PRESS RELEASE KONFERENSI PERS RESPON COP 30 BRAZIL

Semarang, 15 November 2025 – Dalam rangka pelaksanaan Conference of the Parties (COP) 30 di Belém, Brazil, WALHI Jawa Tengah menyoroti meningkatnya ancaman terhadap ekosistem mangrove dan ruang hidup masyarakat pesisir akibat skema-skema palsu berbasis pasar karbon yang semakin didorong dalam forum iklim global. Tahun ini, COP 30 memusatkan agenda pada isu hutan, masyarakat adat, dan transisi energi, tiga sektor yang sangat terkait dengan keberlangsungan ruang hidup rakyat di Indonesia, termasuk di Jawa Tengah.
Salah satu skema yang akan diperkenalkan di COP 30 adalah Tropical Forest Finance Facility (TFFF), sebuah mekanisme pembiayaan hutan tropis yang diklaim sebagai solusi pelestarian. Namun, WALHI menilai skema ini berbahaya karena mengubah hutan dan ekosistem mangrove menjadi aset finansial, bukan ruang hidup yang harus dilindungi.
Solusi Palsu dalam Skema TFFF
TFFF memperkuat logika pasar karbon dan membuka ruang lebih luas bagi greenwashing dengan memberikan nilai yang sangat rendah bagi hutan yang masih berdiri, hanya US$4 per hektare, dengan alokasi ke masyarakat lokal hanya sekitar US$0,8 per hektare. Skema ini tidak menyentuh akar krisis iklim dan justru berpotensi:
- Menormalisasi perampasan ruang hidup masyarakat adat dan masyarakat pesisir,
- Mendorong ketergantungan negara pada investor,
- Menguatkan pendekatan konservasi berbasis komodifikasi.
WALHI Jawa Tengah menegaskan bahwa ekosistem mangrove sangat rentan dikomodifikasi melalui proyek-proyek “net zero” yang menempatkan mangrove sebagai penyeimbang emisi, bukan sebagai ekosistem yang harus dipulihkan secara holistik.
Regulasi Lemah, Mangrove Terancam
Di tingkat nasional, PP 27/2025, yang berbasis pada UU Cipta Kerja, tidak memberikan perlindungan memadai terhadap ekosistem mangrove. Kerusakan mangrove hanya dikenakan sanksi administratif, tidak dianggap sebagai kejahatan lingkungan. Selain itu, aturan ini membuka ruang perubahan kawasan mangrove yang sangat rentan dipengaruhi kepentingan politik dan industri ekstraktif.
Di Jawa Tengah, berbagai regulasi tata ruang menunjukkan inkonsistensi data luasan dan lemahnya perlindungan terhadap mangrove:
- RZWP3K Jateng 2018–2038: 8.707 ha
- Pergub Jateng No. 24/2019: 12.661 ha
- RTRW Jateng 2024–2044: 12.684 ha
- Peta Mangrove Nasional 2024: 16.100 ha
Bahkan, kawasan mangrove di Kota Semarang tidak tercantum sama sekali dalam RTRW 2024–2044, menunjukkan minimnya komitmen perlindungan yang berbasis kajian ekologi. Pergub 24/2019 juga tidak menyediakan mekanisme monitoring, pengawasan kerusakan, maupun sanksi yang kuat, membuat banyak wilayah mangrove rentan terhadap konversi dan proyek industrialisasi pesisir.
Praktik Baik Pemulihan Mangrove Berbasis Komunitas
Di tengah lemahnya kebijakan negara, pemulihan mangrove yang paling nyata justru datang dari masyarakat. Sejumlah inisiatif di Jawa Tengah menunjukkan bagaimana perlindungan mangrove berhasil ketika dikelola oleh komunitas yang hidup dan bergantung pada ekosistem tersebut:
- Mangunharjo, Semarang: Kelompok Tani Mangrove Lestari menjaga dan menanam mangrove sejak 1995.
- Tambakrejo, Semarang: Kelompok Mangrove Nusantara melakukan pengelolaan dan penanaman.
- Bedono, Demak: Kelompok Pembibitan Mangrove “Bumi Hijau” memulihkan wilayah pesisir yang terdampak abrasi dan rob.
Inisiatif-inisiatif ini membuktikan bahwa pemulihan ekosistem hanya efektif jika berbasis komunitas, bukan proyek karbon atau investasi hijau berbasis pasar.
Sikap dan Tuntutan WALHI Jawa Tengah
Di tengah menguatnya skema pasar karbon dalam COP 30, WALHI Jawa Tengah mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk:
- Melindungi ekosistem mangrove dari komodifikasi dan skema solusi palsu COP 30, termasuk TFFF dan mekanisme pasar karbon lainnya.
- Menjalankan perlindungan dan pemulihan mangrove berbasis keadilan ekologis dan kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya, bukan kepentingan investor.
- Merevisi kebijakan tata ruang dan regulasi mangrove yang melemahkan perlindungan ekosistem, khususnya PP 27/2025, RTRW Jateng 2024–2044, dan Pergub 24/2019.
4. Menetapkan ekosistem mangrove lindung sebagai No-Go Zone (NGZ) yang tidak dapat dialihfungsikan untuk industri ekstraktif.
5. Menjamin perlindungan hukum yang kuat, termasuk pengakuan kerusakan mangrove sebagai kejahatan lingkungan.
#TolakSolusiPalsu #StopKomodifikasiMangrove #PulihkanJawaTengah
Narahubung:
Zalya (087780891857)
