Rilis
WALHI Jawa Tengah
Musim Timuran kok Rasa Baratan?
Tragedi Pemancing Hilang dan Perahu Tenggelam di Perairan Semarang dan Demak: Peringatan Serius atas Krisis Iklim dan Lemahnya Perlindungan Negara terhadap Masyarakat Rentan
Semarang, 21 Agustus 2025 – Peristiwa tragis yang menimpa 12 pemancing di perairan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang pada 19 Agustus 2025, menyebabkan empat orang meninggal dunia dan satu orang masih hilang akibat ombak besar. WALHI Jawa Tengah menyampaikan duka mendalam kepada keluarga korban, namun sekaligus menegaskan bahwa kejadian ini bukan sekadar musibah laut, melainkan alarm keras bagi pemerintah, publik, dan pemangku kepentingan untuk lebih serius menanggapi anomali cuaca dan kerentanan masyarakat pesisir di tengah krisis iklim.
Kejadian ini bukan peristiwa tunggal. Dalam beberapa tahun terakhir, pola cuaca di pesisir utara Jawa kian tidak menentu. Musim angin baratan dan timuran yang dahulu relatif terprediksi kini berubah dengan intensitas gelombang ekstrem dan badai mendadak. Dalam hal ini, para nelayan dan pemancing yang menggantungkan hidupnya di laut menjadi kelompok paling rentan. Anomali musim akibat perubahan iklim kemudian semakin mempertegas lemahnya sistem informasi, mitigasi, dan peringatan dini yang seharusnya melindungi masyarakat pesisir dari risiko bencana.
Marzuki, seorang warga dan nelayan yang tinggal di pesisir Kampung Nelayan Tambakrejo, Tanjungmas, Kota Semarang menyampaikan ketidakwajaran cuaca.
“Seharusnya Agustus masih musim timuran.. nah kemarin itu enggak ada yang memprediksi kalo kecepatan angin engga seperti biasa,” ujar Marzuki.
Di sisi lain, peristiwa serupa juga terjadi di kawasan pesisir Dusun Bedono, Kec. Sayung, Kab. Demak. Sejak Senin pagi, 18 Agustus 2025, warga Dusun Bedono berjumlah delapan orang dibantu oleh paguyuban nelayan Morodemak sejumlah 30 orang bergotong royong melakukan evakuasi terhadap tiga perahu nelayan yang tenggelam digulung ombak. Menurut penuturan Saiful, salah seorang warga Dusun Bedono yang ikut membantu proses evakuasi, hari itu (Senin) cuaca laut memang sedang tidak bersahabat.
“Asal mulanya (langit) mendung pekat, terus beberapa menit kemudian angin kencang dibarengi ombak besar. Semua nelayan tidak sempat menyelamatkan diri kemudian bertahan di tengah laut terombang ambing oleh ombak.”
Lebih lanjut, Saiful menyampaikan bahwa beberapa perahu yang berhasil lepas dari jangkar akhirnya dapat menepi ke bibir pantai untuk mendapatkan evakuasi dari warga. Sedangkan perahu sisanya yang masih terjebak di tengah perlu menunggu cuaca hingga lebih kondusif untuk warga dapat melakukan evakuasi.
“Tiga perahu panik jadi tenggelam di tengah laut, setelah (menunggu) 24 jam lebih baru bisa dievakuasi dan alhamdulillah ya tidak ada korban jiwa,” tambah Saiful.
Selanjutnya, Soleh, nelayan dari Dusun Bedono yang juga membantu proses evakuasi menyampaikan bahwa bulan ini seharusnya tidak ada ombak besar. Ia mengaku kaget ketika mengetahui di saat peristiwa tersebut terjadi angin dan ombak menerjang begitu besar.
“Kirain kan ngga ada ombak, bulan Agustus kan harusnya ngga ada ombak,” Soleh keheranan.
Soleh menambahkan bahwa meskipun nelayan saat ini selalu mengecek jadwal ombak dan pasang surut air laut, tetapi data tersebut tidak selalu akurat. Ia menyampaikan bahwa cuaca semakin tidak bisa diprediksi, oleh karenanya nelayan perlu kewaspadaan dan tidak terpaku pada jadwal ombak dan pasang surut air laut semata.
Di dalam rentetan peristiwa tragis ini, sayangnya respon pemerintah masih dominan bersifat reaktif, sebatas pada evakuasi korban dan pencarian hilang. Padahal, akar masalah sesungguhnya terletak pada lemahnya sistem peringatan dini yang berbasis komunitas, buruknya tata kelola pesisir, serta minimnya perlindungan sosial-ekonomi bagi nelayan kecil. Pembangunan pesisir yang hanya berorientasi pada infrastruktur besar tanpa memperhatikan aspek keselamatan masyarakat dan keberlanjutan justru semakin memperparah kerentanan masyarakat secara luas. Tragedi ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menempatkan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama di tengah situasi krisis iklim yang terjadi. WALHI Jawa Tengah kemudian mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk:
- Segera memperkuat sistem peringatan dini yang inklusif dan berbasis komunitas,
- Menyusun kebijakan perlindungan nelayan dari risiko perubahan iklim,
- Menghentikan model pembangunan pesisir yang abai terhadap keselamatan ekologi dan manusia.
Krisis iklim adalah realitas hari ini, bukan ancaman masa depan. Tanpa perubahan arah kebijakan yang tegas, tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terjadi.
Narahubung:
WALHI Jawa Tengah (081327925874)