Mujahadah : Ikhtiar Masyarakat Penawangan Melawan Tambang


Paska melakukan aksi penolakan peninjauan lokasi penambangan pada Rabu 25 Mei 2022, warga
desa penawangan mengadakan Mujahadah bersama di Makam Raden Soedjono yang terletak di
Tempat pemakaman umum, Dusun Punden, Desa Penawangan pada Kamis, 26 Mei 2022.
Mujahadah di mulai pukul 20.00 WIB dan selesai pukul 22.00 WIB. Mujahadah ini dihadiri oleh
kurang lebih 100 warga yang sebagian besar memiliki sawah yang akan dijadikan lokasi tambang
material random untuk bendungan Jragung.
Mujahadah dipimpin oleh Bapak Subkhan, salah satu tokoh agama Desa Penawangan dengan
diawali niat baik mendo’akan keselamatan warga Penawangan serta kekuatan untuk tetap
mempertahankan lahan persawahan yang dimiliki.
Menurut kepercayaan warga, makam R. Soedjono adalah kunci penjaga keseimbangan bukit
Penawangan. Bahkan, menurut cerita warga yang diperoleh secara turun-temurun keberadaan
R. Soedjono-lah yang sampai saat ini menjaga kemakmuran dan kesejahteraan daerah
Penawangan.
“Sini ini pakunya bukit Penawangan, kalo orang punya niat jelek di Penawangan pasti gagal,
mbak” tutur Ikhsan, salah satu jamaah mujahadah
R. Soedjono dikenal sebagai raja keturunan Kerajaan Demak, ia hadir di Penawangan untuk
memantau Kerajaan Demak Bintoro dari sisi selatan. Kehadiran R. Soedjono pada masa lampau
inilah yang menghadirkan cikal bakal Desa Penawangan. Banyaknya sumber mata air di wilayah
ini juga dinilai bagian dari karomah yang dimiliki oleh R. Sodejono.
Kepercayaan masyarakat lokal inilah yang turut menjadi spirit perjuangan menjaga
keseimbangan alam. Warga menjadi takut untuk merusak alam karena memiliki kepercayaan
bahwa perusakan akan membuat sang bahurekso (penguasa, penunggu) Desa Penawangan.
“Orang dulu itu pernah, ada rencana penambangan emas disini, alat bor-nya itu macet. Juga
baru-baru ini, sopir bego yang buat jalan dari Bendungan ke sini itu lihat burung merak besar
banget, padahal nggak ada disini merak. Eh sekarang tau-tau sakit dirawat dirumah sakit. Sakral
memang tanah sini itu” jelas Ikhsan.
Selain keberadaan makam, juga terdapat sembilan pohon kunci yang menjadi penjaga mata air.
9 pohon kunci itu adalah Pohon Drisem, konon pohon ini tidak dapat ditanam di daerah lain selain
komplek pemakaman Raden Soedjono. Pun jumlahnya, ia tidak bisa lebih dari sembilan, jika ada
yang tumbuh maka akan mati sebelum jumlah pohon yang berdiri tumbang. Pohon-pohon inilah
yang tidak pernah diusik oleh warga.
Terlepas dari perdebatan soal kebenaran cerita-cerita tersebut, kearifan lokal masyarakat seperti
ini perlu untuk dilestarikan dan menjadi satu terobosan baru dalam kerja-kerja menjaga
lingkungan dan melawan perusakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *