Melihat Konsepsi Keadilan atas Air di Tengah Arus Liberalisasi
Judul : Liberalisasi Air : Orkestra Politik-Ekonomi Sumber Daya Air di Indonesia
Penulis : Rusmadi
Penerbit : Katazam Creative
Tahun Terbit : Katazam Creative
Jumlah Halaman : xxii + 222
Peresensi : Adetya Pramandira
Bagaimana jika air menjadi barang publik—yang semua orang memiliki hak untuk memanfaatkannya? Apakah dengan memiliki persamaan hak maka, semua orang memiliki persamaan akses?
Pertanyaan semcam itu tentu muncul di benak kita bersama, air yang di nilai sebagai barang publik dengan setiap orang memiliki hak yang sama untuk memanfaatkannya, pada kenyataannya tidak demikian. Pada lorong-lorong perkampungan kumuh di kawasan Ibu Kota atau di daerah-daerah pedalaman Nusa tenggara dan bahkan di beberapa wilayah pertanian di Jawa, air bukanlah barang ‘murah’ yang bisa dengan mudah orang memanfaatkannya. Persaman hak untuk memanfaatkan namun, tidak dibarengi dengan persamaan akses karena keterbatasan ‘power’ maka sama saja.
Dalam buku setebal 222 halaman yang berjudul “Liberalisasi Air : Orkestra Politik-Ekonomi Sumber Daya Air di Indonesia”, Rusmadi memaparkan dengan ‘njelimet’ terkait persolan alokasi dan pemanfaatan sumber daya air. Ia mencoba menerobos gagasan yang selama ini diterima oleh khalayak umum yaitu, “keadilan air adalah persamaan hak atas semua orang untuk memanfaatkanya”. Bagi Rusmadi, konsep persamaan hak dalam pemanfaatan sumber daya air tidaklah memadai. Tidak selamanya yang memiliki hak juga memiliki akses terhadap sumber daya air. Atau dengan kata lain, tidak selamanya yang memiliki hak (leader) kemudian memerankan peran sebagai ruler.
“Seseorang yang dalam status hukumnya adalah memiliki hak terhadap suatu sumber daya air tertentu, belum tentu ia mendapatkan alokasi air karena ia tidak memiliki seperangkat kekuasaan (bundle of power) berupa kemampuan untuk mengakses sumber daya itu, sehingga ia tidak bisa menjadi ruler atas pemanfaatan sumber daya air” (Rusmadi, 2013:8).
Mengilhami pemikiran dari Ostrom dan Schelger yang membuat dua term yang cukup relevan yakni, akses (access) dan hak mengambil (withdrawals), Rusmadi dalam buku ini memaparkan bahwa akses adalah hak memasuki atau mengakses sumber daya secara fisik, sementara hak mengambil adalah hak untuk memperoleh produk (manfaat) dari sumber daya tersebut. Karenanya antara hak dan akses pada akhirnya melibatkan bagaimana mengoperasikan sumber daya alam tersebut agar mampu menghasilkan produk atau manfaat (hlm. 11).
Dari konsep yang ditawarkan itu, jadi jelaslah bahwa akses atas sumber daya air sejatinya bukan sebatas dimaknai sebagai hak melainkan, ‘power’ untuk mengakses sumber daya itu.
Keterbatasan atas akses karena disebabkan oleh lemahnya power ini bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Dalam buku ini dijelaskan bahwa pergeseran nilai air yang berujung kepada kepemilikan airlah yang menyebabkan sebagian golongan tidak memiliki power atas sumber daya air.
Air yang semula dimaknai sebagai barang publik—yang semua orang memiliki akses untuk mengambil manfaat darinya, kini telah berganti arti menjadi barang privat. Pergeseran makna ini bermula dari pandangan kelangkaan sumber daya air yang tentu akan berujung krisis. Skema penggunaan air sebagai barang publik milik bersama dianggap akan menimbulkan kelangkaan karena setiap orang dengan bebas mengambil sumber daya air. Anggapa itu berangakat dari tesis Garret Herdin “the tragedy of the common” (bencana milik bersama) dimana sumber daya alam yang dimaknai menjadi milik bersama hingga setiap orang bisa memanfaatkannya menyebabkan tidak ada efisiensi dalam penggunaannya dan bahkan eksploitasi secara bersama-sama akan terjadi.
Akan tetapi, dalam buku ini Rusmadi mencoba mengobrak-abrik kembali cara pikir kita yang terlanjur mengamini tesis Garret Hardin. Rusmadi mencoba mengajukan pertanyaan kembali, “Benarkah dengan kepemilikan privat akan menciptakan efisiensi dan perawatan yang memadai? ataukah justru akan menimbulkan eksploitasi berlebih karena anggapan sudah menjadi barang milik pribadi?”
Rusmadi menilai dari cara pandang yang bermazhab kepada Garret Hardin itulah yang menyebabkan orang berbondong-bondong menjadikan air sebagai barang milik pribadi—yang pada akhirnya juga bisa menimbulkan bencana. Lebih ekstrim lagi, bagi Rusmadi cara pandang ini tidak hanya merubah sumber daya air menjadi barang privat melainkan merubah sumber daya air yang semula barang sosial (social goods) menjadi barang ekonomi (economic goods)—yang pada akhirnya menyebabkan liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi sumber daya air.
Liberalisasi air, sebagai topik utama dalam buku ini diposisikan sebagai hak utama yang menyebabkan pergeseran paradigma pengelolaan urusan publik—dari yang aktornya hanya berpusat kepada negara menuju partisipasi antar actor, yakni melibatkan sektor swasta (private sector) dan masyarakat sipil (civil society). Di bawah paham liberalisasi, konsep governance menjadi satu hal yang tidak bisa terhindarkan. Bagi banyak kalangan mungkin konsep ini lebih partisipatif dan mampu mengakomodir setiap pemangku kepentingan. Akan tetapi, secara kritis Rusmadi memberikan pandangan lain. Bisa saja konsep governance menjadi jalan masuk liberalisasi sumber daya alam.
Atas nama governance, bisa saja berakibat kepada lemahnya peran negara dan sebaliknya menguatnya peran sektor privat pada urusan publik. Pelemahan peran negara ini pada akhirnya membuka peluang bagi masuknya aktor-aktor baru dalam pengelolaan sektor publik (hlm. 18).
Dalam kasus liberalisasi sumber daya air, penerapan water governance—sebagai turunan dari konsep governance penting untuk melihat pandangan orang mengenai air. Titik pandang terhadap nilai air inilah yang mempengaruhi pola pengelolaan sumber daya air. Jika air dimaknai sebagai barang milik bersama (common goods) dan barang public (public goods) maka pengelolaan air tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar, melainkan harus dimonopoli oleh badan yang mengurus urusan public. Sebaliknya, jika air dimaknai sebagai komoditas atau memiliki nilai ekonomi dan barang privat maka pengelolaannya harus diserahkan kepada mekanisme pasar (lihat hlm. 35).
Mirisnya, dalam negara yang menganut kapitalisme dan anaknya liberalisme pasar, kita berada dalam pandangan yang mengatakan bahwa air adalah komoditas sehingga ia memiliki nilai ekonomi dan menjadi barang privat. Pergeseran ini mulai-mula ditandai dengan masuknya pertimbangan-pertimbangan ekonomi (opportunity cost dan cost recovery). Bagi penganut rezim liberal memasukan air menjadi komo ditas dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar adalah jalan untuk keluar dari kelangkaan—lagi-lagi karena dinilai lebih efisien dan menguntungkan.
Sayangnya, dalam Bab II buku ini yang membahas soal pergeseran nilai air dari barang publik ke barang privat, Rusmadi tidak menjelaskan dengan gamblang apa saja faktor yang mendorong pergeseran nilai itu—selain teori babon soal pandangan akan nilai air itu sendiri (common goods vs economic goods atau public goods atau private goods) atau selain soal jalan keluar dari krisis air.
Setelah mendapat pemahaman yang cukup ketat terkait dengan paradigma pemaknaan terhadap sumber daya air sekaligus implikasinya terhadap pola pengelolaannya. Pada paparan selanjutanya dalam buku ini kita akan disuguhkan dengan pola-pola keadilan atas air—yang menurut Rusmadi tepat.
Keadilan atas air tidak sebatas dimaknai pemerataan hak atau kesamaan hak setiap orang untuk mendapatkan akses. Akan tetapi, keadilan atas air diletakkan pada pondasi hak diikuti akses. Secara ketat Rusmadi menjelaskan bahwa hak saja tidak cukup untuk menggambarkan keadilan atas air karena memiliki hak tidak lantas memiliki akses atas sumber daya air. Di sini Rusmadi mencoba untuk tidak gegabah dalam memaknai keadilan. Untuk mengetahui bagaimana konsepsi tentang keadilan tentu harus belajar tentang teori keadilan.
Meskipun buku ini sudah lama diterbitkan akan tetapi, buku ini masih layak untuk kita kaji bersama. Buku ini akan membawa kita menuju cara pandang baru terkait penggunaan dan pengelolaan air. Meskipun menggunakan bahasa yang ‘njelimet’ buku ini cukup ringan untuk dibaca berbagai kalangan.
Jika kita mengingat pepatah “Tak ada gading yang tak retak” maka kita akan mengingat bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Buku inipun memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan. Semisal, melihat konteks liberalisasi air yang banyak disinggung dalam buku ini, bagaimana jika hal itu berhadapan dengan amanat konstitusi? Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945 misalnya.
Terlepas dari berbagai kelebihan dan kekurangan dalam pemaparan penulis. Buku ini perlu untuk kita diskusikan bersama. Selamat membaca !
Kontributor: Adetya Pramandira