Saat ini kita sudah dilanda krisis iklim yang ditandai dengan meningkatnya curah hujan ektrem. Curah hujan ekstrem dan minimnya luasan RTH di Kota Semarang ditengarai menjadi beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir bandang di Kota Semarang pada awal bulan Februari lalu.
Salah satu solusi dari banjir yang terjadi di Kota Semarang adalah dengan menyediakan RTH yang merata dan seluas mungkin dengan kualitas yang baik. RTH dapat mencegah banjir karena tumbuhan dapat membantu menyerapkan air ke dalam tanah, sehingga air hujan yang turun tidak lantas menyebabkan banjir.
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, diatur bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit seluas 30% dari luas wilayah kota.
Hasil studi Sudarwani & Ekaputra (2017) menunjukan bahwa dari 16 wilayah kecamatan di Kota Semarang, terdapat 8 kecamatan yang persentase luasan RTH-nya kurang dari 30%, yaitu Kecamatan Gajahmungkur, Candisari, Pedurungan, Gayamsari, Semarang Timur, Semarang Utara, Semarang Tengah, dan Semarang Barat.
Hal tersebut kemudian diperparah dengan berkurangnya luasan RTH di wilayah penyangga, seperti di Kecamatan Banyumanik, Tembalang, Gunungpati, dan Mijen. RTH di keempat kecamatan tersebut telah banyak berubah menjadi permukiman, pusat perbelanjaan, dan kawasan industri.
Oleh sebab itu, kami mendorong Pemerintah Kota Semarang untuk:
- Meningkatkan kembali jumlah RTH di wilayah penyangga (Kecamatan Banyumanik, Tembalang, Gunungpati, dan Mijen), dan
Melakukan pemerataan RTH minimal seluas 30% di setiap kecamatan yang masih kurang luasan RTH-nya. - Pemenuhan kewajiban wilayah RTH seluas 30% dan merata di setiap kecamatannya, tidak hanya dapat mencegah banjir, tetapi juga merupakan salah satu upaya mitigasi krisis iklim.
Krisis iklim sudah di depan mata dan menyebabkan bencana yang merugikan kita. Mari bersama-sama kita tanda tangani petisi ini untuk Semarang yang lebih hijau, asri, dan terbebas dari banjir!
Berikut hasil kajian yang dilakukan WALHI Jateng