Peringatan 23 Tahun Reformasi di Semarang : Ratusan Aparat Membubarkan Paksa Massa Aksi Saat Prosesi Doa Lintas Iman

 

Jum’at, 21 Mei, massa aksi yang terdiri dari beberapa perwakilan mahasiswa dan buruh yang
tergabung dalam aliansi GERAM (Gerakan Rakyat Menggugat) bersama dengan aksi kamisan
Semarang menggelar aksi peringatan 23 tahun reformasi di Tugu Muda, Semarang. Dalam aksi
tersebut, massa aksi menyoroti berbagai masalah besar yang sedang terjadi di Indonesia
termasuk salah satunya yaitu proses pelemahan terhadap institusi KPK yang merupakan anak
kandung dari proses panjang reformasi.

 

Pada awalnya aksi peringatan 23 tahun reformasi tersebut berjalan dengan damai. Dalam aksi
tersebut diisi juga oleh beberapa aksi kreatif seperti orasi, pemukulan kentongan, pameran
lukisan, dan simbolisasi penandatanganan SK pemecatan Firli Bahuri sebagai ketua KPK oleh
rakyat sebagai bentuk akumulasi kekecewaan rakyat atas nasib tragis yang dialami oleh institusi
KPK hari ini dibawah pimpinannya. Rasa kekecewaan atas Firli Bahuri selaku ketua KPK
diantaranya tercermin dengan pemecatan yang disampaikannya kepada 75 anggota KPK akibat
gagal lolos dalam mengerjakan Tes Wawasan Kebangsaan yang sangat mengganjal dan tidak
relevan dengan mekanisme penyidikan yang dilakukan oleh KPK. Hal ini tentu merupakan
bentuk upaya penyingkiran sistematis yang dilakukan oleh Firli terhadap para anggotanya yang
dinilai progresif dan cekatan dalam penanganan kasus-kasus korupsi besar.

 

Namun, aksi kreatif dan simbolisasi tersebut tercoreng dengan adanya intervensi dari aparat yang
mencoba masuk untuk mengganggu kondusivitas aksi peringatan reformasi tersebut. Intervensi
yang dilakukan aparat tersebut mengakibatkan kondisi massa aksi semakin tidak kondusif akibat
adanya provokasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian untuk membubarkan massa aksi dengan
dalih protokol kesehatan. Selain itu, beberapa oknum aparat kepolisian juga mendatangi
beberapa massa aksi dan korlap untuk bertanya dengan nada bicara yang tinggi seakan menekan
mental massa aksi.

 

Menjelang waktu maghrib, massa aksi melakukan doa bersama untuk perdamaian dunia,
diantaranya ditujukkan kepada konflik berkepanjangan yang terjadi antara Palestina dan Israel
serta aksi kudeta militer di Myanmar. Aksi doa bersama tersebut dilakukan di area dalam Tugu
Muda agar mendapatkan suasana yang khidmat dan khusuk untuk melakukan doa bersama.

 

Akan tetapi saat prosesi doa bersama dimulai, ratusan aparat kepolisian merangsek masuk
kedalam lokasi doa bersama. Saat prosesi doa bersama yang dilakukan oleh perwakilan umat
katholik dimulai, aparat kepolisian melakukan intervensi dan pembubaran secara paksa terhadap
massa aksi. Bahkan terjadi peristiwa teriakan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap massa
aksi perempuan untuk segera melakukan pembubaran diri, kemudian dilanjutkan dengan
melakukan instruksi pembubaran massa aksi secara keseluruhan dari titik aksi di kawasan Tugu
Muda. Walhasil, proses doa bersama yang belum selesai terpaksa harus dibubarkan akibat
seluruh massa aksi ditekan dan juga diperintahkan untuk membubarkan diri.

 

Tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian tersebut secara eksplisit telah melanggar
kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang sudah dijamin oleh UndangUndang. Bahkan tindakan pembubaran paksa yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan dalih protocol kesehatan maupun alasan lainnya sudah sering terjadi, khususnya di daerah Semarang sendiri seperti pada aksi penolakan terhadap Omnibuslaw Cipta Kerja yang berujung pada kriminalisasi 4 mahasiswa, aksi penolakan otsus jilid 2 yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua sampai ada kejadian pemukulan terhadap massa aksi, kemudian pembubaran yang dilakukan pada aksi mayday saat peringatan hari buruh Internasional. Tindakan-tindakan
pembungkaman yang dilakukan tersebut seolah mengingatkan kita pada masa kelam era orde
baru dimana setiap aksi demonstrasi dan kebebasan berekspresi dilarang oleh Pemerintah dengan
mengerahkan aparat sebagai garda terdepan. Saat hari ini sudah 23 tahun semenjak dimulainya
era reformasi dan penanda hancurnya era orde baru, nampaknya peristiwa kelam orde baru
tersebut belum sepenuhnya hilang dan muncul lagi dalam Pemerintahan sekarang. Bukti-bukti
yang telah disebutkan diatas tadi memberikan suatu kesimpulan bahwasanya watak kekuasaan
hari ini sama mengerikannya dengan era kekuasaan orde baru yaitu munculnya kebijakankebijakan
yang tidak berkeadilan dan merugikan rakyat serta mengabaikan pemenuhan terhadap hak asasi manusia, selain itu Pemerintah juga memberikan tindakan represif terhadap setiap
kritikan yang berasal dari rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *