PRESS RELEASE
SEMARANG CLIMATE STRIKE 2025: ANAK MUDA MENUNTUT KEADILAN IKLIM & TRANSISI ENERGI BERSIH YANG BERKEADILAN SEKARANG!

Semarang, 14 November 2025 – Sekitar dua ratus warga Semarang, yang didominasi oleh pelajar dan aktivis muda, berpawai di depan Kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah dalam aksi damai Semarang Climate Strike (Jeda Untuk Iklim) 2025 pada hari Jumat (14/11). Mereka menyerukan ajakan peduli pada isu krisis iklim dan transisi energi bersih yang berkeadilan.
Aksi ini merupakan bagian dari gerakan global Global Climate Strike, yakni komitmen para pelajar dan anak muda sedunia serentak untuk turun ke jalan pada hari yang sama secara berkala demi terwujudnya keadilan iklim. Tahun ini tema sentral bersamanya adalah “Just Transition Now!”. Di Semarang, ini adalah aksi Jeda Untuk Iklim kelima sejak 2019 yang dikoordinir oleh Jaringan Peduli Iklim dan Alam (Jarilima) yang terdiri dari WALHI Jateng, LBH Semarang, Pelita, Edu House, Klub Merby, Gusdurian, Rotary, CMID, dsb.
Sejak pukul tujuh pagi, para pelajar dan mahasiswa mulai berkumpul di Taman Indonesia Kaya (TIK), mengenakan kaus putih yang dihiasi pita kuning sebagai simbol tanda bahaya krisis iklim. Didampingi oleh orang tua, guru, dosen, serta para pemuka agama, mereka melakukan long march menyusuri Jalan Pahlawan, melewati depan kantor Gubernur Jawa Tengah, lalu menyeberang jalan dan berputar menuju panggung aspirasi yang berlokasi di depan Patung Diponegoro Undip Pleburan.
Panggung aspirasi di Patung Diponegoro menjadi ruang berbagi kepedulian soal krisis iklim melalui pentas seni, refleksi, puisi, dan orasi. Anak-anak menyanyikan lagu “Rumah”, mengajak menari bersama (flash mob), dan membaca puisi. Para pemuka agama juga menyampaikan refleksi tentang iklim dan lingkungan dari perspektif religius. Semua menegaskan bahwa krisis ekologi telah menjadi persoalan etis, sosial, dan spiritual yang memerlukan respons kolektif.
“Transisi energi bersih sudah sangat urgen demi kelangsungan hidup warga Jawa Tengah dan Semarang. Kita sudah rasakan sendiri dampak kenaikan suhu Bumi, cuaca ekstrem yang mendatangkan banjir, badai, kekeringan. Ada ancaman krisis pangan dan air. Pemerintah harus segera bertindak nyata menghentikan pembiayaan dan ekspansi proyek berbasis bahan bakar fosil, serta melakukan investasi besar-besaran dalam energi terbarukan yang bersih dan terjangkau. Jangan terus berpikir jangka pendek, ingat nasib anak-anak kecil dan generasi muda kita ini. Jangan tunggu Semarang tenggelam, transisi ke energi bersih sekarang!” tegas Ellen Nugroho, koordinator Jarilima.
“Makin hari, bumi makin panas, kayak tiap orang punya mataharinya sendiri. Bakal bagaimana bumi ini ketika kami sudah dewasa nanti? Orang dewasa perlu mengubah cara hidup biar Bumi lebih baik. Anak-anak juga perlu belajar bagaimana menjaga Bumi buat masa depan kami nanti,” ungkap Kyralee (11), pelajar kelas VI EduHouse Primary.
“Tinggal di Semarang yang mudah tergenang luapan air, dampak perubahan iklim pasti kita langsung merasakannya. Perlu sekali dari anak kecil sampai orang dewasa semua terlibat dalam aksi meningkatkan kesadaran akan krisis iklim seperti ini. Merawat Bumi adalah perintah Tuhan sejak awal penciptaan. Mandat ini perlu terus digemakan demi kelestarian kehidupan manusia dan alam sekitarnya,” kata Romo Suratmo Atmomartaya, Pr, ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) Keuskupan Agung Semarang.
“Krisis iklim ini dampak dari cara pandang antroposentris kita yang keliru selama ini, menganggap manusia adalah penguasa absolut atas alam. Merusak dan mengeksploitasi lingkungan sebetulnya dosa ekologis. Berpartisipasi dalam upaya transisi energi bersih adalah wujud nyata dari panggilan iman, kasih, dan keadilan. Mari berdiri membela hak-hak alam dan komunitas rentan yang paling terdampak oleh krisis,” seru Pendeta Linda Mutiara Lumban Tobing, pembina rohani di Universitas Bina Nusantara (Binus).
“Akar krisis iklim ini ada di moralitas dan kesadaran spiritual. Eksploitasi alam berlebihan adalah cermin keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha) manusia. Padahal menyakiti alam, berarti menyakiti diri sendiri dan seluruh makhluk. Lewat aksi ini, kita mengakui kembali bahwa semua kehidupan saling bergantung. Ayo lindungi bumi, ini praktik Dhamma yang nyata, ini welas kasih ekologis,” tambah Bhikkhu Ditthisampanno Mahathera.
“Kita ini harus melakukan pertobatan ekologis. Gunakan listrik secukupnya. Tanam pohon dan tumbuhan. Minimalkan sampah. Sekolah-sekolah bisa sangat berperan. Bukan hanya di sekolah kita latih anak bawa botol minum sendiri, tapi juga membiasakan mereka peduli terhadap lingkungan secara nyata, peka terhadap kerusakan lingkungan, termasuk ikut serta dalam aksi nyata seperti climate strike ini, demi kelestarian Bumi sebagai rumah kita bersama,” jelas Suster Krista, SDP, Kepala Sekolah SMA Kebon Dalem.
“Ketika kita membahas persoalan bangsa tapi tidak peka dengan isu perubahan iklim, maka sama saja kita membahas omong kosong belaka karena isu perubahan iklim menyangkut keberlangsungan bumi yang kita tempati. Kami mengajak seluruh elemen bangsa untuk lebih peka terhadap efek-efek perubahan iklim yang makin nyata untuk keberlangsungan hidup anak cucu kita ke depan,” pungkas Nuhab Mujtaba, koordinator Gusdurian Semarang.
“Krisis iklim tidak terjadi begitu saja, ia adalah hasil dari keputusan politik yang selama bertahun-tahun memberi karpet merah bagi industri ekstraktif dan energi kotor. Anak-anak yang turun ke jalan hari ini adalah bukti bahwa generasi muda sedang menanggung beban dari kebijakan yang tidak pernah mereka buat. Inilah bentuk ketidakadilan antargenerasi yang paling nyata: generasi hari ini dipaksa menghadapi krisis yang dipicu oleh kelalaian masa lalu. Pemerintah harus segera menghentikan izin-izin perusak lingkungan, memensiunkan dini dan menutup ruang bagi ekspansi PLTU dan industri batubara, serta memastikan transisi energi yang adil, yang menempatkan keselamatan rakyat dan keberlanjutan ekosistem sebagai prioritas utama. Keadilan iklim berarti keadilan hari ini, sekaligus keadilan antargenerasi yang menjamin bahwa anak-anak yang berdiri di sini tidak akan mewarisi bumi yang semakin rusak. Tanggung jawab moral dan politik pemerintah bukan hanya kepada warga hari ini, tetapi juga kepada anak-anak yang belum lahir. Setiap keputusan yang diambil hari ini akan menentukan apakah mereka kelak hidup dalam dunia yang layak atau dalam bencana yang tak berkesudahan. Karena itu, negara tidak boleh lagi menunda. Menyelamatkan bumi adalah mandat antargenerasi, dan negara wajib menjalankannya,” tegas Zalya, Staff Kampanye dan Media WALHI Jawa Tengah.
Aksi Semarang Climate Strike 2025 ditutup dengan mengheningkan cipta untuk bumi. Semua peserta aksi bersama-sama mengirimkan harapan besar agar masyarakat tidak akan berdiam diri di tengah bencana yang semakin nyata, bergabung dalam tuntutan kolektif agar pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia, segera menurunkan emisi karbon dan melakukan transisi menuju energi bersih yang berkeadilan, serta mewujudkan keadilan iklim.
Narahubung:
Zalya (087780891857)
