Nyawiji Sesarengan Nglawan Kang Ngrusak Bumi!

SIARAN PERS
Persatuan Rakyat Sayang Ibu Bumi (PERASAAN IBU)

Peringatan Hari Kartini dan Hari Bumi 2019 : Nyawiji Sesarengan Nglawan Kang Ngrusak Bumi!

Semarang (21/4/2019), Hari ini kami mengucapkan selamat hari kartini (21/4) kepada setiap perempuan pejuang. Hari ini kami juga mengucapkan hari bumi yang bertepatan esok hari (22/4), dan tak lupa mengucapkan selamat hari Paskah (22/4) kepada seluruh umat kristiani. Ketiga peringatan tersebut, sekiranya memiliki maknanya masing-masing serta memiliki akar historisnya yang panjang mengenai eksistensi umat manusia di muka bumi, terutama di bumi Indonesia.

Secara umum bagi kami, antara hari kartini dengan hari bumi, bahkan juga hari Paskah memiliki pertautan yang erat. Bahwa realitas hari ini, pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan keadilan ekologis sesuai Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 masih menunjukkan kenyataan yang suram. Bahwa hal tersebut, mengancam eksistensi kehidupan di muka bumi, khususnya umat manusia, dan terkhusus lagi mengancam perempuan dan anak yang menjadi harapan masa depan bangsa. Realitas hari ini juga menyuguhkan kenyataan bahwa perempuan bahkan anak dipaksa berada digaris depan perjuangan melawan penghancuran bumi yang semakin masif, terstruktur, dan tersistematis, bahkan diakomodir oleh aktor-aktor negara serta melibatkan jaringan kapital besar, demi keuntungan segelintir orang.

Maka dari itu, kami dari Persatuan Rakyat Sayang Ibu Bumi (PeRaSaan IBu) berkumpul hari ini melebur di ruang publik untuk menyambungkan perasaan para ibu-ibu yang selama ini berada di garis depan perjuangan untuk hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bahwa mereka mengambil peran tersebut, tidak lain adalah karena ketulusan dan etika kepedulian (ethic of care) mereka berlandaskan kesadaran, bahwa mereka lah yang paling dirugikan apabila bumi ini dirusak, dan mereka berikut anak cucu mereka kelak lah yang paling terancam eksistensinya. Mereka yang hadir kali ini adalah para Kartini di Pegunungan Kendeng yang terancam karena tambang batu kapur (karst) dan pembangunan serta operasi pabrik semen, Kartini dari Batang yang terancam ruang hidupnya oleh pembangunan PLTU Batang dan terancam oleh pencemaran yang diakibatkannya kelak, adapula Kartini dari Tambakrejo Semarang yang terancam dipisahkan dari pesisir dan laut tempat mereka hidup dan menghidupi keluarga karena proyek kanal banjir timur. Di Jawa Tengah, sebenarnya masih banyak kartini-kartini lainnya yang tersakiti perasaannya oleh berbagai pelanggaran hak atas lingkungan hidup, seperti dalam kasus kriminalisasi dan pencemaran oleh PT. RUM di Sukoharjo, kasus Kriminaliasi dan perampasan hak atas tanah di Surokonto Wetan, kasus rencana pabrik semen di Gombong, dan lain sebagainya. Lebih-lebih lagi kasus-kasus di seluruh Indonesia.

Abdul Ghofar dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah menyatakan : “Pesta oligarki dalam bentuk pemilu presiden dan legislatif telah selesai. Mari saatnya kembali fokus pada agenda keadilan lingkungan yang selama masa kampanye tidak pernah muncul dalam riuh politik kita. Kondisi lingkungan hidup Jawa Tengah kedepan akan semakin terancam, misalnya terangkum dalam Perubahan Perda Tata Ruang (RTRW) Jateng yang sebentar lagi disahkan, dimana terdapat rencana penambahan satu PLTU Batubara di Pemalang dan perluasan lima PLTU eksisting di Jepara, Rembang, Cilacap, Semarang dan Batang, kedepan makin banyak sumber emisi yang mencemari udara kita.”

Agung Setyawan dari LBH Semarang menambahkan, yaitu : “Momentum ini kami hendak mewartakan kepada masyarakat luas tentang hak warga negara, sekaligus mengingatkan kepada negara agar menyelesaikan kasus perusakan lingkungan yang timbul akibat pertambangan, kegiatan industri, dsb yang mengancam kelestarian lingkungan yang hakikatnya merupakan pelanggaran HAM, contohnya ialah kasus kendeng dan kasus pencemaran di Sukoharjo. Berikut juga kami menyerukan agar kriminalisasi terhadap aktivis HAM dihentikan, serta menuntut kewajiban negara untuk melaksanakan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Rencana pembangunan yang merusak harus ditinjau ulang. Semisal RTRW yang merencanakan alih fungsi seluas 314 ribu Ha, dimana 259 ribu Ha nya untuk tambang, 34 ribu Ha untuk industri, dan lebih dari 2300 Ha untuk tol dan jalan arteri, itu akan mengorbankan sekitar 213 ribu Ha lahan kebun, pertanian, dan ladang. Padahal, Jateng dalam bayang-bayang bencana ekologis, berupa kekeringan, banjir, longsor, defisit penyedian air, bahkan defisit penyediaan pangan. Terakhir, lebih dari 1071 kejadian bencana melanda Jateng sepanjang tahun 2017 dan melonjak drastis tahun 2016 yang hanya 600 kejadian bencana. Bahkan pada 2018 BPBD mencatat terjadi lebih dari 2000 kali bencana longsor (saja) di Jateng, sehingga membuat Jateng konsisten selalu menjadi penyumbang bencana tertinggi secara nasional selama 10 tahun terakhir, dan hal tersebut jangan dikatakan tidak ada kaitannya dengan pembangunan dan eksploitasi alam yang merusak, tentu berkaitan erat !”.

Sementara itu, Gunarti seorang Kartini dari Pegunungan Kendeng menyampaikan : “kami dari kendeng itu tidak muluk2, ini kan habis selesai pemilu, sebenarnya untuk apa pemerintah itu ada? karena mereka membuat peraturan, nah peraturan itu harusnya untuk kita, tapi pemerintah ini malah buat aturan untuk memberikan izin bagi perusahaan, malah lebih condong ke perusahaan. artinya kalo begini, mereka ini tidak ada gunanya. Sehingga bagi kami kalo kita masih butuh makan, masih butuh minum, kembali lah patuh ke ibu bumi, sebelum Ibu bumi marah.

Ibu Daryatun, Kartini nelayan Roban Timur Batang menyampaikan : “Kami juga datang untuk minta pertanggung jawaban pemerintah supaya PLTU Batang tidak beroperasi, masih belum jadi saja sudah merusak kehidupan kami nelayan kecil. Jaring kami selalu rusak akibat lumpur sisa pengerukan dibuang sembarangan, setiap angkat jaring dapatnya lumpur bukan udang atau ikan. pendapatan kami menurun dan kehidupan masyarakat kami banyak bertengkar karena adu domba dari pihak PLTU.

Berkaitan dengan itu, Dinar Bayu dari Greenpeace menyampaikan pula : “Alih-alih menciptakan swasembada pangan, kebijakan pemerintah daerah Jateng sampai saat ini masih saja menunjukan keberpihakan nya terhadap investor kotor yang semakin menyengsarakan nelayan dan petani kecil. kita tidak bisa hanya berdiam diri, bersama para kartini ini harus turun dalam barisan perjuangan bersama demi masa depan lingkungan yang sehat dan layak huni.”

Salah satu peserta aksi, Andre Bahtiyar dari BEM Faperta Unwahas Semarang turut menyampaikan : “Jika dilihat dari prespektif sosiologi, semua fenomena yang ada seperti penggusuran lahan, kriminalisasi petani, eksplorasi alam dan fenomena lain yang menyangkut dengan tatanan agraria dan kesejahteraan sosial sangat berimbas berat bagi masyarakat. Dari terputusnya perekonomian masyarakat, hingga menyebabkan rantai ekologi terganggu, dan memarjinalkan rakyat”. Sementara itu, Stanley Sinaga dari Undip turut berkomentar : Momen Paskah dan Hari Bumi menjadi krusial untuk mengaliri hidup dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mencintai lingkungan. Paskah tak sekadar ritual agama, Paskah menjadi awal bagi kelahiran kembali manusia dari situasi yang penuh dengan keserakahan, penindasan, dan ketakbertanggungjawabannya termasuk terhadap alam.

Momentum ini kami sekaligus mengajak seluruh masyarakat untuk “Sesarengan Nglawan Kang Ngrusak BUMI” sebagai simbol semangat perlawanan rakyat dan perempuan untuk selalu melawan perusakan terhadap ibu Bumi. Mari Bersama Jaga Bumi Dari Perusakan !

Narahubung:
Arif: 0856-4156-6693
Tan: 0858-0271-5580

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *