Ratusan orang berkumpul di depan Mesjid Istiqlal Jakarta, Selasa pagi (11/12/18). Mereka ini warga dari berbagai daerah, seperti Pulau Pari, Kepulauan Seribu Jakarta; Indramayu, Jawa Barat; Pemalang, Jawa Tengah dan Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka berbondong-bondong ke Jakarta memperingati Hari Hak-hak Asasi Manusia (HAM) sedunia. Tuntutan mereka pemerintah menyetop segala bentuk kriminalisasi nagi para pejuang lingkungan.
Berbagai spanduk bertuliskan aspirasi dari beberapa daerah. Terik matahari tak menyurutkan langkah mereka beriringan menuju Mahkamah Agung, hingga depan Istana Negara. Beberapa antara mereka pakai topi caping. Ada juga ikat padi dan hasil tani lain. Lagu-lagu perjuangan dan orasi dari mobil komando mengiringi langkah mereka.
“Aksi kita kali ini bertepatan pada Hari HAM. Ini tanda perlawanan, sekaligus tagih janji masyarakat sipil terhadap tindakan represif, kriminalisasi, gugatan tidak berdasar hukum, pengusiran paksa dan pelanggaran HAM,” kata Wahyu Perdana, Nanajer Kampanye Walhi Eksekutif Nasional.
Pada 2018, terjadi peningkatan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan HAM. Berdasarkancatatan walhi pada 13 provinsi, setidaknya ada 163 pejuang lingkungan kena krimininalisasi.
“Kriminalisasi pejuang lingkungan dan pembela HAM lain tidak terlepas tindakan dan kebijakan negara yang masih mengandalkan investasi sebagai pilar utama pembangunan.”
Dia bilang, janji Presiden Joko Widodo, tertuang dalam Nawacita poin empat menyebutkan, ada jaminan kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi, penuntusan kembali hak tanah masyarakat. Juga perlindungan anak, perempuan dan kelompok masyarakat termarginal, penghormatan HAM dan penyelesaian berkeadilan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Sepanjang periode Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, Wahyu menyebut, ada 723 warga memperjuangkan lingkungan dan HAM yang dikriminalisasi. Angka ini tak bisa diremehkan, terlebih pemerintah periode sekarang, tetap bernapsu menjalankan agenda pembangunan infrastruktur. Seringkali hal ini tidak disertai dengan mengedepankan hak-hak masyarakat, terutama lingkungan.
“Pembangunan itu sebenarnya tak masalah jika tak melanggar hak-hak masyarakat. Faktanya, dari sisi energi misal, Jawa sudah kelebihan pasokan listrik, justru dibangun PLTU cukup banyak.”
Pemaksaan pembangunan infrastruktur ini, katanya, menyebabkan banyak masyarakat terkriminalisasi. Begitu juga industri pariwisata seperti di NTT maupun di Pulau Pari.
Kasus lain, masyarakat berhadapan dengan perusahaan tambang emas seperti di Tumpang Pitu. “Kasus-kasus kriminalisasi ini bukan hanya menunjukkan peningkatan sisi angka, tapi model juga.”
Kalau dulu, hanya warga dan aktivis dikriminalisasi. Tren saat ini akademisi dan saksi ahli juga alami kriminalisasi, seperti pada pakar pada Basuki Wasis dan Bambang Hero.
Edi Mulyono, warga Pulau Pari juga menuntut kriminalisasi kepada teman-teman mereka segera dihentikan. Dia juga meminta pemerintah segera mengembalikan hak legalitas atas tanah.
Nelayan di Pulau Pari sedang berhadapan dengan perusahaan pengelola pariwisata, PT Bumi Pari Asri. Imbasnya, nelayan kehilangan mata pencaharian. Sebelumnya, di Pulau Pari, masyarakat sekitar menggantungkan hidup dari hasil laut seperti ikan dan budidaya rumput laut. Seiring waktu, laut tercemar menyebabkan budidaya rumput laut mati, dan tangkapan menurun.
Kemudian masyarakat beralih mengelola pariwisata sebagai mata pencaharian. Kembali mereka mendapat ancaman dari perusahaan yang akan merampas bukan hanya laut, juga rumah dan tanah mereka.
Kasus lain, Heri Budiawan alias Budi Pego dan warga lain. Mereka berhadapan dengan perusahaan tambang emas, PT Merdeka Copper Gold. Warga menolak tambang emas.
Budi Pego mengatakan, kriminalisasi kepadanya dugaan kuat dari warga yang vokal sekaligus menolak pertambangan emas itu.
Repost from (Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia)