Menuju Kiamat Ekologis

“Jika kebijakan yang dibuat terus mendukung eksploitasi terhadap alam, mengenyampingkan hak masyarakat rentan dan marginal, jelaslah kita akan segera menuju bencana besar—kiamat ekologis”

Oleh: FNKSDA Semarang

Kasus kerusakan lingkungan dan konflik-konfli sosial ekologis terus terjadi di Jawa Tengan. Data yang dihimpun oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah setidaknya menunjukkan lima bencana ekologis sepanjang tahun 2020. Ia meliputi jebolnya tanggul DAS Beringin, banjir rob yang terjadi di sepanjang wilayah pesisir, delapan wilayah di Jawa Tengah rawan kekeringan dan krisis air bersih melanda beberapa wilayah[1]. Selain itu, pada tahun 2021 ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah melaporkan ada empat puluh tiga titik banjir di kota Semarang[2]. Lebih ketat lagi, kasus gagal panen atau hasil panen terus menurun diakibatkan cuaca yang sulit diprediksi dan tangkapan nelayan yang tidak menentu adalah tanda-tanda kita menuju krisis ekologis dan bahkan krisis sosial-ekologis.

Semua itu tidak bisa hanya dimaknai sebagai “takdir tuhan” atau sebatas persoalan curah hujan yang tinggi—atau membuang sampah sembarang. Akan tetapi, akar persoalan harus dilihat dengan lebih jeli.

Saat masyarakat berbondong-bondong mengadakan kegiatan tanam mangrove, bersih-bersih sungai dan melakukan kegiatan reboisasi, disaat yang sama pula pembangun industri skala besar, perumahan, perhotelan dan pusat-pusat perbelanjaan terus digalakkan. Disaat kita mencoba beralih ke pada sedotan dari rotan disaat yang sama pula pabrik-pabrik tetap memproduksi sedotan dalam jumlah ribuan bahkan jutaan. Dari cara pandang ini kita bisa melihat akar persoalan bukan hanya terletak pada pola hidup masyarakat yang tidak ramah lingkungan. Tetapi kebijakan pemerintah yang tidak memperdulikan keselamatan lingkungan juga menjadi hal yang perlu disoroti.

Lebih jauh lagi, corak produksi kapitalistik dan pembangunan yang berorientasi akumulasi kapital juga menjadi akar persoalan. Kapitalisme memerlukan runag untuk tetap memproduksi diri dan ia memerlukan kebijakan untuk melegitimasi keberadaanya. Sehingga tak heran jika banyak ruang hijau dan pemukiman rakyat kecil dibabat untuk lahan-lahan produksi. Kebijakan-kebijakan juga dibuat untuk melegitimasi perampasan dan kerusakan. UU Minerba dan Omnibus Law adalah produk hukum yang nyata—yang akan membawa kita menuju “Kiamat Ekologis”.

[1] Angka Kasus Lingkungan Hidup di Jawa Tengah, Dokumen milik Walhi Jateng

[2] Tirto.id/kerusakan-lingkungan –penyebab-banjir-semarang-bukan-sekedar-hujan-f97j, diakses pada Sabtu, 12 Juni 2021, pukul 21.25

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *