Cerpen #423 Bu Guru Jelita dan Tokoh Imajiner Lainnya

Jangan mengawali sesuatu jika kau tidak mampu mengakhirinya dengan baik. Jangan bermain-main dengan sesuatu yang kau sendiri tidak tahu persis untuk apa. Tetapi Bu Guru Jelita dan kawan-kawannya tak memahami hal macam itu bahkan hingga kisah ini berakhir.

Kami sudah berada di sini menempati pohon-pohon tinggi, menempati belukar, jauh sebelum orang mengira bahwa tempat ini akan menjadi sebuah gedung sekolah. Menjadi tempat yang akan dikunjungi banyak orang sebab kemudian menjadi sekolah yang direkomendasikan. Kami tak pernah menyambut gembira gagasan apapun yang pada ujungnya mengurangi pepohonan di hutan ini dan menjadikannya gersang. Namun ya sudahlah, jika manusia memang menghendaki itu, kami bisa apa.

Cerita ini tak mungkin kukisahkan padamu jika pada tengah hari yang terik, Pak Pos itu tak mengirimkan surat yang kemudian menggegerkan seluruh warga sekolah Lentera Bumi—nama sekolah dalam kisah ini. Menggegerkan tentu berarti luas. Ada yang mengepalkan tangan sambil berkata ‘Yes!’, ada yang melengkungkan kedua ujung bibir ke bawah sambil mendesah ‘Yah.…’, ada pula yang tak berkomentar apapun –sebab memang tak memahami duduk persoalannya- namun turut menyambut gembira saja atas apa yang datang pada sekolah mereka hari itu. Pak Pos sendiri hanya berperan sebagai pengirim, selebihnya ia tak punya andil apa-apa. Selanjutnya, tokoh-tokoh di sekolah itulah yang akan membawamu ke dalam sebuah cerita yang akan kukisahkan ini: ada Bu Guru Jelita dan beberapa tokoh lain yang mempunyai peran sama penting atau muncul sekejap hanya sebagai figuran.

***

“Bagaimana, Bu? Kita mau membuat apa?”

Bu Jelita yang saat itu menjadi pimpinan sekolah, sedang duduk di kursi gagahnya yang dapat berputar-putar, sembari menerawang ke luar jendela. Perempuan tengah baya itu belum lama menjadi pimpinan. Ia dapat menempati jabatan itu sebab ketelatenannya mendampingi murid-murid dalam berbagai persoalan.

Menjadi sekolah Adiwiyata tentu bukan gagasan buruk, malahan bagus dan bisa meningkatkan nilai jual sekolah. Adiwiyata berarti sekolah panutan dalam kebersihan, kesehatan, penghijauan, pengolahan sampah, hemat energi listrik, pandai dalam mengelola sumber air,  dan sebagainya yang mempunyai pengaruh baik bagi lingkungan. Tetapi, dipilih sebagai salah satu sekolah yang harus berkompetisi untuk mendapatkan predikat itu dalam waktu semendadak ini, cukup membuat Bu Jelita bimbang bukan main.

“Bagaimana jika kita mundur saja?”

Pak Harun, seseorang yang sedang berada di hadapan Bu Jelita, mendelik sekejap. Mundur? Pastilah dia kaget. Toh tak semua sekolah mendapat kesempaatan segemilang ini, masak sekolah Lentera Bumi mau mundur?

“Kita belum punya cukup amunisi untuk maju, Pak.”

“Tetapi kita bisa bekerja sama menyiapkan amunisi itu, Bu.”

Berawal dari percakapan singkat itu, Pak Harun mengajak semua guru untuk memberikan kepercayaan diri pada Bu Jelita untuk mengiyakan apa yang diminta dinas pendidikan pada mereka. Jadilah dalam waktu kurang dari sebulan, mereka mesti menyiapkan banyak hal demi berperang untuk memenangkan predikat Adiwiyata.

“Jika sudah memutuskan untuk maju, kita tak boleh ala kadar ya, harus menang, harus.”

Bagaimanapun, modal yang digunakan untuk mengikuti kompetisi tentulah tidak sedikit. Maka dari itu, jika tidak menang ya pastilah mereka merugi.

Hari-hari berjalan dan semua guru menepati janji mereka kepada Bu Jelita: mengupayakan sebaik mungkin untuk menjadi jawara.

Adalah Pak Hamid, yang betugas memperbaiki infrastruktur sekolah. Memberbaiki eternit yang rusak, mengecat ulang dinding yang sudah bopeng, membangun kolam ikan, membuat aviary, yang rasa-rasanya tak mungkin dilakukan secepat ini jika bukan karena sesuatu yang begitu mendesak. Bahkan, Ruang Kelas, Laboratorium IPA, Perpustakaan, Ruang Guru, Kantin, Taman, Ruang OSIS, hingga Ruang musik dibuatkan wastafel supaya memudahkan murid-murid mencuci tangan. Tak lupa Pak Hamid juga memberikan penyuluhan kepada murid-murid untuk mencuci tangan sesering mungkin, terutama setelah beraktivitas dan menjelang makan. Meski aktivitas cuci tangan dimulai baru-baru ini, dia menegaskan ke murid-murid, supaya nanti ketika para penilai menanyakan sejak kapan mereka terbiasa mencuci tangan, mereka mesti menjawab dengan seragam: sejak dulu, bahkan sebelum mereka bersekolah di sini agaknya kebiasaan mencuci tangan di wastafel ruang maisng-masing sudah ada.

