang bekerja di pelelangan ikan itu kebanyakan pendatang, bukan penduduk asli. Bahkan ada yang datang dari Sumatera dan Kalimantan sana.

“Di manakah letak Dukuh Simonet?”

Taslani dan Caslani merasa sedang berada di negeri antah-berantah meskipun sebelumnya mereka sangat yakin, jalan yang menuju rumahnya tidak mungkin salah arah. Bangunan tempat pelelangan ikan itu dulu tidak ada. Juga muara yang membentang puluhan meter lebarnya di hadapannya dan entah berapa meter kedalamannya. Orang yang sedang membetulkan jaring itu menghentikan kegiatannya, memperhatikan si penanya, tapi tak segera menjawab. Sikapnya terlihat enggan bercampur takut. Dia justru segera meraih batu di dekat kakinya. Orang gila jelas menakutkan, apalagi berjumlah dua orang, dan belum lagi kalau nanti mereka mengamuk.

“Di manakah letak Dukuh Simonet? Dulu saya dilahirkan di tempat,” ucap Caslani lagi, mencoba tersenyum, menunjukkan keramahannya.

Meskipun demikian, kecurigaan itu tak juga hilang dari wajah orang yang sedang ditanya itu. Orang gila terkenal murah senyum, dan suka memberikan kepada siapa saja tanpa diminta. Barangkali itu pemikirannya. Dia mengangkat tangannya, beserta batu di genggamannya, lalu menunjuk ke arah barat. Dan, di seberang tempat pelelangan ikan itu, dipisahkan oleh muara yang lebarnya puluhan meter, terlihat oleh Taslani dan Caslani sebuah pulau. Rumah-rumah itu hanya terlihat atapnya, sementara air laut telah merendam bagian lainnya. Pohon-pohon itu hanya kelihatan daun dan batangnya yang bagian atas, sementara air laut telah menelan bagian bawah dan tanah tempatnya tumbuh.

“Itu Dukuh Cimonet?” seru Caslani, tak percaya. Dulu, dukuh tempatnya dilahirkan itu menyatu dengan daratan, bukan sebuah pulau yang dikelilingi air.

“Bagaimana dengan nasib penduduknya? tanya Taslani.

Orang itu meneruskan pekerjaannya, tak menjawab. Bisa jadi tak mau, tapi bisa juga  tak tahu. Sementara itu, Caslani dan Taslani terus bertanya-tanya, mendesak-desak, bergantian, bahkan kadang berbarengan. Orang itu pun makin kebingungan, dan memilih menutup mulutnya, bahkan lalu meninggalkan tempat itu. Orang gila ternyata lebih menakutkan daripada ombak yang sedang menggila. Terlebih lagi, orang gila yang suka bertanya-tanya. Mungkin itu yang dipikirkannya.

Taslani dan Caslani segera mendekat ketika mereka lihat ada perahu yang sepertinya hendak menyeberangi muara, menuju tanah di seberang sana. Keduanya bersikeras menaikinya walaupun si tukang perahu berkeberatan, begitu juga ibu-ibu yang sedang menjadi penumpangnya.

“Hus! Hus! Pergi! Atau saya pukul?” kata si tukang perahu, sementara galah itu diangkatnya di atas kepalanya.

“Kami akan pulang ke Simonet, dan kami bukan orang gila,” kata Casmani.

Walaupun tampak ragu, akhirnya si tukang perahu membiarkan Taslani dan Caslani ikut perahunya, dan terus memperhatikan gerak-gerik keduanya. Tak lupa batang bambu itu digenggamnya erat-erat. Setelah sepuluh menit, perahu yang biasa digunakan untuk menyeberangkan orang itu pun sampai di tepi satunya. Tanpa permisi, Taslani dan Caslani melompat dari atas perahu, lalu berlari menuju ke arah rumahnya yang sudah tidak ada meskipun hanya sisa-sisa atapnya.

Selama sehari penuh Taslani dan Caslani berkeliaran di Dukuh Simonet, mencari-cari keluarganya. Namun, tak ada yang mengetahui. Sebagian besar warga Simonet telah mengungsi atau pergi atau dievakuasi. Taslani dan Caslani pun meracau sejadi-jadinya, memanggil-manggil Tolani yang entah bagaimana nasibnya. Juga Casmonah, serta nama-nama orang yang dikenalnya. Namun, tampaknya nasib anak, istri, dan para tetangga mereka itu tak lebih baik bila dibandingkan dengan sebagian daratan di Dukuh Simonet; hilang tak meninggalkan jejaknya.

