GEOTHERMAL = KEBANGKRUTAN MODEL BARU PULAU JAWA

Tulisan ini akan menjelaskan lima poin, pertama menggali ide awal ekspansi panas bumi di Indonesia. Kedua, tentang rencana proyek panas bumi di Pulau Jawa. Ketiga, rencana ekspansi panas bumi di Dataran Tinggi Dieng (DTD). Keempat daya rusak industri panas bumi di DTD dan Kelima, sebuah proyek memporak porandakan kehidupan sosial ekologis di lokasi industri panas bumi.

Setalah munculnya tulisan berjudul “Java Collaps” pada tahun 2010 yang menceritakan keruntuhan pulau Jawa dari sejak masa tanam paksa hingga lumpur lapindo, rasanya kita perlu merefleksi kembali bagaimana kondisi saat ini di pulau Jawa. Bukan sebagai pengawas atau pengamat, tapi mungkin hanya sekedar belajar dan mengingat -ingat apa yang terjadi agar tidak kita bisa menjadi pendongeng. Bukan bermaksud mengkerdilkan berbagai macam proyek yang memporak-porandakan Pulau Jawa, tetapi rasanya penting untuk membongkar proyek pembangkrutan model baru di Pulau Jawa  ̶ mungkin tidak banyak orang ketahui ̶ , yaitu Geothermal.

Menggali Ide Awal Ekspansi Panas Bumi di Indonesia

Berdasarkan artikel yang dilansir pada Bisnis.com (27/7/2021)[1], ide awal eksploitasi panas bumi di indonesia berasal dari JB Van Dijk, seorang guru di HBS Bandung, Jawa Barat. Ia dianggap penggagas awal energi panas bumi di era kolonial yang terispirasi dari keberhasilan pengembangan panas bumi di Italia yang kemudian melahirkan PLTP Kamojang, sebagai PLTP pertama di Indonesia. Berdasarkan jejak digital yang ada, ekplorasi pertama panas bumi ini terjadi pada tahun 1926 yang dilakukan oleh pemerintah kolonial belanda dan menjadi PLTP pertama di indonesia[2]. Setelah tahun 1928 sempat terhenti kemudian pada tahun 1978 kembali melakukan pemboran bekerjasama dengan Pemerintah New Zealand untuk mengeksplor kembali potensi yang ada di Kamojang dengan melakukan beberapa pemboran tambahan (Kautsar, (28/22/2016), yang pada akhirnya beroperasi pada 1982. Saat ini, sumur tersebut menjadi salah satu objek wisata Garut yang cukup terkenal. Kemudian, PLTP Kamojang dengan kapasitas daya yang dihasilkan mencapai 140 MW terintegrasi bersama dengan PLTP Darajat 55 MW dan PLTP Gunung Salak 180 MW dalam PLTP Kamojang Power Generation O & M Services Unit (POMU) 375 MW. Dengan 4 unit PLTP dari PLTP Darajat dan PLTP Gunung Salak, PLTP Kamojang POMU kini mengelola total 7 unit PLTP.

Ekspansi Geothermal di Pulau Jawa

Indonesia memiliki ambisi untuk menjadi negara terbesar dalam pemanfaatan panas bumi. Bahkan sejak tahun 2019, Jokowi mengintruksikan energi panas bumi ini setidaknya pada tahun 2019 harus dapat memenuhi kebutuhan listrik 97% rumah tangga di Indonesia[3]. Serta,  Jokowi berharap pada 2025 optimalisasi pembangkit listrik panas bumi bisa mencapai 7.500 MW[4].

Kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) hingga triwulan I tahun 2018 ini mencapai 1.924,5 MW dari target hingga akhir tahun sebesar 2.058,5 MW. Dengan capaian sebesar 1.924,5 MW tersebut menempatkan Indonesia pada posisi kedua di dunia setelah Amerika Serikat dalam memanfaatkan panas bumi sebagai tenaga listrik, menggeser posisi kedua yang sebelumnya ditempati Filipina. Saat ini Indonesia memiliki cadangan panas bumi sebesar 17.506 MW dan sumber daya sebesar 11.073 MW[5]. Bahkan menurut Kepala Subdit Pengawasan Eksplorasi dan Eksploitasi Direktorat Panas Bumi Ditjen EBTKE Budi Herdiyanto (26/3/2020), mereka sudah memiliki roadmap untuk menjalankan 46 proyek (panas bumi) dengan total kapasitas sebesar 1.222 MW[6].

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai macam sumber, ekspansi panas bumi di Pulua Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur) antara lain:

JAWA BARAT JAWA TENGAH   JAWA TIMUR
WKP Aktor Status WKP Aktor Status WKP Aktor
Gn Salak Star Energy Geothermal Salak Ltd. Produksi Baturaden PT Spring Energy Sentosa (SAE) Eksplorasi Blawan Ijen (92 MW) PT Medco Cahaya
Drajat Star Energy Geothermal Darajat Ltd. Produksi Candi Umbul Telomoyo PT PLN (Persero) Eksplorasi Gunung Iyang-Argopuro (92 MW)
Wayang-Bintu Star Energy Geothermal Darajat Ltd. Produksi Dataran Tinggi Dieng (Lapangan Dieng-Candradimuka-Wanayasa-Mangunan) PT Geo Dipa Energi Eksploitasi Gunung Pandan (40 MW)
Kamojang PT. Pertamina Geothermal Energy Produksi Guci PT Spring Energy Sentosa (SAE) Ekplorasi Gunung Wilis (50 MW)
Patuha PT. Geodipa Energy Produksi Gunung Ungaran PT Giri Indah Sejahtera Eksplorasi Songgoriti (23 MW)
Gunung Lawu (165) (Jawa Tengah-Jawa Timur) PT Pertamina Geothermal Energy (PGE)
Karaha Bodas PT. Pertamina Geothermal Energy Produksi Cadangan Telaga Ngebel (165 MW) PT Bakrie Darmakarya Energi.
Cibuni PT. Kopjasa Keahlian Teknosa Eksplorasi Lokasi MW Cangar (22 MW)
Cisolok-Cisukarame PT. Jabar Rekind Geothermal Eksplorasi Banyugaram-Cipari (Cilacap) 5 MW Melati (25 MW)
Tangkuban Perahu PT. Tangkuban Parahu Geothermal Power Eksplorasi Bumiayu (Brebes) 175 MW Rejosari (25 MW)
Tampomas PT. Wijaya Karya Jabar Power Eksplorasi Klepu (Kab Semarang) 25 MW Titis-Gunung Lamongan 5 MW
Ciremai Dalam proses penerbitan IUP Eksplorasi Krakal-wadas Malang-Wadas Lintang (Kebumen-Banjarnegara)
Ciater/Subang PT. Wahana Sambadhasakti Eksplorasi Kuwuk (Grobogan) 25 MW
Panulisan (Kab Cilacap) 20 MW

Selain data di atas, dalam website ESDM[7], disebut pula cadangan panas bumi yang terdapat di Pulau Jawa, antara lain:

Wilayah Mungkin (MW) Terduga (MW) Terbukti (MW)
Jawa Barat 1555 174 1580
Jawa Tengah 662 130 240
Jawa Timur 851 73 0

Jika melihat dari paparan di atas, terlihat jelas setelah dibangkrutkannya wilayah Pantai Utara Pulau Jawa (PANTURA) dengan perkebunan, industrialisasi, migas dan pertambangan,serta Pantai selatan dengan Tambang, kawasan industri dan migas, kini gugusan pulau Jawa bagian tengah memiliki keterancaman dan sistem eksploitasi yang sama, namun dengan objek yang berbeda, yaitu dengan industri panas bumi.

Wilayah yang selama ini menjadi cathcment area (tangkapan air), tempat masyarakat menggantungkan hidup, habitat flora – fauna (ekosistem) hingga menjaga iklim (fungsi hutan) terancam oleh keberadaan industri ini. Terlebih −jika boleh hiperbola− industri ini mengancam ruang hidup manusia beserta ekosistem lainnya. Bukan hanya krisis lokal yang terjadi, tetapi juga kiris di Pulau Jawa. Seperti ancaman krisis air secara total di Pulau Jawa pada tahun 2040[8].

Akan sangat sulit untuk mengimajinasikan keterancaman dari industri ini jika hanya sekedar menduga-duga. Maka dari itu, penulis mencoba menggunakan salah satu studi kasus untuk memberikan gambaran daya rusak industri ini, melalui WKP Dataran Tinggi Dieng (DTD) yang berlokasi di Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara dan Batang.

Ekspansi Geothermal di Dataran Tinggi Dieng (DTD)

Gambar 1 Wellpad 7, Desa Kepakisan, Kab Banjarnegara Sumber: WALHI Jawa Tengah

Jika mendengar Dieng, rasanya kita akan langsung membayangkan wisata alam, cagar budaya bahkan membayangkan sebuah negeri di atas awan. Padahal, jarang orang yang memperhatikan −walaupun terlihat jelas secara kasat mata− berdiri cerobong-cerobong yang mengeluarkan asap tebal dan pipa-pipa besar  yang letaknya hampir mengelilingi objek wisata di Dieng. Cerobong dan pipa tersebut merupakan perangkat dari Wellpad  (tapak pengeboran) yang akan disalurkan ke turbin Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Saat ini, PT Geo Dipa Energi telah membangun 13 Wellpad, dengan rata-rata memiliki 2-4 sumur.

Ekplorasi panas bumi di Dieng sudah dilakukan sejak tahun 1918 oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada 17 Agustus 1974, ekplorasi tersebut kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia meallui Peraturan Menteri Pertambangan dan energy dengan surat keputusan No.491/KPTS/M/Pertamb/1974 sebagai wilayah kerja IV panas bumi bagi Pertamina, meliputi area seluas 107.361.995 hektar. Penyelidikan geologi, geokimia, geologi dan pengeboran landaian suhu berhasil diselesaikan. Pada saat itu pertamina sudah menyelesaikan 27 sumur uji produksi (21 sumur di Sikidang, 3 sumur di Sileri dan 3 sumur di Pakuwajan). Selama tahun 1981-1983 Pertamina menghasilkan power plant unit kecil berkapasitas 2 MW. Pada tahun 2001, Menteri Keuangan Republik Indonesia melalui surat No.S.346/MK02/2001 tanggal 4 September 2001 menunjuk PT PLN (Persero) untuk menerima dan mengelola aset Dieng Patuha. Di tahun yang sama tepatnya pada 14 September 2001, melalui Joint development agreement antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). PT Geo Dipa Energi didirikan pada 5 Juni 2002 dan diberikan hak pengelolaan WKP Dieng, serta pada 8 Februari 2011 ditetapkan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hingga sekarang.

Gambar 2: WKP Dataran Tinggi Dieng (DTD)

Geo Dipa mendapatkan Penegasan WKP DTD Dieng dari MESDM melalui Keputusan Menteri ESDM 2789 K/30/MEM/2012 (tanggal 19 September 2012), yang berlaku sejak 1 Januari 2007. WKP DTD Dieng memiliki 1 (satu) Lapangan terbukti yaitu Lapangan Dieng yang terdiri dari tiga (3) Area, yaitu Area Sileri, Area Sikidang dan Area Pakuwaja, serta 3 (tiga) Area Prospek, yaitu Area Candradimuka, Area Mangunan dan Area Wanayasa.

Dataran Tinggi Dieng (DTD) Dieng memiliki luas 113.400 Ha1 , terletak di 6 (enam) kabupaten, yaitu Kabupaten Wonosobo (± 12.4%), Banjarnegara (± 54.6%), Temanggung (± 2.1%), Kendal (± 4.2%), Batang (± 10.5%) dan Pekalongan (± 16.1), Provinsi Jawa Tengah[9] . Menurut penelitian yang dilakukan Utami dkk (2019)[10] , Kawasan Dieng memiliki area tidak berpotensi sebesar 3.761,299 Ha, area kurang berpotensi sebesar 4.608,671 Ha dan area sangat berpotensi sebesar 2.427,309 Ha.

Geothermal Undercover: Daya Rusak Industri Panas Bumi di Dataran Tinggi Dieng (DTD)

Dibalik banyaknya siaran mengenai Geothermal sebagai energi bersih dan berkelanjutan −sampai mungkin kita tidak menemukan sisi negatif− tersembunyi cerita-cerita dari warga yang selama ini hidup berdampingan dengan industri tersebut. Salah satunya Dataran Tinggi Dieng (DTD). Bagian ini akan mencoba menceritakan hasil dari berkeliling untuk mendengar cerita-cerita yang selama ini hanya ada di warung kopi, pawon (dapur), pelataran masjid hingga mungkin teras rumah. Tidak pernah lebih jauh dari itu. Bukan karena tidak ingin, tetapi lebih kepada kondisi yang diciptakan agar cerita itu tidak dapat keluar lebih jauh lagi (pembungkaman struktural), seperti media yang sudah terkonsolidasi untuk tidak memberitakan hingga mungkin banyaknya tenaga profesional yang dibayar untuk selalu menginformasikan hal baik tentang industri tersebut.

Sejak datangnya industri Geothermal di DTD, bencana sosial ekologis mulai berdatangan, terutama dirasakan oleh masyarakat yang wilayahnya menjadi ekspansi PLTP Dieng 1, dari mulai menurunnya produktivitas pertanian, ledakan, kebocoran, gempa hingga berbagai pencemaran seperti air, udara, tanah dan suara.

Pada RT 3 Desa Karangtengah, warga mengeluh mengenai suara gemuruh suara powerplan 1. Bahkan suara power plan 1 ini masih dapat terdengar ketika warga sedang berada di Jurang (sawah yang berada di bawah tebing). Bahkan di wilayah karangtengah, suara power plan 1 terdengar sangat keras hingga pengumuman dari mushola/masjid tidak dapat didengar oleh warga.

Operasional power plan unit 1 juga berdampak pada sumber air pertanian warga. Seperti yang dialami oleh petani berinisial A, sumber air telaga swiwi yang ia gunakan untuk menyiram tanaman bersuhu hangat. Pencemaran air di desa Karantengah juga terjadi pada sumber air simpangan. Sumber air simpangan sudah terasa asin dan tidak layak untuk dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan pertanian sekitar 50% warga Desa Karangtengah. Kondisi tersebut sudah berlangsung selama ±10 tahun. Untuk memenuhi kebutuhan air warga karangtengah saat ini, mereka mengambil dari sumber air yang berasal dari Gunung Prau. Krisis air bersih menjadi ancaman terbesar bagi keberlangsungan hidup warga Karangtengah. Bahkan untuk mencari alternatif sumber air, salah satu warga Desa Karangtengah pernah mencoba untuk menggali sumur air tanah sedalam 30 meter, namun tidak mengeluarkan air.

Permasalahan pertanian warga selain krisis air adalah lahan yang sudah mulai tidak produktif akibat keberadaan PLTP. Mereka menduga kondisi ini diakibatkan oleh adanya hujan asam, sehingga membuat lahan-lahan tidak productif dan harus membutuhkan lebih banyak lagi air untuk pertanian. Hujan asam yang terjadi juga berdampak pada rumah dan kendaraan warga, terutama yang berbahan besi. Dampak ini berupa segala hal yang memiliki kandungan besi maka akan cepat berkarat.

Keberadaan PLTP Dieng juga mengancam kesehatan dan keselamatan warga Desa Karantengah. Bagaimana tidak, sejak awal dilakukannya eksplorasi oleh PT Pertamina saja sudah terjadi ledakan, yaitu pada tahun 1978 yang menyebabkan 3 orang meninggal dunia dan pada 1988 yang menyebabkan 4 orang meninggal dunia akibat ledakan.  Selain itu, ledakan kembali terjadi pada tahun 2007 dan 2016 yang menyebabkan 2 orang meninggal dunia.  Terkahir, pada 12 Maret 2022 gas beracun keluar secara tiba-tiba dari wellpad 28 yang berakibat tewasnya 1 pekerja dan 8 pekerja mengalami keracunan[11].

Gambar 3: Peta sebaran wellpad PLTP Dieng Unit 1

Berbagai pengalaman kerusakan sosial ekologis akibat industri tersebut tidak membuat pemerintah dan koorporasi berfikir ulang menghentikan ekspansinya, malah semakin parah. Pada tahun 2019 − informasi yang diketahui warga− perusahaan malah berencana akan membangun pengembangan Powerplan Unit 2 di samping permukiman warga pada penduduk, dengan jarak hanya 1 meter (antara pagar terluar dengan rumah warga terdekat. Padahal sudah jelas, alasan terjadinya berbagai permasalah sosial ekologis di atas disebabkan oleh didekatkannya industri ini kepada ruang hidup warga. Seperti pada gambar 3, dapat dilihat seberapa dekat sebaran wellpad-wellpad PLTP Dieng Unit 1 dengan permukiman warga.

Terlebih lagi, industri ini dibangun diwilayah yang memiliki kompleksifitas bencana, seperti gempa bumi, banjir, tenah bergerak, longsor hingga letusan gunung/kawah. Kondisi ini tidak pernah dipertimbangkan sehingga berimbas pada bencana ekologis yang terjadi. Selalu bersembunyi dibalik bencana alam, tapi melupakan siapa yang mengundang bencana tersebut.

Selain daya rusak lingkungan, kesehatan dan keselamatan warga, industri juga memiliki daya rusak secara sosial. Di dimana, ketika terdapat warga yang kontra, makan akan diciptakan pula warga yang pro −rasanya pola ini terjadi disemua proyek− untuk melegitimasi keberadaan suatu industri tersbut. Daya rusak ini pada akhirnya merubah pola interaksi dan komunikasi antar individu bahkan antar kelompok. Padahal sebelum dimasuki industri tersebut, warga memiliki kehidupan yang tentram.

Sejak awal −jika diizinkan untuk berprasangka buruk−, keselamatan warga dan ruang hidupnya dianggap tidaklah penting, selama koorporasi dan negara bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya dari alam Dieng, serta tercapainya ambisi menjadi negara pengelola panas bumi terbesar di dunia, walaupun harus mengorbankan warganya sendiri, kenapa tidak?. Segala upaya akhirnya dilakukan  −lagi-lagi pola ini sepertinya selalu sama−, seperti memberikan ilusi penyerapan tenaga kerja −walaupun hanya beberapa bulan−, ilusi kesejahteraan −walaupun hanya sebatas dana CSR−, ilusi energi bersih −walaupun terjadi berbagai macam pencemaran− hingga ilusi untuk kepentingan publik −matra yang akhir-akhir ini sering kita dengar−.

Belakangan, pola-pola seperti itu berserakan, bahkan dilegitimasi negara melalui proyek strategis nasional (PSN) dan Objek Vital Nasional (Obvitnas) yang bersembunyi di balik matra “Untuk Kepentingan Publik”, walaupun harus berhutang. Arogansi proyek berkedok “demi kepentingan publik” ini bahkan menerobos berbagai kebijakan daerah −pembrangusan otonomi daerah− dan daerah tidak dapat menolak. Sebut saja Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTWR) Provinsi/Kabupaten/Kota, wilayah rawan bencana, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan sebagainya. Ketidakberanian para kepala daerah untuk menolak inilah yang menjadi awal porak-porandanya Pulau Jawa. Kondisi ini ditemukan dibeberapa acara, salah satunya dalam konsultasi publik ke 2 RTRW Provinsi Jawa Tengah, dimana pada perwakilan dinas menyampaikan kondisi Jawa Tengah yang sudah kritis, namun tidak bisa  menolak keinginan Istana (pemerintah pusat).

 Pada akhirnya rakyat lah yang harus mempertahankan wilayahnya sendiri dengan sekuat tenaga. Sialnya, belakangan penolakan dan perlawanan untuk menyelamatkan ruang hidup ini dianggap sebagai upaya melawan negara, bukan sebagai rasa cinta terhadap tanah air. Hingga tulisan ini dibuat, perlawanan terhadap industri ini terjadi diberbagai macam daerah, seperti Gn Slamet, Gn Ciremai, Padarincang, Gn Ungaran,  Flores hingga Mandailing Natal. Arogansi dan ambisi negara dalam mengeksploitas panas bumi jelas akan semakin memperbanyak proyek perampokan ruang hidup warga.

Salam hormat dan Panjang Umur Perjuangan bagi rakyat yang sedang menyelamatkan ruang hidupnya!

Kontributor: Iqbal Alma Ghosan A

[1]https://nationalgeographic.grid.id/read/13301457/mengulik-sejarah-Geothermal-di-indonesia

[2] https://bisnis.tempo.co/read/830736/jokowi-potensi-panas-bumi-di-indonesia-berlimpah

[3] https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/kini-indonesia-menjadi-produsen-listrik-panas-bumi-terbesar-kedua-dunia

[4]https://ebtke.esdm.go.id/post/2020/03/27/2518/potensi.besar.belum.termanfaatkan.46.proyek.panas.bumi.siap.dijalankan

[5] https://ekonomi.bisnis.com/read/20210725/44/1421453/sejarah-pltp-pertama-di-indonesia-dari-listrik-hingga-energi-untuk-masyarakat-yang-berdaya-saing

[6] https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/ini-sumur-panas-bumi-pertama-di-indonesia#:~:text=Kamojang%20merupakan%20pionir%20pengembangan%20panas,pemboran%20dangkal%20sebanyak%205%20sumur.

[7] https://www.ebtke.esdm.go.id/lintas/id/investasi-ebtke/sektor-panas-bumi/potensi

[8] https://environment-indonesia.com/krisis-air-Jawa-kehabisan-air-di-tahun-2040/

[9] Laporan Tahunan PT Geo Dipa Energi tahun 2020 (halaman 189)

[10] Utami, Risa Bruri Dkk. 2019. ANALISIS REKOMENDASI DAERAH PLTP (PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS BUMI) MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Jurnal Geodesi Undip. VOL 8 NO 1

[11] https://www.merdeka.com/peristiwa/gas-ptlp-dieng-bocor-1-orang-meninggal-dan-9-lainnya-dirawat-di-rs-akibat-keracunan.html (diakses pada 12 Maret 2022)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *