Oleh Umi Ma’rufah[1]
Dewasa ini kerusakan dan pencemaran lingkungan semakin marak terjadi. Dari yang kerusakan lingkungan dengan resiko kecil sampai besar. Hal itu tak lepas dari akibat aktivitas hidup manusia yang sewenang-wenang terhadap alam. Ambil contoh seperti alih fungsi lahan, perilaku konsumtif yang berakibat pada penumpukan sampah, dan kegiatan industri dan pertambangan yang tidak memperhatikan keseimbangan alam. Belum lagi akibat korupsi dalam tubuh pemerintah dan watak serakah yang merugikan kepentingan masyarakat bawah dan lingkungan hidup, menjadikan manusia sebagai aktor utama dalam masalah lingkungan.
Pokok persoalan mengapa krisis lingkungan yang terjadi terletak pada kesalahan cara pandang manusia tentang dirinya, alam, dan hubungan antara manusia dengan alam dalam keseluruhan alam semesta. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Dan inilah awal semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Oleh sebab itu, krisis lingkungan hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan fundamental pada cara pandang dan perilaku manusia (Keraf, 2006: 123).
Kesalahan cara pandang manusia terhadap alam bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Bahkan manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam. Yang kemudian melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif.
Salah satu paradigma yang patut menjadi pondasi etika dalam berhubungan dengan alam adalah ekofeminisme. Sebagai cabang dari feminisme, ekofeminisme merupakan sebuah bentuk telaah etika lingkungan yang ingin menggugat dan mendobrak cara pandang dominan yang berlaku dalam masyarakat modern dan sekaligus menawarkan sebuah cara pandang dan perilaku baru untuk mengatasi krisis lingkungan sekarang ini.
Dewasa ini keterlibatan perempuan dalam setiap upaya konservasi lingkungan dan kelestarian alam di Indonesia mulai nampak. Sebagaimana kita lihat pada kasus polemik pendirian pabrik semen di Pati dan Rembang, perebutan kembali akses perolehan air di Jogjakarta, dan gerakan perlawanan perempuan di sektor pertambangan, perempuan banyak terlibat dalam aksi-aksi tersebut.
Dari beberapa kasus tersebut, ada salah satu yang menarik untuk dikaji sebagai sebuah instrumen perjuangan, yakni hidupnya budaya kearifan lokal yang ditunjukkan oleh masyarakat adat Pegunungan Kendeng yang menolak pabrik semen. Para perempuan terutama ibu-ibu di Pati dan Rembang selain di satu sisi gigih memperjuangkan kelestarian Pegunungan Kendeng, di sisi lain juga turut menghadirkan nuansa kearifan lokal untuk mengiringi perjuangan mereka.
Berangkat dari fenomena tersebut, tulisan ini mencoba mengelaborasi gerakan ekofeminisme yang dilakukan oleh masyarakat adat melalui kearifan lokal yang dimiliki. Penulis berasumsi bahwa kedua paradigma ini memiliki kesamaan dalam cara pandang dalam penyelamatan lingkungan dari kerusakan dan pencemaran. Di satu sisi perempuan sadar akan kepeduliannya terhadap kelestarian lingkungan, di sisi lain juga turut menghidupkan kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa ini.
Perempuan dan Krisis Lingkungan
Sebagai satu negara dengan kekayaan dan keragaman alam dan budaya yang luar biasa, patutlah kalau Indonesia dikatakan sebagai negara “mega bio-diversity” (kedua setelah Brazil) (Bagir, 2006: 260). Akan tetapi Indonesia sebagai negara mega-biodiversity pada saat yang sama juga mengalami berbagai kerusakan dan degradasi lingkungan. Dapat dikatakan bahwa Indonesia mengalami krisis lingkungan yang luar biasa yang apabila tidak ditangani akan menimbulkan bencana yang besar. Tidak hanya pada lingkungan itu sendiri, tapi juga pada masa depan dua ratus juta lebih penduduk Indonesia.
Menengok kembali perjalanan kebijakan pembangunan selama ini, khususnya sektor lingkungan dan pertanahan/agraria, dapat dikatakan bahwa justru pemerintahlah yang menjadi instrumen penting dalam proses marginalisasi masyarakat lokal. Hal ini dapat dilihat dari proses pembangunan kapitalisme di sektor agraria yang secara langsung maupun tidak menyebabkan termarginalisasinya masyarakat lokal.
Program pembangunan agro-industri dan pertambangan juga menunjukkan proses kapitalisme di sektor agraria yang hanya menguntungkan sekelompok kecil masyarakat, khususnya mereka yang memiliki modal dan kekuasaan. Singkatnya, proses-proses pembangunan yang selama ini dilakukan justru menfasilitasi proses penetrasi kapital pada petani lemah dan masyarakat lokal.
Tidak hanya eksploitasi sumber daya alam, perampasan ruang hidup juga menjadi persoalan ekologi yang banyak dihadapi oleh rakyat. Perampasan itu cukup masif terjadi, baik sebagai ekses atas kebutuhan industri dan tambang, atau dari pembangunan yang menggunakan dalih kepentingan umum. Bisa dikatakan bahwa di era pembangunan ala Jokowi saat ini, kebijakan yang diambil seringkali berakibat pada peminggiran hak atas tanah rakyat kita.
Lalu bagaimana dampaknya dengan kaum perempuan? Dalam perspektif ekofeminis, perempuan di kasus perampasan ruang hidup, setidaknya mengalami dua ketidakadilan. Pertama, ketidakadilan lingkungan, sebagai akibat dari kerusakan dan perampasan ruang hidup yang dialami. Kedua, ketidakadilan proses politik, dimana perempuan kurang atau bahkan tidak mendapat ruang untuk terlibat dalam penentuan sikap dan pendapat sebagai akibat dari sistem patriarki yang ada di masyarakat.
Studi Ekofeminisme
Ekofeminisme merupakan bagian atau cabang dari feminisme. Ekofeminisme dilontarkan pertama kali oleh seorang feminis Prancis Francoise d’Eaubonne dalam buku Le Feminisme ou La Mort. Melalui bukunya itu, Francoise menggugah kesadaran manusia khususnya kaum perempuan akan potensi perempuan untuk melakukan sebuah revolusi ekologis dalam menyelamatkan lingkungan hidup.
Dalam kerangka ekologi, ekofeminisme adalah sebuah teori dan gerakan etika yang sebagaimana halnya biosentrisme dan ekosentrisme, ingin mendobrak etika antroposentrisme yang lebih mengutamakan manusia daripada alam. Secara lebih khusus yang dilawan ekofeminisme bukan sekadar antroposentrisme, yang dilawan adalah androsentrisme yaitu etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki. Dominasi laki-laki atas alam sebagai sebab krisis ekologi. Bagi ekofeminisme krisis ekologi sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang androsentris; cara pandang dan perilaku yang mengutamakan dominasi, manipulasi, eksploitasi terhadap sumber daya alam.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan Shiva (1997) yang menekankan pengertian ekofeminisme pada perjuangan ideologi feminitas melawan maskulinitas. Prinsip feminitas, sebagai the sustenance perspective yakni prinsip yang diperlukan bagi kehidupan adalah prinsip yang berciri kedamaian, keselamatan, kasih, dan kebersamaan. Sebaliknya,maskulinitas bercirikan persaingan, dominasi, eksploitasi, dan penindasan, yakni prinsip penghancuran. Feminitas sebagai suatu prinsip tidak mesti hanya dimiliki kaum perempuan. Demikian pula dengan maskulinitas tidak serta merta dimiliki kaum lelaki. Maskulinitas adalah ideologi dominan yang terrealisasi dalam bentuk developmentalisme, modernisasi, industrialisme, militerisme, positivisme, dan reduksionisme serta berbagai ideologi kekerasan lainnya.
Ekofeminisme adalah sebuah teori etika lingkungan yang menganut pandangan yang integral, holistik, dan intersubyektif yang memandang kehidupan manusia dan masyarakat sebagai bagian integral dari dan berada dalam satu kesatuan dengan alam semesta seluruhnya. Setiap bagian dari alam termasuk manusia dan kehidupannya tidak dipandang sebagai unsur yang saling bertentangan, melainkan sebagai komponen yang saling melengkapi.
Ekofeminisme dan Kearifan Lokal di Pegunungan Kendeng
Gerakan ekofeminisme merupakan respon dari keprihatinan kaum perempuan atas dominasi dan perlakuan yang menindas dari manusia terhadap alam. Para penganut ekofeminisme juga menawarkan program aksi yang lebih rekontruktif sifatnya seperti forum bagi mayarakat untuk membahas dan memecahkan persoalan lingkungan yang dihadapi, partisipasi dalam melahirkan peraturan perundang-undangan yang menjamin kelestarian lingkungan, program alternatif pemenuhan kebutuhan ekonomi bagi masyarakat miskin secara tidak merusak lingkungan, upaya-upaya konservasi, dan semacamnya (Keraf, 2006: 135).
Berdasarkan hal tersebut, maka partisipasi atau andil perempuan dalam menjaga kelestarian lingkungan dapat dilakukan melalui berbagai cara, baik itu melalui langkah strategis kebijakan pemerintah maupun aksi nyata di akar rumput. Karena hanya melalui partisipasi aktif semua pihak, termasuk perempuan dalam berbagi hal bisa dijamin bahwa kebijakan yang eksploitatif dan mengarah pada dominasi manusia atas alam bisa dihapuskan.
Menginterelasikan gagasan ekofeminisme dengan kearifan lokal masyarakat adat sesungguhnya adalah hal yang dapat mudah kita rumuskan. Kita dapat melihat interelasi itu baik melalui literatur yang banyak ditulis maupun dengan memandang fenomena gerakan masyarakat adat dalam melakukan perlindungan terhadap kelestarian alam. Misalnya gerakan masyarakat Kendeng dalam melawan keberadaan Pabrik Semen yang dapat merusak lingkungan terutama oleh ibu-ibu Kendeng. Tulisan ini akan menunjukan bagaimana gerakan peduli lingkungan dilakukan oleh para perempuan Kendeng adalah salah satu tindakan ekofeminisme yang menjadikan paham kearifan lokal sebagai basis gerakan.
Dalam satu kesempatan pada acara Perempuan Membaca Amdal, para Kartini Kendeng menyampaikan beberapa poin yang menjadi dasar perjuangan mereka. Ibu Gunarti dari Pati salah satunya. Ia mengatakan bahwa kebutuhan air bukan hanya untuk manusia, sapi, dan sawah juga butuh air. Ia bersyukur kita tidak perlu beli air. Semua karena rasa cinta pada Ibu Bumi. Makanya kita harus selalu menjaga Ibu Bumi dan kita harus cinta dengan Ibu Bumi agar Ibu Bumi juga mencintai kita. Karena kita tidak dapat hidup tanpa Ibu Bumi, dimanapun itu.
Selain Ibu Gunarti, perempuan lain yang ikut berjuang membela kelestarian Pegunungan Kendeng yakni Ibu Sukinah turut memberikan statemennya mengenai bumi. Dalam kesempatannya, ia menyampaikan, “Saya sudah sejahtera walaupun panennya sedikit, kita masih bisa makan. Dari panen jagung kita juga bisa beli motor tidak kredit. Kurang sejahtera apa kita? Kita berterimakasih kepada Ibu Bumi yang memberi cukup makanan dan minuman. Saya tidak terima tidak rela kalau ada yang mau merusak dan menggangu. Saya berpikir, jangan sampai dilaknat oleh bumi. Karena kita asal usulnya kan dari bumi, kalau kita membela bumi apa salah.”
Bagi penulis, anggapan alam sebagai Ibu Bumi memiliki makna yang sangat dalam. Dimana perumpamaan bumi sebagai ibu sama halnya dengan perempuan. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Dewi Candraningrum dalam Jurnal Perempuan, bahwa ketahanan lingkungan, air dan ekologi Watu Putih Pegunungan Kendeng merupakan metafora dari ibu mereka, yang memberikan susunya, dan seluruh kesuburannya, untuk anak-anaknya. Perempuan-perempuan Kendeng memandang ekosistem Watu Putih Rembang sebagai ibu, dan mereka adalah anak-anak yang harus melindungi ibunya dari serangan penghancuran oleh tambang-tambang.
Apa yang menjadi keyakinan para ibu Kendeng tersebut melahirkan suatu gerakan penyelamatan terhadap Wilayah Pegunungan Karst Kendeng dari ancaman eksploitasi pertambangan. Perjuangan mereka dilakukan melalui berbagai bentuk yang umumnya membawa budaya kearifan lokal yang unik dan menarik simpati. Seperti syair dan lagu yang dibuat untuk mengiringi perjuangan mereka, lalu aksi mengunakan lesung padi, dan berjalan lebih dari tiga ratus kilometer untuk menjemput keadilan. Itulah letak interelasi antara gerakan perempuan masyarakat dengan ekofeminisme. Bahwa meskipun istilah ekofeminisme tak mereka temukan dalam kamus perjuangannya, namun apa yang mereka lakukan melalui paham kearifan lokal menjadikan mereka pantas disebut sebagai seorang ekofeminis.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian penulis dapat disimpulkan bahwa pertama, menurut pandangan ekofeminisme kerusakan alam yang terjadi tidak lepas dari dominasi dan eksploitasi manusia terutama kaum laki-laki atas sumber daya alam. Bagi ekofeminis, nasib alam tak jauh berbeda dengan nasib kaum perempuan yang banyak mengalami penindasan. Maka sudah saatnya perempuan ikut andil dalam perjuangan bagi keadilan alam dan lingkungan hidup.
Kedua, ekofeminisme merupakan paham gerakan perempuan dalam perjuangan kelestarian alam. Gerakan ekofeminisme dapat dilakukan melalui berbagai cara dan metode, salah satunya adalah dengan dilandasi pengetahuan kearifan lokal. Bahkan perjuangan yang paling konsisten dalam memperoleh keadilan terhadap sumber daya alam justru dilakukan oleh masyarakat adat, seperti yang dilakukan oleh para ibu Kendeng.
Mereka yang sebagaimana penulis singgung memandang bumi sebagai ibu bagi penulis adalah para ekofeminis. Jika pemahaman mengenai kearifan lokallah yang menjadikan perjuangan kelestarian lingkungan sedemikian massif dan konsisten, maka ada baiknya dan menjadi anjuran agar kearifan lokal dijadikan sebagai landasan paradigma mengenai interaksi manusia dan alam.
[1] Staff Divisi Advokasi dan kampanye WALHI Jawa Tengah
_ _ _
Sumber Gambar: https://nasional.tempo.co/read/868462/komnas-perempuan-dukung-perjuangan-kartini-kendeng