Kajian Cepat Respon Banjir di Beberapa Titik di Jawa Tengah

Kajian Cepat Respon Banjir di Beberapa Titik di Jawa Tengah

Walhi Jawa Tengah

“Pemerintah Seakan Tak Pernah Mengambil Iktibar dari Bencana yang Telah Terjadi”
Sejak awal tahun 2024 bencana banjir menerjang hampir seluruh wilayah di Jawa Tengah. Mulai dari Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kendal, Kota dan Kabupaten Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Blora, Salatiga, Grobogan, hingga Solo. Untuk bulan Januari – Februari setidaknya banjir telah menggenangi lahan persawahan seluas 9.368,5 hektar (Tempo.co), ini belum termasuk area pemukiman maupun fasilitas sosial dan umum. Laporan investigasi yang dilakukan Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS) pada tahun 2023, menunjukkan 70% wilayah pantura Jawa Tengah Kebanjiran. Bukan hanya meluas, tetapi juga volume/ketinggian banjir juga meningkat, seperti yang terjadi di Grobogan dan Demak bulan lalu. Bahkan, dilansir dari Detik.com (12/2/2024), warga menganggap banjir yang terjadi di Demak menjadi banjir terparah dalam 50 tahun terakhir.

Melalui penelusuran berita di media sosial, Walhi Jateng menemukan hal yang menggelikan dari respon pemerintah terhadap bencana banjir yang terjadi. Respon yang diberikan beragam namun, hampir seluruhnya menunjuk persoalan bencana ini disebabkan faktor teknis sekaligus memang ‘takdir Tuhan yang tidak bisa dihindari’. Hampir seluruhnya menyebutkan banjir disebabkan oleh luapan air sungai, tanggul jebol, sedimentasi sungai, infrastruktur sungai yang belum selesai dikerjakan, dan cuaca ekstrim. Tidak ada statement atau respon yang jelas dan tegas menunjukkan bahwa ini disebabkan oleh alih fungsi lahan dan tata ruang yang serampangan.

Dari kajian yang dikerjakan oleh Walhi Jateng sepanjang tahun 2023, perubahan lanskap daerah hulu yang menjadi penopang resapan air untuk daerah bawah (hilir) kian mengerikan. Setelah pesisir habis dan rusak karena industrialisasi yang masif, bagian tengah yang merupakan bentang pegunungan mulai dari Tegal hingga Karanganyar dan Rembang juga mulai dibabat untuk pembangunan, baik untuk proyek strategis nasional (PSN), Industri, pertambangan, maupun proyek skala besar industri energi.

Sebagai satu kesatuan ruang wilayah, bencana banjir yang hampir mendominasi kawasan pantai utara (PANTURA) tidak bisa hanya dilihat sebatas persoalan teknis macam tanggul jebol. Seperti yang terjadi Februari lalu banjir di Grobogan dan Demak

yang menenggelamkan ribuan hektar sawah–yang kemudian terancam gagal panen harus melihat bahwa ada proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Jragung di Kabupaten Semarang yang berbatasan langsung dengan Demak dan Grobogan telah membabat habis ratusan hektar kawasan hutan.

Begitupun banjir yang terjadi di Jepara, Pati, dan Blora yang sangat dekat sekali dengan kawasan pegunungan Karst Kendeng. Karst Kendeng telah berubah menjadi daerah pertambangan bahkan pabrik semen. Di daerah paling barat juga harus melihat bagaimana perubahan hulu di Gunung Slamet yang menjadi industri pariwisata dan uji coba proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) juga menyebabkan banjir di daerah Brebes, Tegal, Pemalang dan Pekalongan. Semarang yang menjadi langganan bencana banjir bahkan pada tanggal 13 – 14 Maret bulan ini juga turut disebabkan oleh perubahan daerah hulu. Perubahan lanskap kawasan resapan air menjadi perumahan, tambang-tambang untuk menyuplai kebutuhan reklamasi pantai, PSN Bendungan dan Jalan Tol, serta industri juga menjadi satu penyebab yang sangat krusial.

Berbagai bencana banjir besar yang terjadi tiap tahunnya tidak membuat pemerintah di Jawa Tengah segera mengambil langkah serius agar bencana yang meluas dan semakin tinggi ini tidak berulang. Justru, beberapa kebijakan yang dibuat kontradiktif dengan bencana banjir yang terjadi, salah satunya dalam draf Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2023-2043 yang saat ini sedang dibahas. Dalam Raperda tersebut, diketahui bahwa:

1. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya (PTB) berkurang sebanyak 82.230 Ha, dari 107.286 Ha menjadi 25.056 Ha.

2. Luasan kawasan konservasi dan cagar budaya berkurang seluas 19.093 Ha, dari 32.788 Ha menjadi 13.695 Ha.

Pengurangan PTB, Kawasan Konservasi dan cagar budaya tersebut menunjukan bahwa sampai saat ini pemerintah belum melihat akar masalah banjir dan selalu menyalahkan curah hujan yang tinggi sebagai penyebab banjir. Sebagaimana laporan investigasi banjir Jawa Tengah akhir 2022-2023 yang dibuat oleh Koalisi Maleh Dadi Segoro (2023) menunjukan terdapat pengaruh besar perpaduan antara banjir lokal, banjir kiriman dari wilayah hulu hingga banjir rob (pasang naik air laut).

Banjir adalah Bencana yang Diundang

Dalam konsep politicized environment persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi dimana masalah itu muncul. Begitupun masalah lingkungan bukanlah masalah pengelolaan teknis semata1.

Bencana ekologis berupa banjir di Jawa Tengah khususnya Semarang seringkali berulang setiap tahunnya. Banjir ini tentunya berdampak terhadap ekonomi warga, seperti warga RUSUNAWA Kaligawe yang terpaksa menutup warung makannya2. Selain itu banjir juga mengakibatkan akses transportasi terhambat bahkan menyebabkan beberapa kendaraan rusak dan mogok.

Jika memotret persoalan banjir dengan menggunakan pendekatan ekologi politik maka, penyebabnya bukan hanya curah hujan yang tinggi saja, seperti yang disampaikan oleh Wali Kota Semarang yang menilai hujan deras adalah penyebabnya3. Walhi Jateng menilai pendapat tersebut, sangat tidak substansial. dalam kacamata ekologi politik melalui pendekatan aktor ada beberapa asumsi dasar antara lain:

1. Biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati aktor secara tidak merata, Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya ketimpangan sosial dan dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut. Hal ini juga memiliki implikasi politik dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hubungan satu aktor dengan lainnya. Masifnya ahli fungsi lahan berubah menjadi infrastruktur, bangunan dan pemukiman tidak lain aktornya adalah pemerintah dan manusia- manusia yang memiliki modal atau kita sebut korporat. Pemerintah mengizinkan proyek pembangunan, infrastruktur yang dilakukan oleh korporat di wilayah yang secara fungsi sebagai resapan air hal ini salah satu kesalah pahaman besar dalam mengelola tata ruang dan pembangunan. ketika bencana sosial ekologis yang akan menjadi korban adalah warga yang tidak tahu menahu dalam perumusan pengelolaan tata ruang, seperti masyarakat di Semarang utara, Kaligawe, Tambakrejo yang pada hari rabu merasakan penderitaan karena banjir. Sedangkan pemerintah dan korporat apakah merasakan dampak yang sangat signifikan dari bencana banjir? Tentunya warga yang terdampak paling signifikan dirasakan oleh kelompok miskin, rentan, dan marginal. Hal ini penting kita lihat bahwa ketimpangan sosial ekologis sudah ada di depan mata.

2. Persoalan lingkungan selalu berkaitan dengan kebijakan yang dihasilkan dari kontrak-kontrak politik. Semarang dalam konteks kebijakan pengelolaan ruang cenderung serampangan, hal ini dapat kita lihat berkurangnya kawasan Ruang Terbuka Hijau karena masifnya pembangunan di bagian Hulu atau bagian atas Kota Semarang meliputi Kecamatan Mijen, Gunungpati, Banyumanik dan Tembalang. yang dulunya di tahun 2012 daerah ini digunakan sebagai lahan pertanian, kemudian di tahun 2016 wilayah Kecamatan Mijen mengalami perubahan secara masif dan sama hal nya pada tahun 2022 wilayah kecamatan Gunungpati dan gajah Mungkur beralih fungsi lahannya menjadi infrastruktur, permukiman dan bangunan. Padahal secara kebijakan pada RTRW kota Semarang tahun 2011-2031 ketiga kecamatan tersebut termasuk dalam kawasan resapan air sebagai penopang semarang bagian bawah.

3. Watak perekonomian yang kapitalistik dengan memaksakan perekonomian padat karya berupa industrialisasi maupun industri ekstraktif berupa tambang dan proyek energi kotor turut memberikan sumbangan terhadap penyebab bencana banjir. Pola perekonomian yang kapitalistik mendorong dan selalu hadir bersamaan dengan terjadinya krisis dan bencana.

Melihat dari kacamata ekologi politik dengan melihat akar persoalan tentu menyalahkan intensitas hujan, tanggul jebol, ataupun sedimentasi sungai bukanlah tindakan yang bijaksana. Statement-statement yang dikeluarkan pemerintah justru menunjukkan bahwa cara kerja dan pola pikir yang digunakan adalah sebatas teknikalisasi masalah–yang menjelaskan bahwa berbagai macam persoalan lingkungan khususnya bencana banjir penyebabnya adalah faktor teknis dan penyelesaiannya bersifat teknis (membangun infrastruktur sungai, membenarkan tanggul, dll) tidak pernah ada kemauan pemerintah untuk membenarkan pola penataan ruang yang berkeadilan.

Rekomendasi

Dari pandangan-pandangan tersebut Walhi Jawa Tengah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk :

  1. Mengembalikan fungsi kawasan hulu sebagai daerah resapan air dan daerah yang memiliki fungsi lindung;
  2. Menyusun struktur ruang dan penataan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sesuai dengan fungsi ruang lingkungan hidup yang berkeadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *