Cerpen #258; “CATATAN PASIEN NOMOR 102”

ARSIP NON-MEDIS

RUMAH SAKIT JIWA DR. [redacted] [redacted]

Berikut adalah dokumen berupa enam lembar catatan tulisan tangan milik pasien nomor 102. Pasien bernama Muhamad [redacted] [redacted]. Pasien merupakan seorang bekas mahasiswa dari salah satu universitas di Semarang. Pasien mengidap skizofrenia dan narsisisme akut yang diduga berkaitan dengan aktivitasnya sebagai aktivis lingkungan. Enam lembar catatan ini ditemukan setelah pasien dipindahkamarkan ke kamar rawat intensif dengan dugaan telah mengkonsumsi bahan-bahan anorganik; bahan-bahan tersebut berupa wadah pena, sikat gigi, dan sisir.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — –

1.

Aku tidak sepenuhnya mengerti mengapa aku bisa menjadi salah satu pasien di tempat ini. Kampus memberlakukan tes kejiwaan kepada seluruh mahasiswa secara mendadak. Kami semua digiring ke tenda-tenda pemeriksaan tanpa kesempatan untuk menuntut penjelasan. Buatku, ini sedikit memalukan. Dan aku sempat berpikir untuk kabur. Namun Amir, seorang kawan perjuangan, memintaku untuk ikut saja meski aku telah katakan berulang-ulang bahwa semua ini mencurigakan. Hasil tes mengatakan aku mengalami depresi klinis dan harus dirawat inap. Hasil tes tidak mengatakan hal yang sama pada kawan-kawanku. Aku memprotes dan meminta pemeriksaan ulang. Setelah marah-marah yang hampir tidak berujung, psikolog yang menanganiku, sekaligus kami, menganggap protesku sebagai penghinaan terhadap integritasnya. Ia mengusirku.

Jadi, di sinilah aku.

Aku mengenal Bapak Abdul; ia selalu datang saat waktu salat tiba, setelah azan selesai bicara. Pada setiap kedatangannya ia selalu mengucapkan salam yang jarang sekali kubalas. Aku selalu sibuk dengan pikiranku sendiri; benakku selalu diliputi pertanyaan bagaimana jadinya jika tambang-tambang batubara selalu bertumbuhkembang, menetapkan usia emasnya untuk puluhan atau ratusan tahun lagi. Tetapi, Bapak Abdul selalu berkata bahwa Tuhan maha pengasih. Engkau tidak perlu khawatir pada dunia luar, ucapnya lembut. Namun, aku tetap saja khawatir. Bagaimana aku tidak khawatir? Seluruh kawan-kawanku kehilangan pemimpin gerakannya: aku. Aku membawa mereka ke depan pintu gerbang gedung tempat para pembual besar nongkrong. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan dari jurnalis-jurnalis kampus yang tidak mengerti kapan harus berhenti melamun. Akulah yang mampu untuk itu.

Aku selalu menanyakan keadaan dunia luar pada Bapak Abdul. Namun Bapak Abdul selalu menenangkanku. Ia menyuruhku untuk membuang pikiran-pikiran yang hanya akan memperparah kondisiku. Setiap malam, selepas azan terakhir dikumandangkan, ia datang dengan membawa obat-obat yang sampai sekarang belum kumengerti gunanya. Ia akan memintaku salat dengannya, lalu membuatku meminum obat-obat itu, dan aku akan mengantuk lalu tidur. Dalam tidurku itu, aku mulai bermimpi yang aneh-aneh. Suatu kali, aku bertanya pada Bapak Abdul obat macam apa yang ia berikan padaku. Ia menjawab obat itu adalah rahmat; penerimaan yang penuh sukacita akan menyembuhkanku. Mimpi-mimpi aneh itu seperti sebuah mekanisme penolakan yang tidak kumengerti. Di bawah kantuk yang mencengkeram tengkuk, aku memaksa diri untuk memulai catatan ini. Segera setelah aku keluar dari penjara yang dingin ini, seluruhnya akan jadi sesuatu yang menarik.

2.

