Oleh: Warta Lingkungan Hidup (WALAH) BEM KM UNNES 2021
Pencemaran lingkungan bukanlah hal yang baru ada di sekitar, melainkan kasus yang sudah banyak terjadi dan berdampak pada kerugian besar bagi makhluk hidup. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke lingkungan hidup oleh kegiatan manusia ataupun proses alam, sehingga menyebabkan kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu, dan akan menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi kembali sesuai dengan peruntukannya. Pada umumnya, pencemaran disebabkan oleh adanya kegiatan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Dalam perkembangan globalisasi, banyak teknologi canggih yang akan mendorong kehidupan manusia. Akan tetapi perkembangan teknologi ini memiliki dampak terhadap lingkungan. Dampaknya yaitu pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah dan sampah sisa dari proses produksi tersebut. Limbah merupakan sisa dari suatu usaha maupun kegiatan yang mengandung bahan berbahaya atau beracun yang karena sifat, konsentrasi, dan jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan lingkungan, kesehatan, kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.
Sementara, hingga saat ini perhatian terhadap limbah masih dikesampingkan. Akhir-akhir ini, topik tentang pencemaran limbah terhadap lingkungan menjadi perbincangan yang hangat di berbagai media. Hal ini karena limbah berpotensi besar dalam pencemaran lingkungan hidup serta merusak ekosistem alaminya. dengan tercemarnya lingkungan hidup oleh limbah maka nila estetika dari lingkungan tersebut akan menurun, lingkungan yang tercemar tersebut akan terlihat kumuh dan tidak dapat digunakan untuk kepentingan sehari-hari. Tercemarnya lingkungan juga akan mengganggu sistem alami dari lingkungan tersebut.
Dampak hasil pembuangan limbah yang menghasilkan zat beracun bagi lingkungan sekitar akan menyebabkan tempat tumbuhnya kuman yang berkembang biak. Dengan pembuangan cairan limbah yang sembarangan bisa menimbulkan berbagai masalah bagi manusia dan lingkungan. Limbah juga dapat menumbuhkan bibit penyakit ataupun cairan limbah lama kelamaan akan berubah warnanya menjadi coklat kehitaman dan berbau busuk, dan bau busuk ini akan mengakibatkan gangguan pernapasan bagi masyarakat sekitar. Adapun peraturan yang mengatur baku mutu air limbah yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 5 Tahun 2014 tentang baku mutu air limbah. Baku mutu setiap industri tentu berbeda untuk setiap parameter dan persyaratannya.
Merujuk analisis kliping milik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, setidaknya 16 kasus pencemaran terjadi dari 38 kasus lingkungan hidup pada 2020. Dari 16 kasus tersebut, 10 aktornya adalah pelaku usaha, sedangkan 17 lainnya adalah pemerintah. Beberapa contoh kasus pencemaran lingkungan hidup dilakukan oleh pabrik kompos (PT Eka Timur Raya), pabrik rayon (PT Rayon Utama Makmur), pabrik tahu, dan pabrik limbah B3 (CV Bumi Slamet), Hal ini membuat kita menghipotesiskan bahwa pencemaran-pencemaran tersebut diakibatkan oleh keberadaan industralisasi atau ekspansi kapital di Jawa Tengah. Kasus yang paling mencolok, dua kali disebut adalah PT RUM.
Sejak tahun 2018 hingga sekarang terdapat kasus yang diakibatkan oleh industri tekstil yaitu mengenai PT Rayon Utama Makmur (RUM), di mana industri tersebut menghasilkan limbah industri berupa polusi udara yang cukup meresahkan masyarakat Kabupaten Sukoharjo. Masyarakat beranggapan bahwa PT. RUM memiliki karbon disulfida plant atau tempat produksi karbon disulfida yang berbahaya bagi lingkungan. PT RUM juga menghasilkan bau busuk yang menyengat terutama di wilayah Nguter, Sukoharjo, Bendosari, hingga Polokarto. Limbah yang dihasilkan PT RUM menyebabkan warga yang rumahnya berjarak 50 meter dari tembok bagian belakang pabrik PT. RUM mengalami batuk-batuk, sesak nafas, hingga ulu hati yang terasa berat.
Pencemaran PT RUM barmula dari over-akumulasi dan keperluan Sritex (perusahaan induk PT RUM) atas bahan baku serat rayon. Mau tak mau, Sritex harus melakukan spatial fix, ekspansi spasial yang membidani kelahiran PT RUM. Pembangunan PT RUM ini dilakukan Sritex untuk mengeskalasi laba serta menjadikannya perusahaan tekstil dan garmen yang integral, dari hulu ke hilir. Hal ini sesuai dengan ungkapan David Harvey para kapitalis (dalam hal ini, Sritex) melakukan spatial fix guna memperoleh nilai lebih.
Modal, sebagaimana ujar Harvey, harus ditanamkan dalam bentuk ekspansi spasial, karena sifat ruang (bagi kapitalis) yang tak terbatas. Juni 2015, para kapitalis Sritex mengumumkan rencana membangun ruang dengan luas 80 Ha sebagai pabrik serat rayon — PT RUM — dan perkebunan eukaliptus di Sukoharjo. Salah seorang kapitalis tersebut, Kurniawan Lukminto mengatakan, ekspansi spasi al tersebut membutuhkan investasi senilai 300 juta dollar AS.
Lalu, apa imbas spatial fix ini? Tentunya, banyak hal. Dalam produksinya, Sritex telah mencemari Kali Langsur dengan limbah cair berwarna cokelat pekat dan berbau mencolok. Dari pengakuan warga, pembuangan limbah cair itu terjadi sejak dua dekade silam. Maka, warga — dari 13 kampung sekitar Kali Langsur — melakukan protes dan hanya ditebus uang sebesar 200 juta rupiah. Dari situ, spatial fix Sritex terhadap PT RUM memang serupa, ekspansi spasial juga ekspansi pencemaran lingkungan.
Spatial fix para kapitalis, kami tegaskan, akan terus meluas dan mengubah banyak hal di sekeliling kita. Ia hadir mewajibkan adanya pengambilalihan tanah, dari milik warga setempat menjadi milik korporat. Sumber daya alam yang ada juga akan terus digerus. Perubahan lanskap pun akan menjadi riil, yang awalnya pertanian menjadi pabrik-pabrik, dari ruang hidup sehat ke ruang hidup sekarat. Kapan ekspansi kapital ini berakhir?