PERS RILIS
Pawai Damai 16 HAKTP “Menggalang Keberanian Menautkan Kekuatan Perempuan”
Aliansi Perempuan Jawa Tengah

Semarang, 7 Desember 2025 – Aliansi Perempuan Jawa Tengah yang terdiri dari jaringan organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa menggelar Pawai Damai 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) sebagai bentuk perlawanan terhadap terus berlangsungnya kekerasan berbasis gender dan ketidakadilan struktural yang dialami perempuan di berbagai ruang hidupnya. Momentum 16 HAKTP, yang diperingati setiap 25 November hingga 10 Desember, menjadi pengingat bahwa negara belum sungguh-sungguh menjalankan mandat perlindungan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan masih terjadi di mana-mana, di rumah, di ruang kerja, di kampus, di ruang publik, hingga dalam kebijakan negara yang abai dan merampas ruang hidup masyarakat. Kekerasan tidak hanya hadir dalam bentuk fisik atau seksual, tetapi juga melalui keputusan politik yang mengabaikan keberlanjutan hidup perempuan. Kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender, dan diskriminasi masih menjadi persoalan serius di Jawa Tengah.
Catatan Tahunan LRC-KJHAM tahun 2024 menunjukkan dari 102 kasus yang tercatat, 84 kasus (81%) merupakan kekerasan seksual, didominasi oleh pelecehan seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, hingga Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE). Angka tersebut hanyalah puncak gunung es dari berbagai kasus yang tidak pernah dilaporkan akibat intimidasi, relasi kuasa, dan minimnya sistem perlindungan.
Pendampingan terhadap korban kekerasan seksual dan KDRT juga menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap korban masih terjadi, layanan pendampingan sangat minim, dan korban menghadapi diskriminasi berlapis, terutama perempuan disabilitas, pekerja seks, serta kelompok dengan keragaman orientasi seksual dan identitas gender yang hingga kini belum menjadi prioritas perlindungan negara.
Di tengah situasi tersebut, negara justru menunjukkan lemahnya komitmen. Kapasitas lembaga layanan seperti UPTD PPA sangat terbatas, alokasi anggaran hanya 0,004% dari total APBD Jawa Tengah, menandakan bahwa perlindungan perempuan belum menjadi prioritas politik pemerintah. Sementara itu, pendamping korban, termasuk perempuan pembela HAM, kerap menghadapi tekanan berlapis, kriminalisasi, dan risiko keamanan yang tinggi.
Selain kekerasan seksual, perempuan juga berada pada garis depan dampak perampasan ruang hidup, perusakan lingkungan, konflik agraria, pesisir, hingga krisis iklim. Dari banjir rob hingga proyek-proyek ekstraktif, perempuan menjadi kelompok paling terdampak, namun paling sedikit dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Bahkan dalam upaya masyarakat mempertahankan ruang hidup, tidak jarang pejuang lingkungan yang mendampingi warga justru dikriminalisasi.
Situasi kekerasan juga hadir dalam dunia kerja. Perempuan pekerja media dan buruh menghadapi tekanan ganda berupa tuntutan penampilan dan stigma yang semakin memperbesar kerentanan terhadap kekerasan. Di kampus, kekerasan seksual terus terjadi, termasuk bentuk baru melalui teknologi dan penyalahgunaan kecerdasan buatan (AI-based harassment) yang belum mendapat perhatian serius dari institusi maupun negara. Di sisi lain, perjalanan panjang para penyintas kekerasan politik 1965 masih berjuang mendapatkan pengakuan dan pemulihan. Hingga kini, negara belum memenuhi tanggung jawab terhadap trauma yang diwariskan lintas generasi.
Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat, serta mendesak pemerintah, lembaga penegak hukum, dan media untuk bersama-sama:
- Memperkuat implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
- Menyediakan ruang aman, adil, dan inklusif bagi perempuan di semua bidang.
- Melibatkan perempuan secara bermakna dalam penyusunan kebijakan pembangunan, tata ruang, dan kebijakan lingkungan.
- Memperkuat perspektif aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual
- Memberikan perlindungan kepada korban kekerasan yang memiliki kerentanan berlapis, termasuk perempuan pekerja seks, perempuan dengan disabilitas, serta kelompok dengan keragaman orientasi seksual dan identitas gender.
- Memastikan perlindungan perempuan dalam konflik sumber daya alam, banjir rob, dan dampak krisis iklim, termasuk menghentikan proyek yang memperparah kerentanan perempuan.
- Mengakhiri kriminalisasi korban dan pendamping, serta menjamin perlindungan bagi perempuan pembela HAM.
- Mengakui, memulihkan, dan menjamin ketidakberulangan bagi penyintas kekerasan politik.
Langkah bersama ini penting untuk mengakhiri kekerasan dan ketidakadilan yang berulang serta membangun masyarakat yang adil, aman, dan setara bagi semua.