Sudah berhari-hari Taslani dan Caslani mencari keluarganya, bertanya kepada siapa saja yang mereka temui, dan hanya mendapat jawaban berupa gelengan kepala. Apalagi nama yang disebut-sebut ini–Taslani, Caslani, Casmonah, dan Tolani–sudah tidak musim lagi, dan terdengar aneh di telinga. Kegilaan kedua orang gila itu makin sempurna ketika entah dari mana mendapatkannya, tiba-tiba kosa kata ini meluncur bergantian dari mulut keduanya: abrasi, air artesis, mangrove, antropogenik, tanah alluvial, kompaksi, konsolidasi natural, global warming, intrusi air laut, efek rumah kaca, geologi, hidrogeolagi….

Orang-orang tertawa saat mendengarnya, bahkan yang paling terpelajar sekali pun. Tak seorang pun yang menganggapnya sebagai pesan ataupun peringatan. Apalagi lalu menjadikannya sebagai bahan renungan dan memancing rasa keingintahuan. Ada orang yang terlalu pintar sehingga menjadi gila, lalu mengoceh semau-maunya, dan ocehannya terdengar membingungkan seperti isi kuliah seorang profesor. Begitu pemikiran mereka. Namun, sepertinya dua orang gila yang bercelana komprang dan bertelanjang dada itu tidak termasuk di dalam kreteria tersebut walaupun istilah-istilah asing yang mereka ucapkan itu terdengar asing juga. Bisa jadi, keduanya hanya orang bodoh yang telah menjadi gila karena kebodohannya.

Semisterius kedatangannya, begitu juga dengan kepergiannya. Tepat saat badai menerjang Laut Jawa, Taslani dan Caslani kembali hilang bagai ditelan bumi, dan hanya menyisakan sepeda butut itu di belakang musala. Orang-orang tak ada yang peduli. Saat ini tahun 2021, simpati dan empati sudah tidak musim lagi. Apalagi berita tentang orang hilang bisa dan biasa ditemukan setiap saat di media online atau televisi. Ada hal yang lebih penting dan mendesak untuk dibicarakan. Rob makin menggila, banjir makin menjadi-jadi, permukaan tanah makin menurun, pasang makin tinggi, sementara surutnya makin lama. Pembicaraan itu berlangsung selama berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun….

Waktu pun berlalu, berkejar-kejaran bahkan. Masa kini telah berubah menjadi masa lalu, dan masa nanti telah menjadi masa kini. Pada tahun entah, orang-orang sudah menyingkir dari daerah pesisir, sejauh-jauhnya, dan terpaksa tinggal di dataran tinggi. Perbukitan di Kandangserang, Lebakbarang, dan Paninggaran yang dulunya dipenuhi pohon pinus telah berubah menjadi permukiman. Rumah-rumah berukuran mini itu berjejal-jejal seperti kandang merpati, dan berhimpit-himpitan seperti bekas kasdus mi.

Anak turun Taslani termasuk di antara para penyintas itu. Namanya Fredy Mercury, dan bukan pelaut seperti kakek moyangnya, melainkan penyanyi organ tunggal. Dia sedang berdiri di depan gubuknya yang persis menghadap ke arah utara. Sementara itu, berada tak jauh darinya, Lady Gaga, anaknya, terlihat tak peduli. Bocah perempuan berusia sepuluh tahun itu sedang memegangi bangkai tikus yang baru saja ditemukannya terhimpit batu. Alhamdulillah, bisa dibakar dan dijadikan lauk saat makan nanti.

“Satu abad yang tahun lalu, di sanalah kakek buyutmu biasa bermain sepak bola,” katanya.

Fredy Mercury menunjuk ke tengah-tengah lautan, puluhan ribu meter dari tempatnya sedang berdiri. Sementara itu, di bawahnya, di kaki bukit, air laut sedang mengiris daratan, seiris demi seiris, juga menggerus akar pepohonan, dan membuatnya tumpang. Walaupun ratusan ribu rumah dan bangunan di pesisir pantai utara telah diubahnya menjadi rumpon ikan, rupanya Laut Jawa belum juga terpuaskan.

Kajen, 20 Oktober 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *