Setiap tahun, Hari Pangan Sedunia menjadi momentum penting untuk meninjau kembali arah pembangunan pangan kita — apakah ia benar-benar menjamin keadilan bagi masyarakat dan keberlanjutan bagi lingkungan? Di tengah gencarnya proyek-proyek pangan berskala besar, isu perubahan iklim, dan alih fungsi lahan pertanian, WALHI Jawa Tengah memandang bahwa ketahanan pangan tidak bisa semata diukur dari angka produksi. Ia adalah soal keadilan sosial, ekologi, dan hak masyarakat atas sumber daya alamnya.
Melalui kajian cepat ini, WALHI Jawa Tengah menyoroti bagaimana kebijakan pangan nasional dan daerah masih menyisakan paradoks antara produktivitas dan keberlanjutan. Dalam konteks Jawa Tengah, wilayah yang selama ini dikenal sebagai lumbung pangan nasional justru menghadapi berbagai ancaman: dari abrasi di pesisir, hilangnya lahan produktif akibat pembangunan industri, hingga lemahnya perlindungan bagi petani dan nelayan kecil.
Kajian ini juga menghadirkan potret nyata dari berbagai wilayah pesisir seperti Bedono, Tanjung Mas, Sengon, dan Sumberrejo — daerah yang menjadi bukti bagaimana krisis ekologis dan ketimpangan kebijakan memperlemah ketahanan pangan lokal. Di sisi lain, masyarakat tetap menunjukkan ketangguhan melalui strategi adaptif dan solidaritas lokal, mulai dari pengolahan hasil laut hingga diversifikasi pangan rumah tangga.
WALHI Jawa Tengah berharap, hasil kajian ini dapat menjadi bahan refleksi dan dorongan bagi pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil untuk menata ulang sistem pangan Indonesia agar berpihak pada keadilan ekologis, kedaulatan rakyat, dan keberlanjutan bumi. Karena pada akhirnya, ketahanan pangan sejati bukan hanya soal ketersediaan pangan, tetapi soal siapa yang berdaulat atas pangan itu sendiri.
Unduh kajian di link berikut:
Kajian Cepat Ketahanan Pangan ED Jateng