Meski sudah lama kutinggalkan, tempat asalku selalu ada dalam ingatan. Rumahku tidak jauh dari tepi laut utara. Aku sering sekali bermain di sana bersama teman-temanku saat masih kekanak. Tepi laut kami berupa pantai berpasir putih dan air yang jernih; seratus meter dari bibir pantai dangkal. Menemukan batu laut dan pecahan terumbu karang tidaklah sulit. Saat remaja, hanya beberapa kilometer dari pantai kami, sebuah pembangkit listrik dibangun. Dan tidak butuh waktu lama untuk kami, yang tidak bekerja untuknya, menemukan potongan-potongan batu bara. Tidaklah sulit. Mimpi-mimpi aneh yang selalu berulang datang membangkitkan ingatan tentang itu. Dalam mimpi pertama, aku sedang duduk menghadap sebuah meja yang melingkari sebuah pohon besar. Segelas air disuguhkan padaku dan aku membayar sejumlah uang(?) padanya—orang yang memberiku segelas air. Spontan, aku bertanya aku membayar untuk apa. Air dan udaranya, sinting. Ia menjawab kasar; kerongkongannya terdengar macet. Aku menyadari bahwa aku berada di bawah kubah kaca transparan kusam— yang sejatinya, kuyakini, kubah kaca yang bersih. Di luar kubah hanya ada warna coklat kehitaman, dan di antaranya di bagian atas setitik sinar yang kuyakini berasal dari matahari. Tempat ini busuk dan pesing namun anehnya, aku tidak keberatan berada di sini. Selain orang kasar dengan kerongkongan macet itu, ada tiga orang di sisi kiriku yang sepertinya sedang menghirup sesuatu dari selang yang berasal dari rimbun dedaunan pohon. Aku bertanya pada orang kasar itu, candu macam apa yang orang-orang itu hirup. Ia malah mengatai tolol, dan bisa saja mengusirku di tengah badai awan karat di luar.  “Mereka barusan hampir mati, goblok!” Aku melongo. Ia menjelaskan dengan enggan dan setengah berteriak bahwa mereka sedang menghirup oksigen, membersihkan paru-parunya dari partikel badai awan karat. Aku ingin bertanya mengenai badai itu namun, sebab tersulut temperamennya, ia pergi begitu saja setelah selesai menjelaskan. Aku meminum airku, terasa hangat dan asam. Dan seketika kerongkonganku terasa gatal. Saat kutanya air macam apa yang ia jual, ia hanya menjawab ringkas: air.

Aku berhenti menulis untuk sesaat sebab aku merasa haus. Aku meminum air dari gelasku, terasa dingin, tawar, dan menyegarkan. Lalu aku menulis lagi.

Aku diam dan memilih untuk mengamati lebih seksama. Ketiga orang itu masih menghirup oksigennya. Aku tidak bisa melihat apa yang ada di balik pohon. Kerongkonganku masih gatal dan haus mulai datang lagi, namun aku tidak ingin merasakan air tidak enak itu. Suara seperti pintu digeret terdengar, dan aku berbalik. Seseorang muncul dari sana, lengkap dengan baju penyelam abad pertengahan dan tabung oksigen. Ia melepas helm. “Refil!” Orang kasar itu mengambil tabung, lalu menuju balik pohon, dan menghilang. Orang dengan baju penyelam itu telah melepas seluruh bajunya di dekat pintu. Kudapati noda debu yang lumayan di badannya tatkala ia duduk di sampingku. Aku ingin berbincang, namun urung sebab orang ini seperti tak ada bedanya dengan si orang kasar. Orang kasar kembali dengan tabung milik orang dengan baju penyelam, menaruhnya di dekat baju penyelam, lalu menyurungkan segelas air segera setelah orang dengan baju penyelam itu meloloskan beberapa koin logam dari kantung dadanya. Orang itu meneguk airnya lekas-lekas sehingga air meleler dari tepi mulutnya. Aku raba seluruh kantung yang ada di pakaianku, dan kutemukan dua koin logam yang tidak kukenali fitur apapun di permukaannya. Untuk itu, aku mendapat segelas air.

Gelas air kedua masih terasa sama seperti gelas air pertama. Aku berbalik, dan aku mendapati jalan masuk ke kubah ini memiliki dua pintu. Di antara dua pintu terdapat lorong, seperti sebuah lorong yang mempunyai sebuah fungsi. Lantai tempat ini berupa tanah, keras dan berbatu marmer dengan pahatan-pahatan buram huruf di permukannya. Aku berbalik lagi. Rupanya, pohon di hadapanku ini lumayan besar dengan julur-julur panjang seperti rambut kusut dan daun-daun yang terlihat rimbun. Aku menghirup udara dalam-dalam, lalu orang yang membawa baju penyelam berteriak. “Orang ini rakus. Bayar berapa koin, emangnya?” Orang kasar datang dan memintaku untuk membayar lebih. Namun aku tak memiliki koin lagi. Orang kasar itu bisa saja melemparku keluar kalau saja orang dengan baju penyelam, sebelum mengenakan perlengkapannya lagi dan keluar kubah, tidak meloloskan dua koin miliknya untukku. Tiba-tiba, aku merasakan desakan untuk kencing. Tempat ini tak punya toilet dan orang kasar itu bilang kalaupun ada memangnya aku bisa membayar; aku bisa kencing di mana saja. Ia sungguh serius soal itu; ia kencing membelakangiku dengan santainya. Salah seorang yang disebut hampir mati juga melakukannya dengan membelakangi dua rekannya. Aku pun melakukannya juga tanpa membelakangi siapapun. Ketika air selesai mancur dari ujung kontolku, aku merasa amat puas dan lega, sekaligus basah sebab aku terbangun dengan kasur yang tergenang air kencing. Aku mengumpat kontol keras-keras, mengutuk karena orang dewasa sepertiku masih saja bisa mengompol.

3.

Bapak Abdul tidak mentertawaiku soal mengompol atau mimpiku yang aneh. Ia hanya tersenyum, lalu menyiapkan obat sembari berbicara tentang kuasa Tuhan yang tiada batas. Dan dengan kuasa dan kehendak milik-Nya, katanya, Tuhan akan segera menggantikan waktu-waktuku yang terbuang di kamar ini dengan kedamaian. Aku memintanya untuk tidak membawakan obat itu lagi besok. Bapak Abdul bertanya mengenai tulisanku. Tapi aku tidak menunjukkannya sebab aku tidak ingin ia membacanya. Untungnya, ia tidak memaksa.

Selain menjadi aktivis, aku senang menulis. Itulah mengapa kedatangan kertas-kertas dan pena ini amat aku syukuri, sebab dengannya aku bisa terus menulis seperti Pramoedya. Novel karanganku telah banyak dibaca oleh kawan-kawan satu perjuanganku yang tidak menulis. Aku selalu berharap karya-karyaku itu akan menjadi penyulut pencerahan bagi mereka, dan catatan tentang mimpi-mimpi ini akan menyulut hal yang sama. Aku menulis catatan-catatan ini sebab kupikir ada yang harus dikatakan tentang diriku selama berada di sini. Terutama soal mimpi-mimpi ini, yang terus berulang-ulang dan membuatku mulai berpikir ini adalah suatu pesan yang diturunkan pada seseorang yang mencari wangsit di suatu gua, walau aku dipaksa untuk memasukinya. Keduanya—kertas dan pena— dibawa oleh kawanku Amir ketika mengunjungiku. Ia juga menceritakan tentang kondisi di luar, yang tentu berbeda dengan apa yang Bapak Abdul ceritakan. Amir mengatakan bahwa situasi masih sama buruknya, bahkan mungkin lebih buruk. Aku membalas, ini semua sebab tidak ada motor gerakan selepas aku dimasukkan ke penjara ini. “Sepatu dan kemejamu bersih. Ibumu berkunjung?” tanyaku. Amir hanya mengangguk-angguk. Lalu ia mengatakan sesuatu, yang pada intinya, ia dan kawan-kawannya tidak bisa berbuat apa-apa atas kemalanganku. Selain kertas-kertas dan pena, sebelum ia pergi, Amir menyerahkan beberapa lembar puisinya yang langsung kubuang sebab aku tahu ia selalu menulis puisi yang payah sebab tidak memiliki kritik dan ajakan melawan seperti yang kutulis dalam novelku. Bapak Abdul tahu bahwa aku mendapat kertas-kertas dan pena; ia ingin mengambilnya. Namun, ia berpikir ulang, bahwa alangkah baiknya aku menulis, menertibkan hal-hal yang berputaran di dalam kepalaku. “Menulislah selagi kau bisa,” ucapnya, tersenyum. Malam nanti, aku akan memohon supaya Bapak Abdul membolehkanku untuk tidak meminum dosis tambahan.

4.

Seprai kasurku berwarna kekuningan karena aku telah mengompol beberapa kali dalam beberapa malam. Aku sudah meminta ganti pada Bapak Abdul, namun katanya tidak ada seprai atau bantal atau kasur ganti sebab akhir-akhir ini banyak sekali pasien baru. Katanya lagi, aku harus amat bersyukur sebab beberapa pasien hanya tidur beralaskan lantai. Saat aku bertanya apa rumah sakit tidak membeli persediaan baru, ia menyuruhku diam. Perkataanku adalah bentuk kekufuran, katanya. Jadi, beginilah, aku akan menulis dengan kantuk yang dalam dan bau pesing yang lumayan.

Mimpi ini lain, dan kuyakini memiliki keterkaitan dengan mimpi sebelumnya. Di dalam mimpi itu, aku ada di sebuah tempat terbuka. Aku hanya melihat reruntuhan bangunan, sampah, dan di garis cakrawala, cerobong tinggi, yang sepertinya ada di tengah lautan, tanpa henti memunculkan asap-asap hitam pekat. Ada banyak sekali. Aku berjalan-jalan dan melihat kumpulan yang sepertinya adalah tenda-tenda berantakan. Aku berjalan menuju salah satu yang menunjukkan tanda keberadaan, dan mendapati satu orang dewasa, terlihat seperti melamun dengan pupil lebar dan napas yang memburu, dan satu anak-anak. Orang dewasa itu duduk memeluk kakinya, seluruh kulitnya terlihat kecoklatan seperti karat. Si anak duduk bersila, dengan mangkuk yang berisi sesuatu yang sepertinya adalah makanan; nampak butiran-butiran berwarna merah, hitam, biru, dan hijau pekat. Si anak, yang nampaknya memiliki kulit yang sama dengan si orang dewasa, mengenakan kain hitam yang menutupi punggung dan tangan kiri, tangan kanannya mengaduk-aduk makanan. Aku tidak tahan dan keluar dan melanjutkan perjalanan. Semakin lama berjalan, hal-hal yang kulihat semakin tidak dapat kumengerti. Tanah ini sungguh tersia-sia; aku tidak melihat apapun yang terlihat hijau dan hidup. Kaktus juga tidak tumbuh di tanah kering ini. Tidak ada burung, atau kucing & anjing yang berkeliaran. Orang-orang dengan baju penyelam abad pertengahan berdiri di antara tumpukan-tumpukan sampah dan mencari sesuatu, dan semakin banyak penampakan tenda-tenda jelek berdiri. Aku mendekat pada salah satu penyelam itu. Ia mengacungkan bedil tombaknya padaku. “Aku gak ngapa-ngapain.” Ia tidak mau menurunkan bedilnya, dan meneriakkan sesuatu yang tidak jelas. Ia melepas helm. “Datang dari mana kau?”

“Aku dari luar.”

“Kita semua dari luar. Dari mana kau?”

“Sumpah. Aku gak tahu.”

Sebilah tombak menembus mata kirinya. Aku berlari entah ke arah mana, namun tiba-tiba aku seperti memasuki sebuah daerah pemukiman; ada bangunan-bangunan, dan ada lebih banyak orang dengan baju penyelam tanpa bedil tombak, juga lebih banyak orang dengan kulit karat yang berjalan-jalan tersuruk dan tersungkur di jalan-jalan bergeronjal. Apakah ini sebuah kota? Sungguh kacau, orang-orang sekarat di jalanan dan tidak ada yang menolong mereka. Aku berpapasan dengan seorang dewasa yang dengan lengannya sedang mengaduk-aduk suatu kubangan yang berisi sesuatu yang terlihat sama seperti makanan si anak. Ia mengangkat lengan dan menyuapi dirinya dengan apa yang ia dapat di genggamannya. Orang itu menyadari keberadaanku, dan menawarkan makanannya. Dan aku pun bangun seketika. Untung saja aku tidak muntah. Namun aku mendapati diriku tidak berada di tempat semestinya. Aku berada di sebuah tenda yang terasa panas mencekat.

5.

Ketika aku sadar bahwa mimpi-mimpiku telah menjadi nyata, aku mengingat hari-hari ketika aku masih bebas. Aku ingat telah membaca beberapa berita: kebakaran hutan mangrove, cuaca panas di perbukitan selatan, dan banjir di daratan utara yang mulai merambat ke daratan tengah. Berita-berita itu dimuat di media-media terpercaya dan tidak mungkin untuk membantahnya. Seluruhnya menunjukkan foto-foto, dan wawancara pilu pada mereka yang terdampak. Aku masih ingat, sebelum dipaksa mengikuti tes itu, unjuk rasa besar yang terjadi di depan gedung dewan dan senapan-senapan mesin yang terpasang di atasnya. Sungguh pilu jika kerusuhan yang terjadi di antara kami dan para polisi itu berakhir dengan mayat-mayat dan berita pagi tentang investasi. Pagi kemarin, sebelum malam ketika aku menulis catatan ini, koran memberitakan rencana unjuk rasa lanjutan.

Aku melihat keluar jendela dan melihat cerobong-cerobong asap itu lagi di kejauhan, kubah-kubah kusam yang memliki satu pohon besar di dalamnya, dan permukaan tanah yang penuh sampah-sampah. Apakah aku sudah mengatakan soal benda-benda langit besar itu? Ketika akhirnya tubuhku bisa bangkit dan aku keluar tenda, di langit, aku menyaksikan benda-benda besar melayang yang mengingatkanku pada kapal-kapal perang film sci-fi. Mereka melayang cukup dekat dengan permukaan. Lalu, mereka membuang entah apa. Segalanya terasa tidak benar dan benar pada saat yang sama. Aku tidak mengerti. Mengapa tiba-tiba saja banyak orang-orang berkulit karat menuju tempat di mana buangan itu dijatuhkan? Saat aku tiba, orang-orang berkulit karat itu dengan buas sedang berebut sampah-sampah itu. Aku makin tidak mengerti tatkala mereka yang telah menggenggam sampah itu mulai memakannya. Aku meraih pundak seorang tua dan berkata itu bukan makanan. Itu plastik dan kotoran-kotoran busuk manusia. Ia menyeringai, dan berkata: “Bukan. Ini nikmat dan mengenyangkan.” Seseorang di antara mereka ambruk; segera setelah berpasang-pasang mata mengamatinya, orang yang ambruk itu diserbu. Aku tak akan menjelaskan kejadian itu, sebab segera saja aku menyadari apa yang akan terjadi; aku melompat dari kasur dengan dada sesak. Aku semakin tidak mengerti lagi, ketika pagi itu aku melihat keluar dari jendela kamar penjara ini dan menyadari bahwa semua itu nyata. Kubah itu nyata. Kubangan-kubangan itu nyata. Kapal-kapal itu melayang dan membuang sampahnya. Bahkan baju-baju penyelam itu. Aku menceritakan seluruhnya pada Bapak Abdul, sekaligus memohon untuk tidak membuatku meminum obat itu bahkan untuk sekali lagi. Ia hanya tersenyum dan berkata bahwa aku hanya sedang bermimpi. Itu semua tidak nyata. Aku membantah.

6.

Terima kasih, Tuhan, sebab engkau telah memberiku kertas-kertas dan pena ini. Bapak Abdul selalu mengatakan padaku bahwa rahmat selalu datang kepada manusia yang dikehendaki-Nya. Aku berharap bedil-bedil itu tak ditembakkan. Entah apa yang akan terjadi jika itu terjadi; bagaimana itu diperhitungkan: sebagai mala atau keselamatan. Jika hidup berlangsung sengsara, bukankah hanya mati yang tersisa? Mungkin aku akan bertahan untuk hidup jika aku ada di sana. Namun jika begitu, risalah-risalah ini tidak akan sampai, dan tidak akan ada lagi perjuangan.

Aku berpikir bahwa kertas-kertas ini adalah rahmat dan, seperti Bapak Abdul katakan juga, rahmat harus disyukuri. Oleh sebab itu aku berterima kasih pada-Nya atas kedatangan kertas-kertas dan pena. Aku tidak peduli jika Bapak Abdul menyangkal kenyataan yang terjadi di luar. Itulah sebabnya, dan inilah yang aku lakukan, bahwa aku akan mulai berlatih memakan sampah-sampah itu. Aku memulainya dengan memamah plastik penutup sarapan dan makan siangku, meninggalkan nasi, telur, atau apapun itu. Gigi-gigi sisir lebih mudah ditelan. Aku harus meremukkan wadah pena yang kugunakan menulis. Segera setelah keluar, aku akan terbiasa, dan aku akan memimpin seluruh orang berkulit karat dalam memperjuangkan hidup, sebab aku adalah orang yang terpilih dan mimpi-mimpi ini adalah risalah-Nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *