Peristiwa tanggul jebol di pesisir Kota Semarang sudah terjadi sebanyak dua kali pada tahun 2022 ini. Tanggul jebol yang pertama terjadi pada 23 Mei 2022 di daerah Tambak Mulyo dan yang kedua baru saja terjadi pada 29 Desember 2022 di kawasan Pantai Marina. Dalam kurun waktu kurang lebih 7 bulan, lokasi yang berjarak +/- 4,5 km itu sama-sama mengalami tanggul jebol akibat terjangan ombak yang kuat. Akibatnya, terjadi banjir di kawasan-kawasan tersebut dan menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial bagi warga sekitar. Jebolnya tanggul-tanggul tadi tentu saja telah menandakan bahwa kerusakan lingkungan di kawasan pesisir Kota Semarang sudah sangat mengkhawatirkan.
Kemudian hari ini (31/12), dua hari setelah tanggul jebol di kawasan Pantai Marina, Kota Semarang dilanda banjir di sejumlah titik. Hujan yang mengguyur Kota Semarang selama kurang lebih 12 jam tidak dapat ditampung hingga akhirnya menutup jalan dan memasuki rumah warga. Peristiwa ini pun mengulang bencana banjir yang terjadi pada awal tahun 2021 yang lalu.
Krisis Iklim dan Pembangunan Ugal-Ugalan
Banjir sudah menjadi agenda tahunan bahkan bulanan di Kota Semarang, entah itu air yang berasal dari rob (kenaikan air laut) atau hujan. Lokasi terjadinya pun juga tidak banyak berubah dan cenderung bertambah seiring tingginya intensitas rob dan hujan. Krisis iklim yang kian memburuk dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan bencana hidrometeorologi (banjir, gelombang besar, angin kencang, longsor, dll) meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Melihat pada bencana yang terjadi membuktikan bahwa upaya mitigasi krisis iklim di Semarang masih minim.
Pemerintah seakan tidak pernah belajar dari bencana-bencana yang telah terjadi sebelumnya. Pembangunan kawasan industri di daerah pesisir dan alih fungsi lahan di daerah resapan air di Semarang bagian atas justru semakin masif dilakukan. Pembangunan kawasan industri dan infrastruktur pendukungnya telah dan akan menghilangkan ekosistem mangrove di titik pembangunan dan sekitarnya. Padahal, ekosistem mangrove memiliki peranan yang penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim. Selanjutnya, alih fungsi daerah resapan air menjadi bangunan-bangunan (pusat perbelanjaan, permukiman, perguruan tinggi) di Semarang bagian atas menyebabkan air hujan yang turun langsung mengalir ke Semarang bagian bawah. Air tadi juga membawa tanah akibat dari erosi dari hulu sungai hingga ke hilirnya. Akibatnya, terjadilah sedimentasi dan pendangkalan sungai.
Berkurangnya daerah resapan air dan berkurangnya kapasitas sungai untuk menampung air hujan ini lah yang kemudian yang sejauh pengamatan kami menjadi dua dari banyak faktor penyebab terjadinya banjir di Kota Semarang.
Pemerintah terlalu sibuk pada urusan pertumbuhan ekonomi -untuk segelintir orang- sampai lupa bahwa bencana sudah sampai seleher.
Narahubung:
Iqbal +62 888-0606-1612