Cerpen #355; “Perimba Terakhir”

Siang ini terik matahari menyengat dengan kekuatan berkali-kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya, tentu saja yang aku maksud adalah saat aku masih kanak-kanak, sebelum seluruh rimba dikampungku disulap menjadi hamparan kebun-kebun sawit oleh orang-orang yang tidak kutahu dari mana asalnya. Waktu itu, mereka datang ke kampungku dengan membawa alat-alat aneh, setidaknya begitulah menurutku, sebab ketika itu kata canggih belum masuk dalam perbendaharaan kata-kataku. Aku bahkan juga sempat berpikir kalau mereka bukanlah makhluk Bumi. Seperti dalam film-film yang biasa aku tonton setiap pagi Minggu di balai kampung, dalam film itu diceritakan bagaimana mula-mula kedatangan makhluk dari planet lain ke Bumi dengan membawa serta alat-alat mereka yang sangat canggih—hasil dari peradaban di tempat asal mereka. Mereka mungkin datang dari planet Mars atau Uranus atau bahkan Merkurius, aku sama sekali lupa soal itu, dan dalam hal ini ingatanku memang sedikit agak payah, atau bisa jadi film itu memang tidak menceritakan sama sekali tentang asal mereka, atau bisa jadi ternyata mereka rupa-rupanya juga makhluk Bumi. Tapi, di luar itu, satu-satunya hal yang pasti kuingat adalah mereka datang untuk menguasai Bumi, lalu pelan-pelan menghancurkannya.

Seperti film yang dulu aku tonton, orang-orang pekerja perkebunan itu juga datang ke kampungku dengan membawa serta mesin-mesin mereka yang begitu canggih dan gagah, mesin-mesin yang dengan mudahnya merobohkan pohon seukuran drum minyak tanah hanya dalam hitungan menit. Selain itu, mereka juga membawa mesin-mesin besar beroda besi, mirip seperti mobil, bertangan satu yang, tapi lebih mirip belalai daripada tangan, dan bergigi sangat lebar. Mesin yang satu ini menurut penjelasan Abangku berfungsi untuk mengumpulkan dan menumpuk bangkai-bangkai pohon yang telah tumbang di sebuah tempat berupa lekukan yang agak curam; untuk kemudian dibakar di sana. Dan saat dibakar nanti, kepulan asap yang dihasilkannya akan terlihat begitu indah dari jauh, hitam pekat, tebal dan berpintal-pintal, serupa kelambu hitam yang diterbangkan ke langit untuk menjala awan atau matahari, dan aku sangat menyukainya. Setiap kali mereka melakukan pembakaran, aku selalu memperhatikannya dari tempat Ayahku bekerja—yang kebetulan berada tak jauh dari situ, di sebuah bukit paling tinggi di kampungku, menara gading alami bernama Bukit Godang. Dari sana aku terkagum-kagum dalam hati, hanya dalam hitungan bulan, tegakan-tegakan pohon yang dulu kami yakini sebagai tempat orang bunian tinggal itu kini hanya tinggal arang. Sungguh menakjubkan. Tangkas sekali.

Aku masih sangat ingat, di kampungku dulu anak-anak sungai begitu banyak meliuk-liuk mengikuti lekuk bukit, dan kini, sejak kedatangan mereka, anak-anak sungai itu hilang satu-persatu, dan aku tak akan bilang anak-anak sungai itu pergi menyuruk karena malu-malu, sebab kini mereka benar-benar telah hilang, kering kerontang. Sedang induknya kini kian hari kian kurus dan mengering, seolah tercekik oleh barisan pohon-pohon sawit itu, meski sebenarnya aku pun juga tak tahu bagaimana cara menggambarkannya, pokoknya sungai itu terlihat seperti sudah sekarat sekali. Orang-orang di kampungku menamai induk sungai tersebut dengan nama Sungai Mimpi. Konon, nama itu diberikan oleh seorang Datuk yang pertama kali meneroka kampung kami, saat beliau tertidur dalam perjalanannya mencari daerah baru untuk dijadikan pemukiman. Dalam tidurnya tersebut ia bermimpi melihat sebuah lahan di tepi sebuah sungai yang bagus untuk dijadikan Teratak. Dan di sepanjang aliran sungai ini juga lah menurut kabar yang kudengar nenek-moyang kampungku mula-mula menetap dan bertani, lalu kawin lalu beranak, dan anaknya kemudian kawin lagi lalu beranak lagi, begitu seterusnya dan seterusnya sampai akhirnya generasiku lahir dari ulah perkawinan yang tak berkesudahan itu.

Dan menurut cerita orang-orang kampungku dulu, jauh sebelum jalan raya ada, sungai itu adalah lalu lintas tanpa polisi dan razia, ia menjadi kunci dari segala gerak kehidupan di kampungku. Sampai-sampai pemukiman pun dibuat mengikuti pola sungai tersebut; berjejer mengikuti badan sungai. Tak hanya rumah, pasar dan masjid satu-satunya dikampung kami  juga dibangun di tepi sungai ini. Menurut ayahku yang katanya juga menurut ayahnya, usia masjid itu mungkin sudah ratusan tahun, lama sekali. Tapi sekarang masjid itu tengah dalam pemugaran, mungkin karena usianya yang sudah terlalu tua, jadi tiang-tiangnya yang meski dari kayu Trembesi itu kini disinyalir sudah tak kuat lagi menopang atapnya. Dan pemugaran masjid itu dari kabar yang kudengar didanai oleh maskapai sawit yang sekarang beroperasi di kampung kami, begitu baik sekali, sungguh. Dan inilah untuk pertama kalinya peluh orang-orang kampungku tidak bercucuran saat berurusan dengan pembangunan masjid—tidak lagi bergotong royong.  Dan mereka sangat senang sekali untuk itu.

Sejak kebun-kebun sawit milik maskapai itu ada, detak nadi perekonomian di kampungku menjadi kian cepat, semakin meriah, semakin riuh, dan semuanya seolah berkompetisi, saling berpacu, rumah tangga dengan rumah tetangga, sepeda motor dengan sepeda motor, televisi dengan televisi, warga dengan warga, pemangku adat dengan pemangku adat, tukang tebas dengan tukang tebas. Semuanya berpacu, semuanya bersaing, terkecuali seorang Perimba yang sekarang hidup menyendiri ke pondok ladangnya sejak ia ditinggal istrinya beberapa tahun silam, namanya Basar. Setahuku, Basar mungkin adalah satu-satunya orang yang menentang maskapai itu untuk mengolah rimba yang ada di kampungku. Ia sangat marah dengan adanya maskapai itu; yang juga berarti juga seluruh rimba sebagai tempat ia menggantungkan hidupnya itu akan segera berganti dengan hamparan luas batang-batang Sawit. Marahnya pun tak tanggung-tanggung, ia pernah mengejar para pekerja yang bertugas menumbangkan pohon itu dengan sebilah parang tajam yang mengilat, dan aksinya tersebut hanya berhenti setelah kakak perempuan semata wayangnya datang melerai. Lalu setelah kejadian itu, ia kemudian sering mengoceh dan memaki-maki pada dirinya sendiri, lalu, selanjutnya ia pun mulai dianggap telah gila oleh hampir orang sekampung, tapi tetap saja, waktu itu Basar sama sekali tidak peduli dan tak kehilangan nyali untuk terus bersitahan pada sikap kerasnya, jauh sangat berbeda dengan Basar yang sekarang, kini Basar kian hari kian menutup diri dan mulai seperti orang linglung, ia tak lagi suka mengoceh dan memaki-maki.

Basar yang dahulu memanglah tidak mudah dibujuk, sangat keras kepala, meski telah banyak yang mencoba untuk meyakinkannya bahwa menjadi buruh di maskapai sawit itu jauh lebih mudah dan ringan daripada kerja mencari jernang apalagi dibandingkan dengan memanjat madu Sialang, yang salah-salah sedikit saja, gumpalan lemak dalam kepalanya bisa saja berhamburan keluar, lalu dimakan rayap, atau dipungut babi hutan. Bertubi-tubi telah ia terima nasehat-nasehat seperti itu. Tapi tetap saja ia bersikukuh dengan pendiriannya, meskipun ia tahu bahwa sekarang sudah tidak mungkin lagi untuknya mencari jernang ataupun memanen madu Sialang, ia juga sangat mengerti bahwa sekarang sudah tidak ada lagi kebanggaan baginya sebagai seorang Perimba, sebagai orang yang menyangkut-pautkan rimba pada jejak-jejak kaki moyangnya, pada telapak tangan pendahulunya, juga pada batinnya sendiri. Sebenarnya jauh dalam hati ia juga sudah sangat tahu bahwa zaman telah berganti, dan juga sangat mengerti jika beliung persegi kini sudah berganti mesin bergerigi.

Tapi keluarga Basar telah turun-temurun hidup sebagai pencari jernang, sedang dalam bulan-bulan tertentu mereka akan menjadi seorang pemanjat pohon Sialang yang tingginya hampir seratus meter;sebuah pohon dengan berpuluh-puluh sarang lebah siap panen di masing-masing dahannya. Dan biasanya, sebelum memanjat pohon Sialang Basar terlebih dahulu akan mengurung dirinya dalam kamar semalam suntuk, dan konon itu adalah semacam ritual permohonan izin untuk mengambil sarang lebah, sekaligus meminta keselamatan kepada penunggu pohon Sialang tersebut agar besok saat memanjat ia terhindar dari bala, lalu paginya Basar akan membuat asap di bawah pohon dan kemudian Basar akan  merapal mantra sesaat sebelum lantak pertama ditancapkan. Saat memasang lantak, mereka mengharamkan diri untuk memukulnya lebih dari satu kali. Begitulah keyakinan mereka. Ritual seperti itu telah diwariskan secara turun temurun oleh keluarga Basar dari ayah kakeknya ke kakeknya, dari kakeknya ke ayahnya, dan sekarang Basarlah mewarisinya.

Saat memanen sarang lebah, pantang bagi perimba seperti Basar untuk mengambil semuanya, selalu dengan sengaja ia meninggalkan beberapa, dan jika ada yang menanyakan keganjilan itu, katanya hal itu sengaja disisakan untuk orang bunian yang tinggal di hutan. Seperti yang selalu dipesankan ayahnya, bahwa orang bunian adalah saudara yang selalu hidup berdampingan dengan kita, manusia. Dan kita harus saling berbagi. Orang-orang bunian itu, kata ayah Basar hidup dan beranak pinak dalam rimba yang ada di kampungku, di atas bukit-bukit, di lembah-lembah, juga di hulu sungai.

***

Dari cerita orang kampung yang kudengar, sejak ditinggal istrinya kini Basar hidup menyendiri di sebuah pondok tepi ladangnya, ia sekarang menutup diri dari orang-orang, seakan-akan menolak setiap keberadaan, dan kata orang lagi, bisa jadi Basar juga menolak keberadaan dirinya sendiri. Berhari-hari kadang ia hanya terlihat duduk bermenung di atas pelantaran pondoknya, dari pagi sampai petang, kecuali mungkin saat makan—meski belum pernah ada sekali pun orang melihatnya duduk di sana sambil memegang pinggan. Setiap hari, belum pernah sebiji jagung pun aku mendengar kabar bahwa Basar beranjak dari pondok reotnya tersebut. Padahal seingatku, dulu Basar adalah orang yang paling besar suaranya jika mengobrol di warung-warung kopi, pemain domino paling disegani, dan juga tersohor sebagai peserta tetap panjat pinang Agustusan yang paling teladan, jauh berbeda dengan Basar yang sekarang, ia seperti orang kehilangan akal, linglung, dan pandangan matanya selalu kosong seolah sedang melanglang ke dimensi lain.

Mak Iyuih, kakak perempuan satu-satunya Basar sangat gusar melihat kondisi Basar berubah menjadi seperti sekarang, kerjanya hanya bermenung, makan, bermenung, tidur, bangun, bermenung, minum kopi, lalu bermenung lagi dan sesekali buang air sambil bermenung, pokoknya tidak ada kegiatan bagi Basar yang tidak diiringi dengan bermenung. Setiap kali Mak Iyuih datang ke pondok Basar, Mak Iyuih selalu saja melihat Basar bermenung, menghadap bukit kecil yang telah sulah sebelah barat pondoknya. Dalam hati Mak Iyuih tentu saja menghasilkan perasaan-perasaan ganjil melihat adik kandungnya seperti itu, tapi apa mau dikata, Basar adalah orang yang keras hati, Mak Iyuih pun telah menyarankan Basar agar tinggal di rumahnya saja, dan Mak Iyuih juga sebisa mungkin meyakinkan Basar bahwa di rumahnya yang tiga kali enam itu masih ada satu kamar yang masih kosong, tapi tetap saja, untuk beberapa hal, Basar ternyata memang sama sekali tidak bisa diajak kompromi.

Setiap sekali dua hari Mak Iyuih pasti datang ke pondok Basar untuk mengantarkan beras dan kadang-kadang nasi dan sambal, supaya Basar tetap bisa makan dan terus hidup. Sesekali Mak Iyuih akan memintaku mengantarnya ke sana. Seperti hari ini, Mak Iyuih memintaku untuk mengantarkannya ke tempat Basar, walaupun sebenarnya aku sangat malas mengantarkannya, bersebab hari ini cuaca terasa sangat panas, dan terik matahari serasa memanggang kulit, tapi untuk menolak aku juga tak tega pada Mak Iyuih, dan akhirnya aku pun terpaksa memilih untuk menyanggupinya.

Setelah sampai di pondok Basar, aku dan Mak Iyuih turun dan segera mendekati Basar yang sedang duduk bermenung di atas pelantaran di depan pondoknya, di bawah pelantaran itu kulihat ada sebilah pisau yang tergeletak di dekat ember yang berisi batu asahan, mungkin Basar baru saja mengasah pisau dapurnya tersebut. Aku berdiri saja tak jauh Basar, sedang Mak Iyuih lalu memilih duduk di samping adiknya tersebut, beras yang ia bawa diletakkan di pangkuannya. Basar hanya melirik sebentar pada Mak Iyuih, kemudian pandangannya kembali pada posisi semula, ke bukit sulah sebelah barat.

“Masih ada beras yang kemarin Basar?”

Kulihat, Basar hanya diam, jelas sekali ia sangat jengkel dengan pertanyaan Mak Iyuih,

“Basar, kau dengar tidak Unimu ini bicara apa?” Tanya Mak Iyuih lagi dengan lembut.

“Iya, saya dengar, pokoknya mulai hari ini, tidak usah Uni kesini lagi. Sudah … Pulanglah … memekak saja.” ucap Basar setengah menghardik Mak Iyuih, mukanya merah padam. Aku sedikit terkejut mendengar bentakannya.

Lalu, kulihat Mak Iyuih segera berdiri dari tempat duduknya, mungkin Ia maklum bagaimana kondisi adiknya tersebut, kemudian ia meletakkan beras dibalik pintu pondok.

“Baiklah, uni pulang dulu, beras uni letakkan dibalik pintu.” Mak Iyuih kemudian memberikan isyarat untuk beranjak pulang.

Dalam perjalanan pulang, Mak Iyuih sempat bercerita kepadaku, ia menjelaskan beberapa hal tentang Basar.

“Sekarang istrinya itu telah menikah lagi dengan seorang mandor di maskapai perkebunan sawit dan tinggal di bedeng di balik bukit gundul yang tampak dari pondok Basar tadi, kau lihat, bagaimana ia menatap bukit itu kan?” tanya Mak Iyuih meyakinkan.

“Tak bisa kubayangkan kesedihan Adikku itu, bayangkan saja, sejak Mandor keparat itu datang ke sini … itu yang sering main ke rumah Datuk itu, kau tahu kan siapa maksudku?” tanya Mak Iyuih lagi.

Aku hanya mengangguk, samar-samar kabar itu pun pernah kudengar sebelumnya. Di kampungku kabar-kabar semacam itu sangat lah mudah tersebar, tak peduli di kalangan bapak-bapak maupun ibu-ibu. Dalam hal ini keduanya sama sekali tak ada bedanya. Dan menurut kabar yang beredar itu kudengar istri Basar memilih bermain serong tak lain adalah akibat keadaan Basar sendiri, sebab kata mereka, Basar telah kehilangan daya tempurnya, rudalnya sudah basi dan bisa lagi menyala apalagi meledak. Aku ingat betul saat orang-orang membicarakan hal itu sambil tertawa terbahak-bahak di kedai kopi dekat rumahku.

“Nah, itulah dia pangkal balanya,” sela Mak Iyuih seakan mengerti apa yang aku pikirkan. “Basar memergoki istrinya bermain serong di pondok tepi sawah punya Datuk yang tak jauh di belakang rumahnya itu,” jelas Mak Iyuih lagi, kemudian ia menarik nafas panjang, seperti ada hal penting lainnya yang menurutnya patut diinformasikan padaku yang padahal, setahuku aku kurang peduli dengan semua yang tengah ia ceritakan.

“Apa yang di ceritakan orang kampung tentang adikku itu memang benar adanya,” katanya, lalu Mak Iyuih hening sejenak, dan kemudian ia berkata lagi dengan nada yang sedikit ditekankan, “Tapi bukan itu inti masalahnya, sebab menurut cerita Basar kepadaku, istrinya berubah saat ia tak lagi punya pemasukan, dan bahkan kata Basar lagi, setiap hari pasar mereka berdua pasti selalu bertengkar,” terang Mak Iyuih padaku sedikit panjang dan melebar, sedang aku hanya angguk-angguk balam saja sebab jika nanti aku komentari sedikit saja, aku takut nanti Mak Iyuih semakin menjadi-jadi, lalu ceritanya berkembang selebar alam. Siapa tahu.

Mak Iyuih, seperti kebanyakan perempuan kampung lainnya memang sangat suka sekali bercerita, kadang-kadang, jika perasaan kita sedang kacau, maka mereka bisa terdengar seperti seorang perempuan tua cerewet pemilik kos-kosan di samping kampus yang sangat membosankan, yang tak peduli lawan bicaranya mau atau tidak untuk mendengarkan, ia akan tetap terus menyala-nyala, meski kadang urat-urat di perut kita terus meregang dan hampir putus. Tapi, setidaknya kali ini kecerewetan Mak Iyuih sedikit berguna bagiku, kecerewetannya setidaknya membuat perjalanan kami menjadi agak lebih cepat. Tak terasa betul.

Sesampainya di halaman rumah Mak Iyuih, langit  yang tadinya cerah, tanpa ada gabak sebelumnya, tiba-tiba saja, dari langit yang cerah itu lalu turun hujan dengan derasnya.

Hujan Panas, pasti ada orang yang mati berdarah” tebak Mak Iyuih sambil melindungi kepalanya dengan tangan agar tak diguyur hujan. Sementara aku segera memilin gas motorku agar lebih cepat sampai di rumah.

**

Menjelang isya, dentuman musik asli Indonesia yang disadur dari anak benua Asia menguar dari tiap-tiap warung tuak dan kedai kopi yang ada di kampung kami, alunannya berkelindan dengan maki gelak kekeh-tawa para pengunjung. Sejak kebun-kebun sawit milik maskapai itu ada, masyarakat di kampungku memang merasa sudah tak perlu lagi susah-susah pergi ke sawah atau berladang, mereka sedikit menjadi lebih hobi bersantai, sebab kata mereka, mencari uang dengan turun ke sawah itu susah, belum lagi menungguinya dari serangan hama babi di malam hari, belum lagi risiko gagal panen sebab wereng atau tikus, begitulah mereka beralasan, berbeda dengan ketika mereka bekerja untuk maskapai perkebunan sawit itu, tiap bulan mereka akan terima digaji, tiap bulan mereka dapat uang, asalkan mereka mau untuk menjadi penebas semak yang tumbuh di area perkebunan itu. Tentu saja ini sama sekali berbeda ketika mereka bekerja di sawah atau pun berladang, mereka tidak bisa menghasilkan uang setiap bulan, sedang kebutuhan setiap hari terus merangsek masuk  ke dalam rumah mereka, lalu ke dapur mereka, lalu ke dalam kamar mandi mereka, lalu ke ruang tamu mereka, ke balik pintu lemari mereka, dan bahkan sampai ke atas ranjang tempat tidur mereka. Memang menjadi-jadi.

Malam ini, aku memutuskan untuk tidak keluar rumah, dan hanya berdiam diri dalam kamar, tanpa ada sesuatu yang ingin aku kerjakan. Sementara, di luar hujan mulai turun dengan lamban, bunyinya yang nyaring saat jatuh menghantam atap serasa menjalari jauh ke dalam lubang telinga, lalu menyelusup jauh ke dalam ruang kepalaku. Iramanya yang khas membuatku timbul tenggelam dalam kenanganku sendiri, terbayang lagi olehku Basar, seorang lelaki Perimba yang patah hati sebab istrinya diambil orang. Tak hanya itu, kebanggaannya pun turut dirampas habis dari dadanya. Menurutmu apalagi yang bisa dibanggakan oleh seorang Perimba seperti Basar jika rimba tempat di mana ia menyabung keperkasaan itu kini sudah tidak ada lagi?

Basar memang telah dikebumikan senja tadi, mungkin, jalan buntu yang ia temukan dalam perjalanan hidupnya itu telah mengantarnya untuk memilih sendiri cara bagaimana ia mati; sebilah pisau ditemukan tertanam tepat di dada sebelah kirinya. Hari ini, seorang Perimba perkasa yang kukenal telah menyerah bulat-bulat pada kelamnya nasib dan kemudian memilih menyelamatkan diri dari amuk kehidupan ini dengan jalan paling asing. Hari ini, segala bebannya lepas atau terbawa, aku benar-benar tak tahu. Di luar, hujan masih turun dengan lebatnya, seperti perangai September yang sudah-sudah, udara terasa begitu dingin dan serasa menyembilu seluruh tulangku. Aku lalu menarik selimut dan kemudian memejamkan mataku. Bagiku kini, Basar mungkin hanyalah sejumput ingatan yang bisa jadi segera akan memudar dengan cepat seperti es batu di tengah teriknya matahari, meleleh dan kering tak butuh waktu lama. Tak tersisa sedikit pun. Dan satu hal lagi yang pasti, kukira Basar tak akan pernah sependapat dengan penyanyi berambut pirang yang meledakkan kepalanya itu, sebab, aku yakin, Basar tak akan pernah peduli meski ia meredup atau terbakar habis.

***

Dini harinya, kira-kira jam setengah empat, aku terjaga oleh dahsyatnya suara gemuruh yang tak kutahu dari mana ia bersumber. Dan tak lama setelah itu, dari luar lamat-lamat aku mendengar suara orang-orang yang menjerit minta tolong, sahut bersahut. Mendengar itu tiba-tiba saja pikiranku menjadi kacau dan tak keruan, sebab biasanya jika di kampungku terjadi apa-apa, atau katakanlah sesuatu yang gawat, maka pasti yang dibunyikan pertama kali itu adalah suara tabuh dengan tempo yang cepat, dan hanya akan berhenti apabila orang-orang sudah berkumpul di sana. Tapi sekarang rasanya kok ada yang berbeda, dan itu membuatku menjadi sedikit merinding tentang apa yang tengah terjadi di luar.

Seluruh kantuk yang tadi masih bersemayam dalam setiap inci kepalaku kemudian menguap entah ke mana. Aku segera berdiri dari tempat tidurku, menyambar baju pada gantungan, menyarungkannya, lalu segera berlari-lamban keluar. Di luar ternyata sudah banyak orang-orang kulihat berbondong-bondong menuju ke arah barat rumahku, yang berarti bisa jadi ke arah masjid, dan raut wajah mereka tampak tegang dan tergesa-gesa. Tanpa kendali sepenuhnya pada tubuhku, aku pun kemudian mengekor mereka dari belakang; meski sebenarnya masih bingung dengan apa yang terjadi. Dalam perjalanan, kudengar seseorang dari rombongan ini bertanya tentang apa yang sedang terjadi, tapi entah siapa dan pada siapa. Sebab hari masih kelimut dan suara orang itu pun masih terasa asing di telingaku, mungkin bersebab ia baru saja bangun tidur dengan terpaksa, atau bisa jadi sedang dalam gejala flu. Lalu pertanyaan itu, kudengar dijawab dengan sangat singkat oleh seorang lainnya, “Sungai Mimpi Galodo,” katanya, lalu setelah itu yang terdengar hanya bunyi gemuruh, lolongan orang minta tolong, dan derap langkah kaki sendiri.

Sesampainya di tempat yang di tuju, tak jauh dari masjid, hanya berjarak tiga puluh lima meter dari sudut paling tepi dindingnya, aku berdiri terperangah menyaksikan Sungai Mimpi itu mengamuk dan menghantam apapun yang dilaluinya, belum pernah sekalipun aku melihat sungai itu meluapkan airnya sebesar ini, apalagi di tambah dengan membawa pohon-pohon kayu dan sisa-sisa pembakaran dari dalam perkebunan itu ikut serta. Airnya berwarna coklat kehitaman, dan sangat deras. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi saat rumah dan masjid itu di gempur aliran sungai itu, kurasa demikian juga halnya dengan orang-orang. Kecuali beberapa orang dengan sisa tenaganya berusaha menenangkan beberapa teman atau keluarganya yang meraung-raung sambil meratap-ratap tentang nasib buruk yang sekarang menimpanya.

Dalam keadaan segenting itu, yang mengherankan, elit politik di kampungku yang baru saja turun dari mobil kreditnya itu masih bisa-bisanya menyempatkan dirinya untuk memberikan sebuah pidato, kelihatannya, pantang sekali mungkin baginya jika melihat massa berkumpul seperti itu untuk tidak diisi dengan berbagai pidato, kali ini, kudengar ia berpidato tentang tingginya curah hujan dengan merujuk berbagai data dari pusat meteorologi, dan ia berkesimpulan bahwa sekarang sungai itu memang sudah waktunya untuk dinormalisasi. Lalu, setelah itu, entah disengaja atau tidak, seorang pemuka agama tegak menggantikannya berbicara, dan dalam ceramahnya, para pemuka agama itu kudengar menyampaikan beberapa hal, pertama, bahwa yang sekarang ini terjadi adalah ujian bagian hambanya yang beriman, dan ia terus mengulang-ulangnya, dan yang kedua, ia berpesan berkali-kali agar kita harus bersabar dalam menerima setiap cobaan. Memang sedikit agak memuakkan, tapi ya, begitulah tabiat mereka, kalau merujuk kalimat yang dipakai salah seorang teman, mereka itu katanya haus akan panggung, dan keranjingan menasihati. Sementara, di tengah ceramah para pemuka agama itu tadi kudengar salah seorang pemuka adat berbicara hampir berbisik kepada salah seorang temannya, dan dia mengatakan bahwa semua ini terjadi pasti akibat ulah Basar siang tadi. Atau jika di simpulkan dari seluruh yang pemuka adat itu katakan pada temannya, maka kita akan menemukan satu titik terang dari semua yang terjadi saat ini, bahwa bala ini terjadi akibat Basar yang mati bunuh diri dan kemudian membuat alam murka, tak diterima tanah.

Sedang, di dalam kepalaku, bayangan akan Basar kembali muncul. Timbul tenggelam. Dan telingaku seakan-akan bisa mendengar semua yang dulu pernah ia katakan kepada para pemangku adat itu setelah ia mengacung-acungkan parangnya tepat di depan puncak hidung mereka dengan amarah memuncak. Bulu kudukku sampai merinding saat kembali mengingatnya. Dengan keyakinan yang bulat dan kuat Basar kemudian berkata kepada para pemangku adat itu, “Rimba di hulu sungai adalah tempat di mana orang-orang bunian tinggal, dan kalian jangan pernah sekali-kali mengizinkan maskapai itu untuk membabatnya, jika kalian tidak ingin di timpa bala yang tiada putus-putusnya,” ucapnya. Dan ngiang kata-kata itu masih terus menancap serupa pasak  dalam gendang telingaku.

*selesai*

2 thoughts on “Cerpen #355; “Perimba Terakhir”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *