Reforma Agraria sebagai Kesadaran Penyelamatan Dunia dari Perubahan Iklim

Oleh: Muhammad Mufti Muaddib

Reforma agraria menjadi isu yang terus mendapat perhatian dengan serius banyak kalangan.  Pasalnya perosoalan reforma agrarian belum menemukan ujung penyelesaian yang baik. Diperburuk dengan banyak persoalan yang menjadikan ketimpangan masyarakat semakin kentara, dan menjadikan kemiskinan sebagai hasil akhir yang nyata. Selain sebagai gerakan kesadaran keadilan pengelolaan alat produksi, reforma agrarian juga sebagai gerakan penyelamatan dari perubahan iklim.

Sejauh mana reforma agraria itu penting? karena kita sudah terlalu lama menganggap masalah ini tidak begitu serius. Maka membangun kesadaran kembali pada masyarakat adalah hal yang sangat berat, meski hal itu tetap bisa dilakukan dengan harapan yang lebih baik.

Persoalan agraria merupakan persoalan yang membahas segala hal kebutuhan, dasar hajat hidup manusia yang berkaitan dengan alam. Air, tanah, udara, dan semua sumber daya alam yang terkandungnya.

Amanat reforma agraria sebagaimana tercantum dalam undang-undang mengharuskan segala sumber dasar kebutuhan hidup untuk kesejahteraan manusia. Meliputi sistem pemanfaatan tanah, air, udara dan segala sumber daya alam yang ada. Kewajiban ini menjadi salah satu hak asasi manusia yang harus diterima sebagai kebutuhan hidup primer mereka. Dealam konteks perubahan iklim yang ekstrim didominasi perubahan suhu yang drastis. Deforestasi salah satu penyebab besarnya. Yang menagkibatkan suhu panas sehigga mencairkan es secara besar, dan menambah debit air yang terus naik.

Dalam banyak kasus, hanya melibatkan beberapa masyarakat di tempat-empat tertentu saja. Memang tidak secara umum berdampak lansung terhadap seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya. Pola primordialitas masih sangat tinggi. Kesadaran dan rasa tanggunga jawab bersama mulai hilang, dan runtuh.

Menurut Emile Durkheim, ia mendefinisikan kesadaran kolektif (collective conscience) yang bermakna hati nurani adalah “Keseluruhan kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap dan punya kehidupan sendiri. Dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikuler”.

Bahaya yang akan timbul dalam bentuk kerusakan lingkungan jelas merugikan banyak pihak. Perjuangan memang sangat perlu untuk dilakukan untuk menyelamatkannya. Meski masyarakat luas tidak merasaknnya kerugian ini secara langsung namun lambat laun mereka akan menjadi bagian kerugian ini.

Menguatkan Kembali Sistem Tenurial

Manusia yang hidup di dunia lekat hubungannya dengan alam lingkungan, mereka tidak bisa dilepaskan.  Hal itu dinamakan sistem tenurial. Hal-hal yang mengatur, terletak diantara (manusia dan alam) menjadi titik simpulnya. Di dalam hubungan ini manusia mempunyai hubungan ikatan jiwa dengan alam mereka tinggal, yang mampu memnerikan kehidupan bagi mereka, dengan segala kekayaan sumberdaya alamnya. Dan sistem ini memberikan perlindugan yang sama antara manusia (sebjek agraria) dan tanah / alam (objek agraria).

Dalam bentuk aturan formal berupa undang-undang aturan positif maupun pranata adat lokal masing-masing tempat. Keadilan in harus dicapai dan seimbang sebagai media mengakses sumber daya alam yang ada.

Menghadapi bentuk krisis persoalan agraria yang demikian pemerintah semestinya harus memegang kendali untuk menyelesaikannya. Ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, ia harus mampu meningkatkan akses rakyat pada basis-basis utama kekuatan produksi pedesaan. Kedua, pada saat yang sama ia harus mampu melindungi akses rakyat itu dari berbagai kekuatan yang dapat mengurangi bahkan menhilankannya, (M Shohibudin 55:2018).

Konsep keberlanjutan tenurial dapat dipergunakan untuk mengacu dua hal di atas, sejauh ia tidak diartikan sebatas tenurial security yang hanya menekankan pada legalitas hak dalam bentuk sertifikasi tanah. Alih-alih konsep ini harus dipahami secara luas sebagai sasaran dari program reforma agrarian yang komprehensif yang menuntut paling tidak perwujudan empat pilar pembaharuan berikut ini: 1) jaminan akses, 2) perlindungan hak, 3) perlindungan sistem produksi, 4) perlindungan ekosistem (M Shohibudin 55:2018).

Bill Mollison dalam bukunya Permaculture Two Practical Design for Town and County in Permanent Agriclture yang terbit pertama kali pada tahun 1979 di Australia memperkenalkan sistem Permakultur ( Permanen Agrikultur – Permanen Kultur). Yaitu praktek yang memadukan antara sistem pengelolaan tanah secara tradisional yang diintegrasikan dengan perkembangan teknologi modern yang sesuai. Model permakultur mencoba membuat hubungan antara manusia dengan alam yang menyediakan kebutuhan makan, materi dan non-materi untuk mereka secara harmonis dan berkeadilan.

Dikutip dari IDEP Foundation, cara pendekatan ekologi yang holistic untuk desain dan pengembangan komunitas ini memperhitungkan produksi makanan, struktur, sumber daya alam, lanskap flora dan fauna  secara seimbang. Ada tiga etika dasar yang menjadi landasannya. Yaitu peduli terhadap bumi, peduli terhadap manusia, dan pembagian yang adil.

 Warisan Paradigma Kolonialis

Dr. Satyawan Sunito dari Pusat Studi Agraria IPB memaparkan dalam sebuah kesempatan diskusi mengeluarkan sebuah statement “sistem perkebunan melahirkan “keresahan agraria” yang mendasari aspirasi atas bangsa dan kemerdekaan” Sitem perkebunan tidak dikenal dalam sejarah masyarakat Indonesia, melainkan diwariskan oleh kaum kolonial. Karena pola perkebunan cenderung bersifat eksploratif, menguasai sebesar-besarnya.

“…there are factors inherent in the plantation system which serve to impede transformation from a state of underdevelopment.” (Beckford, 1972  xxiv)

Kutipan di atas kurang lebih memiliki arti ada faktor-faktor yang melekat pada sistem perkebunan yang berfungsi menghambat transformasi dari keadaan terbelakang. Bahwa sistem perkebunan yang terus dipelihara mempengaruhi dan mengganggu upaya-upaya penataan baru terhadap sistem tanah yang berkeadilan.

Sitem politik etis (balas budi) diperkenalkan oleh Belanda. Berupa, irigasi (pengairan), edukasi (pendidikan) dan, transmigrasi (perpindahan penduduk). Namun hal itu tak ubahnya sebuah setrategi Belanda untuk program-program perkebunan yang mereka ciptakan, bukan untuk kepentingan kesejahtraan rakyat waktu itu.

Irigasi, pengairan hanya untuk lahan-lahan perkebunan baru Belanda, edukasi hanya untuk kalangan bangsawan dan priyayi saja, serta transmigrasi hanya untuk mendapatkan tenaga kerja yang di pekerjakan pada perkebunan-perkebunan baru Belanda yang mulai banyak tersebar di luar Pulau Jawa.

Apakah itu sebuah warisan yang baik untuk bangsa kita ? jawabannya adalah kita tidak patut untuk mencontohnya. Kesadaran yang lambat pada tujuan buruk politik etis Belanda menjadikan hal serupa masih banyak kita jumpai saat ini. Sehingga tidak mengherankan banyak aling fungsi hutan untuk perkebunan dengan jutaan hektar masih terjadi setiap tahunnya. Dan pemerintah membiarkan itu terjadi dengan terbitnya izin-izin baru konsesi hutan. Yang pada akhirnya mengorbankan kesejahteraan jutaan rakyat untuk segelintir kepentingan individu saja.

Dalam era baru ini kita secara bersama harus sadar, bahwa harus mengedepankan kerjasama dengan alam, bukan untuk melawannya. Selain kesadaran bersama sebagai strategi efektif untuk terciptanya cita-cita reforma agraria yang berkeadilan, di tengan arus globalisasi. Hanya kekuatan kolektif yang mampu membendung upaya-upaya pelemahan yang mengesampingkan keadilan masyarakat hanya untuk kepentingan individu saja. Kesa daran besar secara besar dan bersama inilah yang menjadi harapan, untuk kondisi suhu dan iklim dunia yang masih akan bertahan dalam waktu yang lama. Sekian!!.

Penulis Merupakan Alumni Youth Climate Camp (YCC) 2018 WALHI Jawa Tengah. Saat ini aktif di LPM Justisia dan FNKSDA Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *