KAJIAN Hari Tani Nasional 2021: Merebut Kembali Kedaulatan Petani

 

Hari Tani Nasional 2021: Merebut Kembali Kedaulatan Petani

Pada tanggal 24 September 1960, Presiden RI Pertama, Soekarno, menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria(UUPA) yang mengatur tentang sumber daya alam Indonesia dan peruntukannya untuk seluruh rakyat Indonesia. Sejak hari itu, setiap tanggal 24 September ditetapkan dan diperingati sebagai Hari Tani Nasional.

Hari ini, tepat enam puluh satu tahun berlalu, amanat UUPA tidak dijalankan oleh pemerintah dan hanya menjadi pajangan semata. Yang terjadi saat ini, negara justru seakan buta melihat tanah pertanian dirampas oleh kaum pemodal untuk kepentingan-kepentingan industri. Tidak hanya itu, persoalan alih fungsi lahan, kebijakan yang tidak memihak petani, sistem pertanian yang berorientasi pada akumulasi kapital milik industri dan lain-lain, membuat petani semakin termarjinalisi di negerinya sendiri – negeri yang katanya agraris ini.

Banyak sekali persoalan yang dihadapi petani hari ini. Dan, jika kami sebutkan satu persatu, kami pastikan tidak akan cukup beratus-ratus kertas kajian untuk menjelaskannya secara mendetail, yang itu artinya: kesejahteraan dan kedaulatan petani belum pernah terwujud sepenuhnya. Maka, dalam kertas kajian ini kami akan paparkan beberapa persoalan rumit yang dihadapi petani secara khusus di Jawa Tengah – yang membuat kedaulatan petani selama ini mandeg dan akan kami rebut kembali sekarang juga!

Janji Palsu Reforma Agraria

Reforma agraria adalah salah satu Program Prioritas Nasional yang paling ditinggikan oleh bapak jokowi dalam membangun Indonesia dari pinggir serta meningkatkan kualitas hidup. Reforma agraria juga dapat dikatakan sebagai penataan kembali struktur penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Namun kata-kata yang ditinggikan tersebut tidak dapat membuat kita untuk percaya begitu saja dengan ocehan para perampas hak atas tanah atau lahan dengan dalih penataan kembali atau dengan dalih keadilan untuk Indonesia maju.

Dapat kita telisik lebih dalam bahwasanya, negara dengan Program Prioritas Nasional ini hanya dalih dan mempunyai kepentingan individu yang disembunyikan secara implisit. Tidak melulu tentang Indonesia, dalam lingkup jawa tengah pun mereka menggunakan bahasan yang mulus berduri untuk menyita perhatian warganya untuk untuk dengan nama “Keadilan”. Pada tanggal 24 dan 25 April 2019 pemerintah menyelenggarakan rapat koordinasi penyelenggaraan reforma agraria. Jangka dua tahun ini setelah terselenggara, apakah petani sekarang berdaulat ? apakah petani dan nelayan sudah mendapat hak mereka ? apakah mereka telah mendapatkan kedaulatan keadilan di atas bumi mereka sendiri ?

Jawabanya tidak sama sekali, karena pada tanggal 22 Juli 2019 petani mendesak pemerintah akan penyelesaian konflik dan pegakuan negara terhadap hak tanah atas mereka yang dijanjikan oleh presiden jokowi. Mereka juga mendesak agar pemerintah segera mendirikan Gugus Tugas Refroma Agraria (GTRA), namun lagi-lagi janji hanya sekedar janji seperti sebuah lagu yang remeh dinyanyikan dimana-mana. Tahun yang sama, KOMNAS menerima 13 kasus konflik agraria dari 10 kabupaten /kota serta kasus intoleransi dari 13 kabupaten di jawa tengah. Maka mana yang katanya akan membangun keadilan ?

Pada tahun 2020 di mana sedang maraknya dengan covid-19, cita-cita reforma agraria semakin menurun bahkan semakin hilang jejak awalnya. Penggusuran, penanganan represif, intimidasi, ancaman, dan kriminalisasi terhadap masyarakat di perdesaan masih berjalan di tengah situasi pandemi Covid-19. Sejumlah petani bahkan yang awalnya diundang di pengadilan sebagai saksi, namun kenyataanya justru dipojokkan, didesak dan dipaksa menjadi terdakwa dalam pemakaian lahan dan penebangan pohon secara tidak sah. Padahal, petani tersebut telah menanam sendiri selama beberapa tahun.

Pada tahun 2021, pemerintah mengaku bahwa mereka baru menyelesaikan konflik agraria sebesar 26%, padahal mereka telah berjanji untuk menyelesaikanya dalam tahun 2023, namun apa yang mereka bicarakan tidak dapat dipegang sama sekali. Dapat dibuktikan dari masa covid yang telah hampir 2 tahun ini, pemerintah mengaku mendapatkan aduan kasus konflik agrarian sebanyak 1.191 kasus. Kasus reforma agraria yang sangat gagal tidak dapat dijadikan jaminan lagi.

Persoalan Alih Fungsi Lahan

Persoalan alih fungsi lahan pertanian menjadi persoalan serius tak hanya bagi petani tetapi bagi kita semua. Selama beberapa tahun terakhir laju alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan industry maupun kawasan strategis nasional kian meningkat.  Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tren alih fungsi lahan pertanian di tahun 1990-an mencapai sekitar 30.000 hektar per tahun. Namun, pengalihan fungsi lahan ini semakin meningkat menjadi sekitar 110.000 hektar di 2011 dan mencapai 150.000 hektar di 2019 (Sumber : Kompas.com).

Konsorsium pembaruan agraria (KPA) mencatat terjadi 410 konflik agraria selama 2018. Sepanjang tahun tersebut konflik agraria yang terjadi mencakup luas wilayah 807.177,6 hektar dan melibatkan sedikitnya 87.568 kepala keluarga. Posisi tertinggi konflk agraria disumbang oleh pembangunan di sektor perkebunan dengan jumlah 144 kasus dengan 83 kasus, atau sekitar 60% terjadi di sektor perkebunan sawit. Selanjutnya disusul oleh sektor properti sebanyak 137 kasus, sektor pertanian 53 kasus, pertambangan 29 kasus, kehutanan 19 kasus, infrastuktur 16 kasus dan yang terakhir sektor pesisir atau kelautan sebanyak 12 kasus (sumber : katadata.co.id).

Dari banyaknya kasus yang terjadi, setidaknya terdapat lima krisis agraria yang menjadi pemicunya. Pertama, ketimpangan struktur agraria yang tajam; kedua, maraknya konflik agraria strukural; ketiga, kerusakan ekologis yang meluas; keempat, laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian; dan yang kelima, kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.

Alih fungsi lahan inilah yang kemudian banyak menebar bibit-bibit konflik di dalam masyarakat. Kasus penyerobotan lahan milik warga oleh TNI di Urutsewu, kasus masyarakat desa Wadas, Kasus Masyarakat di pegunungan Kendeng adalah secuil contoh bagaimana land grabing itu masih terjadi. Tak heran jika rakyat mempertahankan mati-matian tanah yang dimiliki karena selain sumber kehidupan tanah juga memiliki nilai historis dan religious maka, kehilangan tanah sama dengan kehilangan harga diri.

Persoalan yang lebih serius dari itu adalah, alih fungsi lahan pertanian yang begitu massif telah menciptakan lingkaran setan kemiskinan dimana petani kehilangan tanahnya dan kemudian menjadi barisan lontang-lantung di sektor informal. Alih fungsi yang tidak semestinya tentu menyebabkan dampak krisis sosial-ekologis. Laju alih fungsi lahan yang begitu masih mampu mengundang bencana. Ia merusak nutrisi alami yang kemudian merusak siklus alami yang dimiliki oleh alam.

Kesejahteraan Petani

Badan Pusat Statistika (BPS) mencatat nilai tukar petani (NTP) pada juni 2020 sebesar 99,60% naik 0,13% dari catatan mei 2020 sebesar 99,47 angka tersebut masih jauh di bawah titik impas sebesar 100 %. Kepala BPS, Suharyanto mengatakan kondisi nilai tukar petani yang di bawah titik impas berbahaya karena akan semakin menekan daya beli petani. Sebab, pendapatan para petani jauh lebih rendah dari pengeluaran.

BPS Provinsi Jateng secara khusus pada Senin (1/10) juga merilis Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan salah satu indikator strategis untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani yang multidimensi. NTP Jawa Tengah pada September 2019 sebesar 105,98 atau naik 0,98 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP karena Indeks Harga Yang Diterima Petani (It) naik 0,49 persen lebih tinggi dibandingkan Indeks Harga Yang Dibayar Petani (Ib) yang turun 0,48 persen. Penderitaan petani belum cukup itu saja. Ada beberapa alasan kenapa para petani kita belum bisa sejahtera. Berdasarkan identifikasi kami, mereka mengalami beberapa kesulitan seperti kesulitan dalam mengakses permodalan, kesulitan mengakses pasar dan transkasi yang tidak transparan. Kurang trasparannya perdagangan menyebabkan ada permasalahan tengkulak mestinya diperhatikan oleh pemerintah ataupun dinas terkait. Megenai permasalahan rantai pemasaran memang sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Perdagangan No. 7 Tahun 2014 Pasal 26 ayat 3 mengamanatkan bahwa “Dalam menjamin pasokan dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting, Menteri menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan Ekspor dan Impor”. Dalam UU tersebut tersirat bahwa pemerintah mempunyai pedoman dalam menetapkan kebijakan harga dengan tujuan untuk stabilisasi harga. Selain itu ada pula Undang-Undang No.19 Tahun 2013. Dalam Pasal 3d dan 3e disebutkan bahwa pemerintah melindungi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen; dan meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam menjalankan usaha tani yang produktif, maju, modern, dan berkelanjutan. Namun pada praktik di lapangan sangatlah berbeda dari apa yang diatur oleh pemerintah. Panjangnya rantai pemasaran membuat harga jual dengan harga beli sangat jauh selisihnya dari apa yang diharapkan oleh petani serta kurangnya pengawasan di lapangan dari pemerintah. Petani adalah konstituen yang banyak menuai taburan janji, di hari tani yang ke 61 kami bersama petani menginginkan kesejahteran serta kedaulatan petani jangan ada lagi petani di deretan kemiskinan di Badan Pusat Statistik (BPS) jika pemerintah mampu mengatasi permasalahan kesejahteraan petani rasanya pemerintah sudah mengatasi setengah permasalahan negara ini.

Kedaulatan Pangan yang Berkeadilan

Sistem pangan kita sebenarnya telah rusak jauh sebelum pandemic covid-19 merebak. Kita dapat menengok krisis pangan yang terjadi pada tahun 2008 dan permasalahan pangan yang kita hadapi saat ini. Persoalan ini memaksa kita untuk membuaka mata, melihat akar permasalahan dan mencari solusi dari perosalan rumit ini. Untuk kasus ini, kami akan berbicara permasalahan pangan secara nasional, dan itu artinya melingkupi Jawa Tengah. Kami buka dengan satu pertanyaan: bagaimana bisa 30% makanan terbuang secara global dan di Indonesia hampir 300 kg setiap orang membuang makanannya tiap tahun, padahal dalam kasus gizi buruk Indonesia menempati urutan ke-3 dunia dan 820 juta orang tidak punya cukup makanan untuk dimakan?

Jika Anda menduga jawabannya karena sistem pangan kita yang buruk, kami pastikan jawaban anda tidak mleset sama sekali. Ada yang keliru dari sistem pangan kita hari ini. Bukan karena bahan pangan yang kurang atau yang lain. Akan tetapi, sistem pangan yang berorientasi pada industri kapital bagaimanapun bentuknya tetap akan membawa pada ketimpangan dan pemiskinan. Sebab jenis pangan yang diproduksi dan diperdagangkan sejatinya bukan untuk pemenuhan kebutuhan tapi lebih pada kepentingan akumulasi kapital atau proyeksi industri untuk memperoleh nilai lebih atau laba.

Kami tidak ada urusan dengan “tetengbengek” persoalan ketahanan pangan “versimu”, proyek-proyek seperti food estete atau yang lain. Yang kami ingin pertegas adalah bagaimana petani dapat berdaulat atas tanahanya dan atas sistem pertaniannya hingga dapat terwujud pangan yang berdaulat. Sudah saatnya, kita memikirkan solusi atau membangun satu alternatif satu sistem pangan yang berkeadilan sosial dan ekologis. Sistem pangan dimana masyarakat berdaulat di dalamnya: memegang kendali penuh atas sistem pangan yang dibentuk. Dengan jalan membentuk sistem pangan yang dirancang untuk mendukung keberlanjutan manusia dan lingkungan; mewujudkan reforma agraria, membuka hak petani atas akses atas pangan, akses petani terhadap penentuan kebijakan dan lain-lain

Konversi Lahan Pertanian menuju Non-pertanian dalam UU Cipta Kerja

RUU Cipta Kerja mengandung banyak problematika di dalamnya, baik dalam proses perancangan, pengesahan dan substansi UU. Dalam UU tersebut telah digambarkan secara gamblang bagaimana kekuasaan politik menjadikan hukum sebagai ujung tombak untuk memenuhi tujuan dan kepentingan. Adanya UU Cipta Kerja ini memiliki dampak yang signifikan, terutama dalam ranah perlindungan lahan pertanian. Perubahan regulasi atas perlindungan lahan pertanian pangan yang berkelanjutan dalam UU Cipta Kerja justru akan semakin memperburuk nasib petani. Penerapan UU ini secara jelas menunjukkan ke arah degradasi dan begitupun dengan persoalan peralihan lahan pertanian yang justru difasilitasi dalam UU Cipta Kerja. Maka dari itu bagian ini kami akan fokus pada perlindungan lahan pertanian dan alih fungsi lahan dalam UU Cipta Kerja.

Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam UU PLP2B, merupakan implementasi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C, dan Pasal 33.

Perlindungan lahan pertanian sebelumnya diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang kemudian dirubah dalam UU Cipta Kerja. Perubahan yang menjadi sorotan keras adalah pada pasal 44 ayat (2) yang berbunyi : “Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategi Nasional, lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Dalam pasal tersebut, menambahkan Proyek Strategi Nasional dalam pengalihan fungsi lahan pertanian. Hal ini sangat kontradiktif, dimana kepentingan umum disandingkan dengan proyek strategi nasional – yang kami rasa sangat tidak kompatibel. Hal ini akan terlihat dalam orientasi keduanya: antara kepentingan umum dan proyek strategi nasional. Adanya penambahan Proyek Strategi Nasional berakibat pelemahan terhadap Kepentingan Umum dalam pengalihan fungsi lahan.

Sehingga pada akhirnya alih fungsi lahan dapat dilakukan demi kepentingan investasi. Para investor mengeksploitasi petani dan rakyat kecil untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat skema UU Cipta Kerja ini membuat konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian sangat difasilitasi, dimana seharusnya lahan pertanian ini ditujukan untuk kedaulatan pangan, kedaulatan kepemilikan lahan pertanian oleh petani, dan lebih jauh lagi untuk kesejahteraan petani dan masyarakat yang harus dilindungi, menjadi lahan yang dapat dialihfungsikan menjadi lahan pembangunan.

Hal ini terlihat dalam pengertian Kepentingan Umum dalam UU Cipta Kerja. “Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat yang meliputi kepentingan untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, serta pembangkit dan jaringan listrik”.

Merujuk pada penjelasan tersebut, maka produksi pangan tidak masuk dalam kepentingan umum dan menambahkan kepentingan investor. Meskipun pangan merupakan hajat hidup umat manusia. Pangan juga tidak termasuk dalam Proyek Strategis Nasional.

Akibat konversi atau pengalihan lahan pertanian yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dan tanpa adanya perlindungan terhadap lahan pertanian dari pengalihan fungsi, kami khawatir ketahanan pangan rakyat akan terancam dan sulit untuk dipenuhi. Alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian dikhawatirkan akan menurunkan produksi yang berdampak terhadap penurunan jumlah stok sehingga mengakibatkan meningkatnya harga yang akan berdampak terhadap masyarakat miskin

Lebih jauh lagi, dalam pasal 121 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 8 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal ini menambah empat poin kategori pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Keempat kategori baru itu adalah kawasan industri minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan lain yang diprakarsai atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD serta kawasan lain yang belum diatur dalam UUCipta Kerja diatur dengan PP.

Ketentuan tersebut dapat mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian dan berpotensi merugikan kelompok petani. Proses alih fungsi lahan yang dipermudah, akan memperparah konflik agraria, ketimpangan kepemilikan lahan, praktik perampasan dan  penggusuran tanah yang mengatasnamakan pengadaan tanah untuk pembangunan dan kepentingan umum.

Kepemilikan dan pemanfaatan lahan harus berlandaskan pada pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagai landasan yuridis konstitusional kegiatan perekonomian nasional. Berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sesuai dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia adalah untuk mensejahterakan rakyat. Bagaimanapun dengan adanya pemerintahan sangatlah ditujukan untuk dapat memenuhi kesejahteraan rakyat termasuk dalam hal ini adalah petani.

Menurut pemikiran para kaum utilitarianisme, bahwasanya adanya hukum adalah untuk suatu kemanfaatan yaitu kesejahteraan. Maka dari itu hukum juga memiliki arti penting dalam melindungi lahan pertanian untuk mensejahterakan rakyat.

Realisasi UU Cipta Kerja, justru menjadi klaster pengadaan tanah untuk investasi, infrastruktur dan proyek strategis nasional. Sejumlah perubahan ketentuan dinilai mengancam kelangsungan hidup petani, memperparah konflik agraria, memperbesar ketimpangan kepemilikan lahan dan praktik penggusuran demi investasi, dan mempermudah konversi lahan pertanian menuju non-pertanian. Pembahasan di atas sangat menunjukkan bagaimana romantisnya kapitalisme dengan hukum; yang menjadikan hukum sebagai alat untuk melanggengkan kepentingan segelintir orang.

Kritik Minerba Untuk Kesejahteraan Tani

Undang-undang  Minerba No. 3 tahun 2020 yang disahkan dan ditandatangani oleh presiden pada 10 juli 2020 telah mencuri banyak perhatian dari berbagai pihak karena telah mengabaikan sisi konservasi lingkungan hidup dan jauh dari kata mensejahterahkan masyarakat luas terkhusus para petani. Disahknnya undang-undang minerba tersebut seolah-olah menjadi mimpi buruk bagi petani dan masyarakat di daerah yang menjadi pusat pertambangan. Namun, di sisi lain menjadi angin segar bagi para investor dan pengusaha tambang. Bagaimana tidak sebuah perusahaan tambang yang dulunya harus melakukan perizinan kepada pemerintah daerah atau kabupaten setempat untuk melaksanakan aktivitas pertambangan serta dapat menghentikan proses pertambangan jika tidak sesuai prosedur maupun terjadi kerusakan lingkungan khususnya yang berada pada wilayah otonomnya sekarang sudah tidak bisa lagi karena seluruh kewenangan pertambangan sudah diatur oleh pemerintah pusat.

Masyarakat yang lingkungannya mengalami kerusakan akibat aktivitas perusahaan tambang diancam pidana, hal ini tertera dalam pasal 162 UU Minerba No. 3 Tahun 2020 yang mengatakan bahwa masyarakat yang mencoba mengganggu aktivitas pertambangan dalam bentuk apapun bisa dilaporkan balik oleh perusahaan dan dijatuhi pidana dan denda sebesar 100 juta rupiah. UU No.4 tahun 2009 mengenai tambang wajib melaksanakan kegiatan reklamasi dan kegiatan pasca tambang yang mengakibatkan kerusakan lingkungan atau lahan. Reklamasi adalah proses pemulihan daratan dari bekas galian tambang sedangkan pasca tambang adalah aktifitas pemulian bekas tambang untuk pemulihan lingkungan, dan fungsi sosial sesuai dengan kondisi di suatu wilayah pertambangan. Dan, walaupun telah diberlakukan peraturan semacam ini pada kenyataannya tetap saja masih banyak lahan tambang yang dibiarkan terbuka dan menjadi danau atau kubangan yang berbahaya.

Melonjaknya pertambangan sejak diberlakukannya undang- undang Minerba yang mempermudah akses perizinan perusahaan tambang dan menyebabkan kerusakan lingkungan menjadi salah satu penyebab menurunnya pendapatan para petani. Kebanyakan petani memilih untuk menjual lahannya dengan alasan penurunan hasil tani yang disebabkan oleh rusaknya lingkungan serta menurunnya harga hasil tani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *