Perjuangan panjang dalam meraih keadilan hak mendapatkan lingkungan hidup yang sehat serta meraih hukum yang adil akan dirasakan oleh warga Watusalam, Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan yang dilaporkan perusahaan tekstil, PT. Pajitex atas pelemparan batu bara yang memecahkan kaca pabrik yang dilakukan oleh Muh Afif dan Kurohman yang kesal karena keluhan pencemaran yang disampaikan warga tidak digubris pihak perusahaan.
KRONOLOGI
Pajitex merupakan pabrik tekstil yang melakukan proses pemintalan, penenunan, dan penyelesaian akhir tekstil berupa produk sarung. Sejak tahun 2006 PT. Pajitex mulai membangun / mendirikan mesin boiler dan cerobong asap dengan bahan bakar batubara. Sejak saat itu operasi produksi yang dilakukan oleh PT Pajitex mulai mencemari lingkungan di sekitar pabrik dengan suara bising mesin boiler, asap tebal, berdebu dan berbau membuat masyarakat di sekitar pabrik merasakan sesak nafas dan gatal-gatal ketika terkena asap dan debu batubara tersebut.
Berkali-kali warga menyampaikan keberatan, protes dan aduan ke PT Pajitex maupun ke pemerintah kabupaten Pekalongan namun sampai sekarang tidak ada upaya yang serius yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pekalongan untuk menghentikan dan memberi sanksi kepada PT Pajitex malah kebalikannya PT Pajitex menambah cerobong asap menjadi 3 unit yang memperparah pencemaran lingkungan.
Kriminalisasi yang dimaksud berupa PT Pajitex yang melaporkan Muh Afif dan Kurohman ke Kepolisian Polres Pekalongan Kota dengan tuduhan perusakan. Polres Pekalongan kota kemudian tiba-tiba melakukan pemanggilan mereka untuk diperiksa sebagai tersangka, tanpa di panggil dan di dengar keterangannya sebagai saksi.
Penetapan tersangka kepada dua warga pejuang lingkungan tanpa didahului dengan pemanggilan dan dimintai keterangan sebagai saksi merupakan tindakan yang tidak sah, cacat hukum dan melanggar hukum karena tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, dan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Atas proses penetapan tersangka yang cacat hukum tersebut, pada 31 Agustus 2021, Muh Afif dan Kurohman, bersama warga Watusalam terdampak pencemaran PT Pajitex yang didampingi Tim Advokasi Melawan Pencemaran Lingkungan Pekalongan yaitu LBH Semarang dan WALHI Jawa Tengah telah mengajukan permohonan Pra Peradilan dengan Termohon yaitu Kapolres Pekalongan Kota yang telah menetapkan tersangka kepada dua warga pejuangan lingungan. Permohonan pra peradilan yang di daftarkan ke Pengadilan Negeri Pekalongan tersebut mendapat No Register : 1/Pid.Pra/2021/PN.Pkl.
PROSES PERSIDANGAN
Pada tanggal 15 September 2021, agenda sidang pertama dan pembacaan Permohonan Pra Peradilan, dilanjutkan tanggal 16 September 2021, dengan agenda sidang Jawaban, dan tanggal 16 September 2021, dengan agenda sidang Replik dan Duplik.
Atas jawaban yang disampaikan oleh Termohon dalam sidang Jawaban, Tim Advokasi Melawan Pencemaran Lingkungan PT Pajitex menganggap Termohon terlihat tidak memahami hukum secara komprehensif, sekaligus menyayangkan bahwa Termohon yang merupakan aparat penegak hukum sepertinya enggan untuk mencari landasan serta pertimbangan hukum terkait dengan dalil yang disampaikan oleh para pemohon pra peradilan, pasalnya kewajiban untuk memanggil dan memeriksa seseorang sebagai saksi sebelum ditetapkan sebagai Tersangka telah diatur oleh KUHAP, Peraturan Kapolri tentang Manajemen Penyidikan dan dikuatkan kembali melalui putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014 yang juga didukung oleh pendapat dari para ahli hukum pidana (Doktrin), dan beberapa putusan hakim terdahulu (Yurisprudensi).
Bahwa Kewajiban untuk memanggil dan memeriksa seseorang sebagai saksi sebelum ditetapkan sebagai Tersangka adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Tindakan Termohon yang tidak mendengar keterangan Para Pemohon sebagai saksi pada tingkat penyidikan mengakibatkan tidak terpenuhinya asas kepastian hukum yang adil dan merupakan bentuk pelanggaran hak atas diri para pemohon untuk dapat menyampaikan keterangan secara berimbang.
Senin, 20 September 2021 dilanjutkan sidang dengan Agenda Pembuktian dari Pemohon dan Termohon. Tim Advokasi Melawan Pencemaran Lingkungan Pekalongan yang menjadi Kuasa Hukum dari Pemohon Pra Peradilan menghadirkan bukti-bukti, dua saksi, dan dua ahli yang menguatkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Polres Pekalongan Kota (Termohon) dengan menetapkan dua warga sebagai Tersangka yaitu Muhammad Afif dan Kurohman (Pemohon) merupakan tindakan yang sewenang-wenang, tidak professional, melanggar HAM, dan melawan hukum.
Dua saksi dari warga yaitu Mukhamad Nuh dan Syariful Afif, telah memberikan keterangan bahwa penetapan tersangka kepada Muhammad Afif dan Kurohman tidak di dahului pemanggilan dan pemeriksaan sebagai saksi, selain itu juga tidak pernah di tunjukkan bukti-bukti penetapan tersangka, dan tidak pernah diberikan surat penetapan tersangka kepada Muhammad Afif dan Kurohman, keduanya tiba-tiba dipanggil sebagai tersangka.
Hal ini didukung oleh Ahli pertama Pemohon yaitu Dr. Ahmad Sofian, SH,MA, Ahli Pidana dari Kampus Binus University.
“Penyidik dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka sangat penting untuk mendengarkan keterangan seseorang sebagai saksi dengan tujuan agar diperoleh keterangan yang berimbang, baik oleh Pelapor maupun Terlapor sehingga penyidik memperoleh fakta yang berimbang tanpa adahya diskriminasi serta terjaminnya perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, seseorang yang ditetapkan menjadi tersangka harus diberi tahu oleh penyidik tentang perbuatan yang dia lakukukan serta diberitahukan pula buktinya apa. Hal tersebut sesuai dengan Putusan MK Nomor 21 tahun 2014 yang menyatakan bahwa penetapan tersangka kepada seseorang harus berdasarkan minimal dua alat bukti serta dengan pemeriksaan calon tersangka atau saksi”, terang Sofian.
Sementara Ahli kedua Pemohon, yaitu I Gusti Agung Made Wardana, SH, LLM, Ph.D, Ahli Lingkungan dan Hak Asasi Manusia dari Universitas Gajah Mada (UGM) mengaitkan kasus ini dengan hak pejuang lingkungan hidup yang tidak bisa dipidana maupun digugat secara perdata.
“Ketika setiap orang atau sekelompok orang sedang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, namun yang mereka dapatkan adalah serangan di jalur pengadilan baik itu pidana perdata adalah upaya Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP)”, jelas Agung.
Bahwa SLAPP bertujuan sebagai upaya balas dendam serta upaya pembungkaman terhadap partisipasi warga yang sedang memperjuangkan hak asasi manusia, salah satunya adalah hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, SLAPP juga digunakan untuk menutupi masalah pokok atau pengalihan isu, dari isu publik ke isu privat seperti isu Pencemaran lingkungan (isu Publik) ke Pemidanaan atau persidangan (hanya beberapa pihak yang terlibat) selanjutnya, SLAPP digunakan untuk menghabiskan energi sumber daya masyarakat agar disibukkan dengan permasalahan yang bukan masalah utama atau memecah konsentrasi warga, dengan adanya pemidanaan kepada warga yang sedang memperjuangkan lingkungan. Warga akan disibukkan bagaimana cara membebaskan kawan mereka dari jerat pidana sehingga masalah utama seperti pencemaran lingkungan akan dikesampingkan.
Hari ini (23/9) Sidang Putusan, Permohonan Pra Peradilan atas penetapan Tersangka dua warga Pejuang Lingkungan Watusalam atas nama Muhammad Afif dan Kurohman ditolak oleh hakim Pengadilan Negeri Pekalongan.
Dalam pertimbangannya Hakim (pertama) menyatakan pengujian 2 (dua) alat bukti yang sah bukanlah ranah pra peradilan karena tidak diatur dalam KUHAP, penyidik cukup menghadirkan 2 (dua) alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka pada pemeriksaan.
(Kedua), Hakim menyatakan tidak ada kewajiban bagi penyidik memeriksa saksi terlapor dalam KUHAP.
(Ketiga), Penggunaan Pasal 66 UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) sebagai perlindungan pejuang lingkungan dapat digunakan pada persidangan namun bukan di sidang Pra Peradilan melainkan pada sidang Pemeriksaan Pokok Perkara. Hal ini berarti hakim menyepakati bahwa dua warga tersebut merupakan pejuang lingkungan yang tidak bisa dituntut namun di persidangan yang berbeda bukan di Sidang Pra Peradilan melainkan di Sidang Pokok Perkara.
Menanggapi Putusan hakim dan melihat pertimbangan hakim PN Pekalongan dalam putusan pra peradilan nomor perkara : 1/Pid.Pra/2021/PN.Pkl. Kuasa Hukum Pemohon yang tergabung dalam Tim Advokasi menyampaikan bahwa hakim tidak memiliki keberanian untuk mengoreksi tindakan penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka demi melindungi HAM dalam ranah pra peradilan.
Selain itu, Hakim terlalu normatif dalam membuat putusan karena menyebutkan pengujian 2 (dua) alat bukti yang sah bukan ranah pra peradilan karena tidak diatur dalam KUHAP. Padahal pra peradilan merupakan ranah untuk mengoreksi tindakan penyidik termasuk mengoreksi 2 (dua) alat bukti yang yang dijadikan untuk menetapkan tersangka.”
Hakim PN Pekalongan dalam pertimbangannya menyatakan penggunaan pasal 66 UU PPLH bukan ranah pra peradilan melainkan pemeriksaan pokok perkara.
“Hal ini tentu bertentangan dengan proses praperadilan yg asas cepat, murah dan sederahana. Seharusnya Pasal 66 UU 32 tahun 2009 tentang PPLH diidentifikasi sedari awal sebelum masuk ke proses persidangan, karena pejuang lingkungan menurut pasal tersebut tidak bisa dipidana atau dituntut perdata berdasarkan UU PPLH”, ungkap Eti Oktaviani Direktur LBH Semarang.
RENCANA SELANJUTNYA
Menyikapi putusan PraPeradilan tersebut, Tim Advokasi akan terus melakukan perlawananan terhadap pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Pajitex di Pekalongan dan akan melaporkan hakim yang memutus perkara ini ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung.
Selain itu Tim Advokasi akan mempersiapkan segala kebutuhan dalam melawan kriminalisasi terhadap dua pejuang lingkungan di Persidangan Pokok Perkara apabila jaksa melanjutkan ke persidangan pidana.