Disusul Bu Akila yang dalam waktu beberapa minggu harus bisa menyediakan bank sampah dan menemukan cara jitu mengelola sampah . Tiap jumat, Bu Aqila dibantu murid-murid OSIS berkeliling kelas untuk mengumpulkan sampah plastik. Dari hasil yang didapatkan, sampah yang berupa botol plastik dipisahkan, dibersihkan dan nantinya akan digunakan untuk menanam dengan sistem ecobric. Sampah sisanya masuk tempat pembuangan. Tiap tiga hari sekali sampah tersebut dibakar. Dan karena tempat pembuangan terletak dalam lingkungan sekolah, maka asap pembakaran seringkali membuat warga sekolah batuk-batuk bahkan mata menjadi pedas. Fakta yang luput dari perhatian Bu Akila dalam pengumpulan sampah adalah, bukan sampah palstik yang dibawa murid-murid, melainkan plastik kemasan baru yang mereka beli khusus untuk dikumpulkan pada hari itu. Salah seorang wali murid sampai berkomentar, “Untuk apa daur ulang plastik, jika yang terjadi justru pemborosan plastik.”

Pak Edgar diharuskan menghapus kebiasaan buruk dan menciptakan kebiasaan baik dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Dia membuat peraturan-peraturan yang agak menyusahkan terutama untuk ibu kantin. Sedotan plastik ditiadakan, makanan instan tak boleh dijual, semua makanan mesti ada penutupnya, dan seabreg peraturan lain yang membuat ibu kantin uring-uringan. Begitupun kebiasaan di kelas, murid-murid dianjurkan membawa bekal dan bukan jajan di kantin, bekal diharapkan memenuhi kebutuhan gizi, dilarang makan makanan cepat saji, dan sebagainya, dan sebagainya. Hal macam ini membuat murid, sampai orang tua murid menggerutu.

Pak Doli dan Bu Keken bertanggungjawab ihwal tanam-menanam. Kali ini mereka akan membuat aquaponik, ecobric, dan vertical garden. Banyak sekali tanaman yang dibeli, banyak sekali pralon yang dilubangi untuk menanam, dan begitu banyak botol plastik yang dicat, dipotong, dibor, demi menjadi pot yang cantik dan katanya ramah lingkungan.

“Pak, botol plastiknya kurang.”

“Beli lagi, Bu. Sebanyak-banyaknya.”

“Kita sudah memborong semua botol di agen penjual botol bekas, Pak, tetapi masih kurang juga.”

Bagaimana tidak kurang jika seluruh dinding sekolah yang berlantai dua dan setiap sudutnya mesti dijejali dengan pot botol plastik? Semua hal dilakukan demi memperindah sekolah, demi memenangkan sekolah Adiwiyata.

Bu Jelita berkeliling sekolah dan mesam-mesem melihat perubahan sekolahnya. Jika bukan karena kompetisi ini, mana mau pemilik sekolah rela menggelontorkan dana demi renovasi besar-besaran macam ini.

Aku sendiri baru tahu ada instalasi sampah macam itu, eits, maaf sebab kulihat tempat itu jadi semacam tumpukan barang bekas.

***

Kabar kemenangan sekolah Lentera Bumi menyebar begitu cepat. Semua orang membicarakan. Di media sosial, di status whats up, di cuitan twitter, di tik tok, di perkumpulan PKK, di grup sosialita banyak yang mengelu-elukan.

“Keren ya, sekolah pinggiran bisa menang.”

“Jangan-jangan ada orang dalam?”

“Hush, aku pernah lihat memang bagus kok tempatnya.”

“Jadi penasaran pengin ke sana….”

Bukan cuma wartawan yang hilir mudik bertamu ke Sekolah Lentera Bumi. Masyarakat sekitar pun berdatangan, sekadar untuk melihat-lihat, berfoto, disebarkan ke media soial, berfoto lagi, disebarkan lagi. Orang-orang di banyak penjuru semakin akrab dengan nama itu. Sekolah itu jadi macam wisata lokal yang dapat dikunjungi secara gratis.

Kabar menggembirakan itu rupanya sampai pula di telinga para pengusaha dan lembaga pemasyarakatn. Tawaran kerja sama pun berdatangan.

Kerja sama pertama datang dari komunitas pengrajin sampah daur ulang plastik. Mereka berjanji akan mengajari murid-murdi keterampilan menyulap sampah plastik menjadi benda-benda bernilai jual, misalnya saja tas, vas bunga, hiasan dinding,  tudung saji, sandal, sepatu, payung, pigura, dompet, topi, tatakan piring, gorden, keset sampai kemeja.

Bapak Ibu Guru dan murid-murid kembali disibukkan mengumpulkan kemasan-kemasan plastik bekas, seperti bungkus Indomie, Soklin, Chitato, Marimas, Pampers, dan sebagainya. Dan karena mengumpulkan banyak benda macam itu butuh kesabaran dan waktu yang lama, maka para guru dan murid mengambil jalan pintas dengan membeli produk tersebut dalam jumlah besar. Mereka membawa benda-benda itu ke sekolah lengkap dengan isinya.

Pembuatan prakarya menggunakan sampah plastik berhasil. Karya siswa dipamerkan di semua media sosial yang dimiliki sekolah. Sekolah lentera bumi semakin terkenal. Semakin dielu-elukan masyarakat sebagai sekolah yang peduli pada lingkungan.

Tawaran kerja sama terus berdatangan, namun Bu Jelita tak serampangan dengan mengiyakan semuanya. Ada satu lagi perusahaan yang akan datang ke sekolah untuk memberikan penyuluhan dan kerja sama mengenai bahaya sampah plastik dan cara menanggulanginya.

Yang datang kali ini adalah perusahaan ternama yang menghasilkan produk berbahan plastik premium dan ramah lingkungan. Dan untuk mengolah plastik menjadi bahan yang ramah lingkunan konon membutuhkan teknologi khusus, maka harga yang ditawarkan produk tersebut agak kurang masuk di akal. Mana ada botol minum ukuran kurang dari satu liter harganya sampai dua ratus ribu. Tempat makan yang ukurannya tak lebih besar dari ukuran buku tulis, harganya bisa mencapai tiga sampai empat ratus ribu. Dengan iming-iming bahwa perusahaan akan memberikan harga khusus untuk warga sekolah Lentera Bumi itulah yang membuat Bu Jelita menyilakan mereka datang.

Murid-murid ketakutan ketika pihak perusahaan menjelaskan betapa bahayanya sampah plastik bagi kehidupan. Dikisahkan perjalanan plastik mulai dari digunakan, masuk bak sampah, hingga berakhir ke tempat pembuangan. Jika beruntung, sampah plastik itu akan di daur ulang, jika tidak, maka ia akan menghabiskan sisa umurnya di tanah atau lari ke laut. Keberadaan mereka di tanah maupun di laut itu akan berubah menjadi microplastik dan nanoplastik, yakni plastik dengan ukuran sangat kecil, yang memungkinkan dimakan oleh hewan-hewan, ikan terutama. Dan sesudahnya, ikan itu akan dikonsumsi manusia, yang artinya microplastik itu akan berakhir di perut manusia juga.

“Jadi, kami harus bagaimana supaya terhindar dari bahaya plastik itu?”

“Ya mengurangi plastik.”

“Mana bisa, kami mau membungkus makanan pakai apa? Mau membawa bekal pakai apa?”

Umpan melesat tepat sasaran. Memang pertanyaan seperti itulah yang diharapkan.  Pihak perusahaan menawarkan produk mereka kepada murid-murid dan Bapak Ibu Guru dengan potongan harga besar-besaran.  Dan pastilah, promosi mereka berhasil. Produk mereka laku keras.

***

Kami bisa melihat keberadaan sekolah itu dari dekat maupun dari kejauhan. Saat ini maupun pada masa yang akan datang. Meski jika diharuskan memilih, kami tak ingin mengambil salah satunya.

Kisah kejayaan sekolah Lentera Bumi tak hanya beredar dari mulut ke telinga, bahkan mereka mampu melampaui masa ke masa dan sesekali masih dikenang oleh sebagian orang. Tetapi tak seorang pun mampu menerka akhir kisah mereka. Tak ada yang berumur panjang selain bualan, dan itulah yang terjadi.

Ketika semua orang memuji kehebatan Sekolah Lentera Bumi, di dalamnya Bu Jelita seorang diri berjalan lunglai setiap sore memunguti botol minuman, tempat bekal makanan, sedotan stainless dengan merk ternama, berserak di dalam kelas. Setiap hari. Sampai berkarung-karung dan tak seorang murid pun mengakui siapa pemilik benda tersebut.

Bu Jelita pulalah yang menyaksikan bagaimana botol-botol plastik yang tadinya menggantung cantik sempurna, lambat laun menjadi reot dan berserakan. Tanaman di dalamnya menua dan kemudian mati. Semua benda yang tadinya jadi pembicaraan itu kembali ke muasalnya, dari sampah kembali ke sampah. Bedanya, mereka dulu dicari dan dielu-elukan, dan yang terjadi kini, adalah sebuah kebalikan.

Untungnya hanya sebatas itu yang dapat Bu Jelita saksikan. Jika ia berada pada posisi kami, bisa jadi ia akan mengajukan permintaan untuk tak punya andil apapun di sekolah itu, tak mau ambil bagian apapun dalam cerita ini.

“Lalu bagaimana akhir ceritanya?”

Kami tahu kau penasaran. Tetapi kami juga tahu kau adalah pendengar yang cerdas, yang mampu menerka sebuah alur, yang mampu memasangkan sebab-akibat tanpa meleset.

Bagaimana? Kau sudah bisa membayangkan pungkasannya, kan?

Semarang, November 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *