Cerpen #15: “Habis Karam Terbitlah Pulau”

Dalam pengembaraan untuk melepaskan diri dari beban raga yang ia panggul, Amongraga pernah singgah di sebuah pulau kecil yang sepanjang garis pantainya dipenuhi pohon kelapa, kucila, dan manggis liar. Dan setiap kali buah dari pohon-pohon tersebut jatuh, buah itu segera menggelinding ke laut lantas menjelma ikan.

Selain aneka pepohonan liar, pulau itu praktis tidak berpenghuni, namun terdapat puing-puing kuil Buddha yang telah ditumbuhi lumut dan semak. Di pulau itu, Amongraga bertapa selama empat puluh hari, lantas Gusti Allah mengguyurkan rahmat ke atas kepalanya dan memerintahkannya untuk pergi.

Dan Amongraga pergi.

Akan tetapi, ini bukan cerita tentang Amongraga.

 

Bertahun-tahun kemudian, banyak orang yang menuliskan perjalanan Amongraga tersebut – satu yang paling terkenal di antara tulisan itu adalah Serat Centhini. Namun tak ada satu pun dari orang-orang itu yang benar-benar yakin jika pulau ajaib di mana buah-buahan yang jatuh dari pohon akan segera menjelma ikan tersebut benar-benar ada.

Para bocah juga mendengar kisah persinggahan Amongraga di pulau ajaib ini dari ibu atau nenek mereka. Namun para para ibu atau nenek ini selalu berkata bahwa itu hanyalah dongeng, dan dongeng, bagaimanapun, adalah dongeng – bukan sesuatu yang benar-benar ada dalam dunia nyata. Dan karena itulah tak ada satu pun dari para bocah ini yang setelah tumbuh dewasa berusaha mencari keberadaan pulau ajaib di mana firman Gusti Allah turun dalam reruntuhan kuil Buddha ini.

Akan tetapi, ini juga bukan cerita tentang mereka.

 

Ini cerita tentang ratusan tahun setelah itu semua – setelah hari di mana Amongraga singgah di pulau penuh pohon-pohon liar yang buahnya segera menjelma ikan begitu jatuh dan menggelinding ke laut.

Pada waktu itu, plastik dan bocoran minyak dan limbah industri telah mengubah laut menjadi neraka. Semua penghuni samudra ditemukan mati mengambang dan siapa pun tahu bahwa generasi setelahnya hanya akan mengetahui ikan-ikan dari internet atau gambar dalam buku – semua artefak beku yang membuat ikan-ikan menjadi bagian dari dongeng atau legenda semata dan bukannya sesuatu yang benar-benar ada di dunia nyata.

Sejumlah orang kemudian berpikir tentang ekspedisi luar angkasa.

“Pasti ada sebuah planet di luar sana,” kata mereka, “yang masih memiliki ikan. Dan ke sanalah kita mesti pergi.”

Dan itulah yang kemudian berusaha mereka lakukan.

 

Bertahun-tahun mereka membangun pesawat luar angkasa yang besar dan canggih. Berulangkali percobaan itu gagal dan mereka tak pernah menyerah. Sudah begitu banyak uang yang dikeluarkan untuk proyek tersebut.

Pada saat-saat tertentu, ketika mereka hampir merasa putus asa, mereka menatap langit yang tinggi dengan kelip-kelip bintang yang sangat banyak. Lantas mereka tersenyum dan semangat mereka bangkit kembali.

“Bintang-bintang itu memanggil kita,” kata mereka.

Dan mereka bekerja lebih keras lagi.

 

Semua orang berpikir tentang proyek ke luar angkasa dan menemukan sebuah planet baru yang masih punya banyak ikan. Oleh karena itu, buku-buku yang ditulis pada waktu itu juga berkisar tentang luar angkasa dan teori-teori tentang sebuah planet baru yang masih punya banyak ikan.

Novel dan puisi juga berbicara tentang perjalanan luar angkasa dan petualangan di planet yang masih punya banyak ikan. Beberapa di antaranya menambahkan detail-detail kecil tentang dinosaurus di dalamnya.

Buku-buku agama juga penuh dengan tafsir kitab suci yang dikaitkan dengan perjalanan luar angkasa dan sebuah dunia lain dengan ikan-ikan berenang di perairannya. Surga, dalam buku-buku agama keluaran terbaru itu, tidak lagi sebuah tempat dengan sungai susu dan sungai madu, melainkan lautan dengan air yang begitu biru dan ikan-ikan berenang bebas di dalamnya. Dan apa yang disebut langit lapis ketujuh itu adalah sebuah planet di sebuah galaksi yang jauh, sebegitu jauh hingga untuk mencapainya diperlukan perjalanan melintasi langit yang berlapis-lapis.

Dan seterusnya.

Dan seterusnya.

Dan oleh karena itu, hanya buku-buku semacam itulah yang kemudian dianggap penting dan dibaca. Lantas pada suatu kali, pemerintah menyadari bahwa biaya perawatan perpustakaan serta ruang penyimpanan awan di internet membengkak luar biasa. Biaya itu, sesungguhnya, bisa dipangkas untuk menambah biaya ekspedisi luar angkasa. Maka pemerintah segera membentuk sebuah tim khusus yang bertugas memusnahkan buku-buku dari masa lampau, juga dokumen-dokumen lain di penyimpanan awan, yang tidak lagi relevan dengan cita-cita mulia ekspedisi luar angkasa – sebuah ekspedisi menemukan surga.

Pada waktu itulah seorang pekerja di divisi pembersihan dokuman secara tak sengaja menemukan sebuah buku yang berkisah tentang perjalanan Amongraga ketika terdampar di sebuah pulau ajaib dengan pohon-pohon yang buah-buahnya bisa berubah menjadi ikan.

 

Pekerja itu membawa buku tersebut – Serat Centhini – kepada pimpinannya.

“Tidak mungkinkah jika kisah ini benar-benar nyata?” kata pekerja itu bertanya. “Maksudku, pulau ini memang benar-benar ada.”

“Jika pulau itu memang benar-benar ada,” sahut pimpinannya, “maka sudah sejak dulu orang-orang menemukannya.”

“Orang-orang tidak menemukannya karena tidak ada yang pernah mencoba mencarinya,” kata pekerja itu lagi.

“Orang-orang tidak pernah mencoba mencarinya karena pulau itu memang tak pernah benar-benar ada,” kata pimpinannya.

Si pimpinan kemudian menyuruh si pekerja pergi dan tidak berpikir yang aneh-aneh. “Semua orang sibuk memikirkan masa depan dan luar angkasa,” kata si pimpinan, “dan kau malah menengok masa lalu dan sebuah tempat yang hanya ada dalam dongeng.”

 

Namun si pekerja terus memikirkan kisah tentang pulau tersebut. Alih-alih memasukkan buku tersebut ke dalam tungku pembakaran raksasa yang terus menyala dua puluh empat jam sehari, si pekerja malah menyembunyikan buku itu dan membawanya pulang. Semalaman ia membaca buku itu dan terus memikirkannya sampai kepalanya pening.

Lantas ketika pagi terbit, ia sudah bertekad untuk mencari pulau dalam kisah Amongraga tersebut.

 

Awalnya, si pekerja mengajukan cuti dengan alasan ibunya sakit. Pimpinannya memberinya izin seminggu.

Seminggu bukanlah waktu yang cukup baginya. Namun ia telah memutuskan untuk tetap melakukan pencarian. Ia tak tahu mesti memulai dari mana. Dan pada akhirnya, ia berjalan tak tentu arah.

Seminggu kemudian, ia tak tahu sedang berada di mana. Ia menghubungi pimpinannya, dan mengatakan bahwa ia mesti cuti lebih lama. Pimpinannya mengomel lama sekali. Lantas menutup panggilan telepon begitu saja.

Si pekerja melanjutkan perjalanannya. Berbulan-bulan ia mencari. Pimpinannya berkali-kali meneleponnya, dan karena capek menjawab dan mencari alasan, akhirnya ia tak pernah lagi mengangkat panggilan telepon itu. Dan pimpinannya juga tak pernah lagi menghubunginya.

 

Bertahun-tahun kemudian, si pekerja mendengar kabar bahwa ekspedisi ke luar angkasa telah berhasil menjelajah hingga tepian Galaksi Bimasakti. Namun mereka masih belum menemukan sebuah planet yang memiliki banyak ikan di perairannya.

Si pekerja juga belum menemukan petunjuk tentang pulau ajaib yang pernah dikunjungi Amongraga dan ia begitu putus asa dan menyadari bahwa apa yang ia lakukan sia-sia belaka. Seharusnya aku mempercayai ilmu pengetahuan alih-alih dongeng, pikirnya. Setidaknya, dalam ilmu pengetahuan dan ekspedisi luar angkasa itu harapan masih tersisa bagi akal sehat.

Lantas di sebuah pantai, ia menangis.

Ia merasa begitu lelah dan tak berguna.

Berhari-hari ia menangis hingga air matanya kering dan matanya bengkak sebesar bakpao.

 

Si pekerja mengeluarkan buku tentang perjalanan Amongraga dari dalam tasnya. Buku itu kini sudah sangat lapuk dan robek-robek di sejumlah bagian. Pada waktu itu, itu mungkin satu-satunya buku dari masa lalu – masa yang telah jauh berlalu – yang masih tersisa.

Ia bermaksud membuang buku itu. Namun sebelum itu, ia memutuskan untuk membacanya sekali lagi.

Dan pada waktu itulah, gelombang tinggi menyeretnya ke tengah laut.

 

Laut benar-benar hitam. Limbah dan sisa tumpahan minyak membuat kulit si pekerja perih. Plastik membungkus tubuhnya, lantas gelombang mengombang-ambingkannya.

Mungkin inilah akhirnya, pikir si pekerja.

Ia pasrah. Si pekerja tidak pernah berdoa sebelumnya, namun pada kondisi di ambang maut seperti itu, ia merasa perlu berdoa. Dan ia berdoa.

Ia berdoa begitu khusuk dan ketika semua bertambah gelap, ia yakin ia sudah mati.

 

Si pekerja terbangun di sebuah pantai dengan pasir putih pualam. Ia memandang sekeliling dan mendapati laut berwarna biru – bukan hitam.

Ini pasti akhirat, pikir si pekerja.

Ia memeriksa sekeliling. Deretan pohon kelapa, kucila, dan manggis liar memenuhi sepanjang garis pantai. Sebutir kelapa jatuh dan menggelinding tak jauh darinya, lantas ketika menyentuh air, buah kelapa itu berubah menjadi seekor ikan.

Si pekerja mengucek-ngucek mata.

 

Si pekerja menemukan bahwa ponselnya basah namun masih bisa digunakan. Dengan ponsel itu, ia menghubungi pimpinannya dulu.

Si pimpinan sudah tidak menyimpan nomornya. Dan ketika ia menyebutkan nama, pimpinannya berteriak marah.

“Aku menemukan pulau itu,” katanya bersemangat.

Namun pimpinannya malah menutup panggilan telepon itu setelah mengatakan bahwa masih banyak hal penting yang mesti dikerjakan.

Si pekerja menelepon kembali. Dan si pimpinan memblokir nomornya.

Si pekerja kemudian menghubungi semua kontak yang tersimpan di ponselnya dan memberitahukan apa yang ia temukan.

“Kau harus melacak posisiku sekarang,” katanya.

Akan tetapi, tak ada satu pun yang melacaknya, dan itu berarti, tak ada satu pun yang percaya kepadanya.

 

Si pekerja telentang di atas pasir, menatap ke langit. Buah-buah terus berjatuhan setiap waktu dan segera menggelinding di atas remah pasir pantai lantas menjelma ikan ketika menyentuh air.

Si pekerja melihat selarik cahaya membelah langit. Dan ia berpikir mungkin saja itu cahaya dari pesawat luar angkasa yang berusaha menemukan sebuah planet lain yang masih memiliki banyak ikan di suatu tempat yang jauh.

Ia tersenyum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *